
"Mbah Putri, jangan sakit lagi!" pinta Inggit setengah terisak.
Nyonya Dewi hanya tersenyum lalu memejamkan matanya, Setalah melihat Nyonya Dewi terpulas barulah Inggit meninggalkan kamar Nyonya Dewi.
"Hei, kau! Kemari!" Panggil Nyonya Lina.
Inggit mendekati Nyonya Lina, sedikit risih dengan tatapan Nyonya Lina. "Duduk!" Perintah Nyonya Lina.
"Sudah lama ikut Mbah Putri?" tanya Nyonya Lina.
"Sejak usia saya tiga tahun." Jawab Inggit.
"Tiga tahun?" ucap Nyonya Lina dalam hati.
"Apa Nyonya sudah mau makan?" tanya Inggit memecahkan ketermenungan Nyonya Lina.
"Apa kau yang memasak?" tanya Nyonya Lina.
"Iya Nyonya." Jawab Inggit.
"Jika begitu sediakanlah!" Perintah Nyonya Lina.
Inggit bergegas ke dapur dan membawa makanan ke ruang makan dan menatanya. Inggit kembali ke ruang keluarga dan mendorong kursi roda Nyonya Lina.
Inggit menyingkirkan salah satu kursi dan meletakan kursi roda tepat di depan meja makan. Inggit mengambilkan piring dan nasi untuk Nyonya Lina.
"Mau dengan lauk apa, Nyonya?" tanya Inggit.
Nyonya Lina merasa tidak familiar dengan masakan-masakan daerah, karena telah lama tinggal di luar negri. "Kau yang pilihkan saja!" pinta Nyonya Inggit.
Inggit memilihkan sayur gudek dan empal daging juga sedikit sambal, lalu menaruh beberapa sayuran rebus di piring kecil seperti labu muda, wortel dan buncis. Nyonya Lina mulai memasukan satu suapan ke mulutnya, dan tertegun sesaat karena rasa masakan Inggit.
"Emmmm .... ini enak sekali." Gumam Nyonya Lina dalam hati dan mulai memasukan suapan yang lain ke mulutnya sampai tak berbisa.
Setelah melihat Nyonya Lina selesai makan, Inggit dengan inisiatif segera membawa Nyonya Lina ke kamarnya. Inggit mengambil sapu lidi aren lalu mengibas-ngibaskannya ke atas ranjang. Inggit memapah Nyonya Lina naik keatas ranjang, menatuh bantal di belakang Nyonya Lina agar merasa nyaman ketika duduk.
"Panggil saya, jika Nyonya ada membutuhkan sesuatu." Ucap Inggit.
"Ya." Jawab Nyonya Lina seraya menganggukan kepalanya.
Nyonya Lina berpikir panjang setelah Inggit pergi meninggalkan kamarnya. "Tristan boleh menikahi wanita mana saja, selama itu bukan Christina." Ucap Nyonya Lina dalam hati.
Memikirkan tentang ini, Nyonya Lina pun pada akhirnya sepakat dengan keputusan ibu mertuanya itu. Tristan dijodohkan dengan Inggit. Tristan baru kembali ke Villa pada tengah malam, bertepatan ketika Inggit keluar dari kamar Nyonya Dewi. Mata keduanya saling bertautan, Inggit merasa risih dipandangi dengan penuh kesinisan dari tatapan Tristan.
Tristan mendekati Inggit, memincingkan matanya. "Jangan pernah bermimpi untuk naik ke ranjangku!" Tristan memberikan peringatannya.
Inggit tercengang kaget mendengar perkataan Tristan. Inggit memberikan tatapan bingung, "Maaf mas, maksudnya mas apa yah?" tanya Inggit.
Bukannya menjawab, Tristan hanya memberikan senyuman dingin lalu pergi meninggalkannya. Inggit semakin bingung, menggelengkan kepala lalu memilih masuk ke kamarnya.
"Naik keatas ranjangnya." Pikir Inggit.
Tentang Cinta itu bagaimana, Inggit benar-benar tak ingin memikirkannya. Sebagai anak yamg terbuang yang tidak tahu siapa ayahnya, dan di tinggal pergi oleh ibunya. Inggit benar-benar membatasi dirinya dengan cinta. Hanya dengan Nyonya Dewi Inggit memberikan seluruh cintanya, karena itu Inggit sangat-sangat menjaga Nyonya Dewi, ibu perinya.
Keesokan paginya, setelah selesai memasak sarapan pagi. Inggit pamit pergi untuk mengurus masalah registrasi perkuliahannya. Tristan, Nyonya Lina dan Nyonya Dewi sarapan bersama di meja makan. Ini adalah pertama kalinya Tristan sarapan bersama setelah kepergiannya keluar negri.
408Please respect copyright.PENANAV8gQaorPhD
Nyonya Lina memandangi tristan melahap habis nasi goreng buatan Inggit, sesekali memakan irisan tomat yang disediakan di atas meja makan. Nasi goreng adalah salah satu makanan yang tidak begitu disukai oleh Tristan, namun kali ini dia memakan habis nasi goreng yang beda dari biasanya, nasi goreng nanas.
"Gadis itu benar-benar pandai memasak." Ucap Nyonya Lina dalam hati.
Sementara itu Lina dengan sumringah berjalan di koridor bakal universitanya, beasiswanya baru saja di setujui. 'Dzrrt' ponsel Lina berdering, nama Danang terlihat di layar ponsel tersebut.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Danang.
"Aku mendapatkannya." Jawab Inggit penuh senang.
"Ah, jika begitu kita harus merayakannya." Ucap Danang.
"Ennn ..... ya Baikalah." Ucap Inggit meragu, namun tak enak menolak.
Inggit teringat kesehatan Nyonya Dewi yang sedikit menurun karena kehadiran cucu laki-lakinya, lalu seketika saja menolak ajakan Danang.
"Maaf, sepertinya tak bisa. Bagaimana jika aku mengundangmu makan siang? Aku akan memasak untukmu!" Undang Inggit.
"Benarkah, Kau akan memasak untuk-ku?" tanya Danang.
"Ya tentu saja." Jawab Inggit, yang merasa tidak enak karena baru saja menolak ajakan makan dari Danang.
Inggit pun bergegas kembali pulang, Begitu sampai hal pertama yang Inggit lakukan adalah menaruh tasnya di dalam kamar dan segra pergi kekamar Nyonya Dewi, hanya untuk memastikan Nyonya Dewi memakan obatnya.
"Mbah Putri, sudah makan?" tanya Inggit.
Nyonya Dewi hanya menggelengkan kepalanya dan melihat ke arah Jendela, Inggit sangat merasa khawatir melihat Nyonya Dewi, satu-satunya wanita yang bisa menjadi ibu sekaligus nenek bagi Inggit.
"Mbah Putri harus makan yah, Inggit suapi yah!" ucapnya kepada Nyonya Dewi seraya memijit-mijit kaki Nyonya Dewi.
Akhirnya karena melihat ketulusan Inggit, Nyonya Dewi pun bangkit dari ranjangnya dan bersedia makan. Inggit memamaph Nyonya Dewi ke Ruang makan, Lalu menyiapkan makan siang untuk Nyonya Dewi.
"Panggilkan Lina, kita makan bersama Nduk!" pinta Nyonya Dewi.m
"Injih, Mbah Putri." Ucap Inggit seraya bergegas memanggil Nyonya Lina.
Inggit mendorong kursi roda Nyonya Lina, lalu mulai menata piring lain untuk Nyonya Lina dan dirinya. Sedangkan Tristan telah pergi dan memilih untuk tidur di hotel, Tristan benar-benar tidak bersedia menikah dengan Inggit. Setelah makan siang Nyonya Dewi dan Nyonya lina mengajak Inggit berbicara serius.
"Menikah, dengan Tristan?" tanya Inggit dalam hati.
"Ada apa ini ? Mengapa begini? ......" Pikir Inggit sedikit tertegun.
Nyonya Lina dan Nyonya Dewi, membujuk Inggit kembali. Inggit menatap dalam-dalam kepada Nyonya Dewi dan melihat tatapan putus asa di kedua mata wanita yang sudah berusia senja tersebut.
"Jangan menolak yah Nduk!" pinta Nyonya Dewi.
"Apakah aku berhak menolak?" pikir Inggit dalam hati.
Inggit berhutang banyak bukan sekedar di separuh hidupnya, namun sepanjang hidupnya. Ketika Inggit tidak memiliki siapa-siapa, Nyonya Dewi datang bagai seorang ibu peri yang merangkul dan memeluknya. Inggit, menundukan kepalanya tanpa bersuara, Nyonya Dewi dan Nyonya Lina menganggap ini sebagai tanda persetujuan Inggit.
"Bagus, jika begitu kita segera aturkan tanggal pernikahan mereka." Ucap Nyonya Lina di sambut dengan anggukan Nyonya Dewi.
Setelah selesai berbincang serius dengan keduanya, Inggit kembali ke kamarnya dan menjatuhkan dirinya begitu saja di ranjangnya.
"Tristan." Ucap Inggit dengan perasaan galau, bagaimanapun juga ini bukanlah sesuatu yang dia harapkan.
ns18.191.86.218da2