
Sambil menunggu masa perkuliahan tiba, Inggit mengisi waktu dengan berjualan. Inggit ingin memiliki penghasilan dari jeri payahnya sendiri. Berbekal pengetahuan yang dia pelajari selama ini, Inggit membuat roti manis namun tetap sehat. Semua ditakar dengan kalkulasi tepat gizi.
"Pak, aku pergi berjualan dulu." Ijin Inggit.
"Hati-hati Nduk." Jawab Pak Darkim.
"Iya". Jawab Inggit seraya mengayun sepedanya.
Inggit ada menaruh beberapa rotinya di warung kopi, lalu menjul sebagian rotinya di pinggir jalan. Terlihat sebuah mobil berhenti di depan Inggit, kaca jendela mobil diturunkan nampak terlihat wajah Danang tersenyum sumringah.
"Aku akan beli semua rotimu." Ucap Danang.
"Eiii ... ini banyak sekali lho." Ujar Inggit.
Danang keluar dari mobilnya lalu, mengambil semua roti yang Inggit jual dan memasukannya ke mobil. Danang memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. Setelahnya menarik tangan Inggit untuk masuk kedalam mobilnya.
'Bugh' pintu mobil di tutup. "Itu ..... Itu, bagaimana dengan sepedaku?" tanya Inggit.
"Pak Dar yang akan mengurusnya!" ucap Danang.
"Emmm .... kita mau kemana?" tanya Inggit.
"Temani aku pergi ke suatu tempat." Jawab Danang.
Mobil Danang berhenti di sebuah rumah singgah. Danang turun dan membuka bagasi mobilnya lalu mengeluarkan makanan dan minuman susu ultra yang dia telah siapkan.
"Kau yang membawa rotinya masuknya ya!" pinta Danang kepada Inggit.
Dengan segera, Inggit mengambil roti-roti yang tadi Danang letakan di kursi belakang mobilnya. Inggit menenteng roti-roti manis tersebut di tangan kanan dan kirinya. Anak-anak yang melihat Danang datang membawa aneka jenis makanan segera saja menghampirinya.
"Kak Danang." Pekik teriak senang anak-anak tersebut.
"Hei, pelan-pelan. Semua pasti kebagian." Ucap Danang sambil tertawa.
Inggit menemani Danang berbincang-bincang dengan ibu pengurus rumah singgah. Wajah Inggit memerah ketika ibu pengurus menyangka bahwa Inggit adalah pacar Danang.
"Ah bu Darma, bisa saja. Lihat wajah Inggit sampai memerah lho." Ujar Danang memecah kecanggungan.
"Ei, kalian ini memang pasangan serasi lho." Ujar Bu Darma menggoda.
Danang tersenyum senang sementara, Inggit hanya diam saja. "Baiklah, kami pamit." Ujar Danang.
Sebelum mereka pergi Bu Darma menarik tangan Danang, "Cepat katakan cinta padanya, jika tidak akan diambil oleh orang lain lho." Nasehat Bu Darma.
Danang hanya tersenyum mendengar Nasehat ibu Darma, dalam hati Danang berkata "sudah berkali-kali aku mengatakan, namun jawabannya masih sama, masih saja di tolaknya."
Danang, mengantar pulang Inggit. "Masuklah, hari sudah mendung!" Ujar Danang.
"Terima kasih, karena sudah mengantar." Ucap Inggit seraya berjalan masuk ke dalam Villa.
Sesampainya di kamar, Iggit menghitung uang yang dia dapatkan dari hasil jualan roti manisnya. Inggit tersenyum senang lalu memasukan uang-uang itu kedalam amplop.
"Baiklah, besok kita akan simpan ini di bank." Ucap Inggit.
Inggit, keluar kamar untuk bersiap masak menyiapkan makan malam untuk Nyonya Dewi. Inggit tertegun ketika mendengar tanpa sengaja Nyonya Dewi sedang berbicara di ponsel dengan menantunya, Lina.
"Mboten saged kados puniku, Ibu mboten purun." Ujar Nyonya Dewi dengan Marah menandakan ketidaksetujuannya.
"Enggal bekta, Tristan wangsul menyang Indonesia!" Perintah Nyonya Dewi kepada Lina untuk membawa Tristan kembali ke Indonesia.
"Kados pundi, Ibu nentang soal puniki." Ujar Nyonya Dewi menentang kemauan Tristan.
Setelah menutup sambungan ponselnya, Nyonya Dewi jatuh terduduk. Inggit yang melihatnya segera saja menghampirk Nyonya Dewi.
"Mbah Putri." Panggil Inggit.
"Bapak .... Bapak ....." Pekik Inggit memanggil pak Kardim.
"Wonten Punapa?" tanya Pak Kardim yang menanyakan ada apa kepada Inggit.
"Mboten ngertos pak." Jawab Inggit mengatakan tidak tahu kepada pak Kardim.
Inggit dan Pak Kardim mengangkat tubuh Nyonya Dewi dan membawanya ke kamar.
"Panggil dokter Ervan, nduk!" Perintah pak kardim.
"Injih pak." Jawab Inggit segera mengambil ponselnya untuk memanggil dokter Ervan.
Begitu sampai, Inggit segera mengantar dokter Ervan ke kamar Nyonya Dewi. Dokter Ervan segera memeriksa keadaan Nyonya Dewi.
"Mbah Putri harus banyak-banyak beristirahat, jangan terlalu banyak pikiran yah Mbah!" Ujar dokter Evan kepada Inggit.
Setelahnya dokter Evan menerangkan cara pemakaian obat untuk Nyonya Dewi. Inggit mengingatnya dengan baik-baik dan hati-hati. Semalaman inggit tertidur duduk di sisi ranjang Nyonya Dewi.
Di pagi hari, Nyonya Dewi terbangun dan melihat Inggit tertidur duduk sambil memegangk tangan Nyonya Dewi. Hati Nyonya Dewi tersentuh melihatnya. Hati Nyonya Dewi terasa hangat mengetahui masih ada yang memperhatikannya secara tulus.
"Nduk ..... Nduk ....." Panggil Nyonya Dewi.
Inggit tersentak, "Mbah Putri." Jawabnya.
"Punapa taksih sakit?" tanya Inggit kepada Nyonya Dewi, apakah masih sakit.
"Sampun mboten punapa-punapa." Jawab Nyonya dewi yang sudah tidak apa-apa.
"Syukurlah." Ujar Inggit dengan Lega.
Inggit merawat Nyonya Dewi dengan telaten, seluruh penghuni Villa mengetahui bahwa Inggit sangat menyayangi Nonya Dewi begitupun sebaliknya. Nyonya Dewi memanggil Pak Kardim, Nyonya Dewi meminta Pak kardim untuk menyiapakan pavilium tamu.
"Lina dan Tristan sekedhap malih wangsul, rapijkan lah kamar piyambakipun sedaya!" Perintah nyonya Dewi kepada Pak Kardim untuk membersihka kamar tamu untuk mereka.
"Injih Nyonya." Jawab Pak Kardim.
Pak kardim meminta bantuan Ingit untuk merapihkan dan membersihkan kamar untuk Tristan dan Nyonya Lina. Pak kardim juga mengatakan bahwa selama nanti menantu dan cucu Nyonya Dewi datang, Inggit yang bertanggung jawab untuk mengurus keperluan mereka nanti.
Setelah beberapa hari kemudian, Tristan dan Nyonya Lina pun datang ke Villa kediaman Nyonya Dewi. Inggit sudah menyiapkan makan siang untuk mereka berdua. Inggit, tiba-tiba tersentak kaget karena teriakan Tristan kepada Nyonya Dewi. Inggit segera menghampiri Nyonya Dewi karena khawatir.
"Mbah Putri." Panggil Inggit.
Tristan memandang ke arah Inggit, terbesit sinar kebencian dari mata Tristan. Inggit merasa kebingungan karena mendapatkan tatapan seperti itu dari Tristan.
"Tristan, kau harus menurut keputusan ibumu dan mbah mu ini." Ujar Nyonya Dewi sambil terduduk dan memegangi dadanya yang terasa sesak.
"Mbah, Inggit bawa Mbah Putri ke kamar ya." Ujar Inggit.
"Mbah Putri harus banyak beristirahat." Ucap Ingbit lagi seraya memapah Nyonya Dewi.
Tristan dan Nyonya Lina, menatapi kepergian Inggit . Nyonya Lina menatap dalam-dalam kepada Inggit, menilai dan menimbang-nimbang.
"Ya, mungkin dia adalah kunci jawaban soal Tristan." Pikir Nyonya Lina.
Tristan mengambil kunci mobilnya dan mulai melajukannya tanpa tujuan. Tristan menyesal ikut kembali pulang ke Indonesia, jika saja dia mengetahui bahwa kepulangannya ini berkaitan dengan perjodohan dirinyan dan Inggit dipaksa samoai matipun dia enggan kembali pulang ke Indonesia.
"Menikahi gadis desa itu, mimpi saja kalian." Ujar Tristan dengan geram hati.
Dirinya sudah memiliki tambatan hati, seorang model. Jadi Tristan merasa perjodohan ini sungguh tidak mungkin dilakukan, dia tidak bersedia sama sekali.
244Please respect copyright.PENANAd2xuxwl1oM
244Please respect copyright.PENANAVv8nHT3scu
244Please respect copyright.PENANADIZMBO5as0
244Please respect copyright.PENANA4LtUaxr9ID
244Please respect copyright.PENANArq11Ebvlcy
244Please respect copyright.PENANABwX9XiWRtj
244Please respect copyright.PENANAScDFgSZkhL
244Please respect copyright.PENANAR6uJTbZ3my