“Sekretarisnya siapa?” Bu Refa menaikkan kacamatanya yang sedikit turun dari hidungnya dan mengedarkan pandangan ke penjuru kelas.344Please respect copyright.PENANAvvUri1vt1d
“Valen, Bu.” Jawab Faqi sambil menunjuk orang yang disebutkannya tadi.
“Nah, Valen. Tolong tulis ini di papan tulis ya, dari halaman 135-137. Pastikan teman-teman kamu ikut mencatat di buku mereka. Ibu keluar sebentar, yang lain jangan berisik dan jangan keluar kelas.” Bu Refa melangkah ke luar kelas, diiringi nafas lega murid-murid XII Pemasaran. Omong-omong, Bu Refa itu guru ter-killer. Wajah mereka yang tadinya kaku kayak rempeyek, jadi lunak lagi.
Rana menumpukan dagu di tangan kirinya dan mulai menyalin catatan di papan tulis ke bukunya. Hari ini Yura berhalangan masuk ke sekolah, diare katanya. Jadi sekarang Rana duduk sendirian. Rana mengalihkan pandangannya ke pojok sebelah kiri, ke tempat di mana Buman duduk. Buman masih asyik mencatat ternyata. Nih, Rana kasih tahu secuil rahasia.
Dulu, waktu pertama masuk sekolah di kelas sepuluh, Rana sempat naksir sama Bumantara. Tapi selang beberapa jam kemudian, Rana dapat informasi kalau Buman sudah punya pacar, yang ternyata teman sekelasnya juga. Namanya Prima. Prima Apriliamita. Akhirnya Rana batal menggebet Buman dan malah dekat sama anak jurusan perbankan, Danis, ketua paskib plus anak osis. Lalu karena satu dan lain hal, akhirnya Danis dan Rana cuma jadi teman baik sampe sekarang.
Oh iya, sebenarnya, Rana sama Buman itu nggak musuhan, bukan rival juga, malah mereka berteman dengan baik. Cuma emang Bumantara tuh orangnya nyebelin, makanya Rana agak sensi sama dia. Tapi, bukannya yang menyebalkan itu mudah untuk disayang?
Tanpa tahu malu, perasaan itu muncul lagi. Rana nggak tahu pastinya kapan, tapi setiap Buman ada di sekitar dia, kayak ada puluhan palu kapas yang mukulin jantungnya. Kalau Buman nggak masuk sekolah, Rana jadi gelisah sendiri dan kalau ada hari terlewat tanpa ada kejailan dari Buman, hari itu adalah hari paling hambar daripada masakan-masakan yang nggak dibumbuin.
Rana mengalihkan lagi pandangannya ke buku tulisnya. Kembali melamun.
Aku kasih nama samaran apa ya buat Buman?
Angkasa aja kali ,ya. Bumantara, kan, nama lain dari angkasa. ya, Angkasa.
“Gue numpang duduk ya, dari tempat gua duduk nggak begitu keliatan tulisannya Valen.”
“Iya Ang—EH iya Buman,” Buman duduk di kursi yang biasanya ditempati Yura dan mulai mencatat lagi. Sedangkan Rana memerhatikan Buman yang ada di sampingnya sekilas dan ikut mencatat.
Hampir aja keceplosan, kan gaswat kalo Buman sampe tau.
Duh makin nggak fokus nih! Yang di sebelah kok manis banget! Gula aja kalah. Rela deh aku diabetes kalo gini hahaha…
Rana mengeluarkan notesbook biru dari laci mejanya dan mulai menuliskan kata demi kata yang sudah tersusun rapi di otaknya.
Jadi begini semesta…
Aku menyukainya. Iya, lelaki itu, yang memiliki senyuman termanis dari yang pernah kutemui sebelumnya, aku menyukainya, semesta. Boleh, ya?
-rana
Rana menutup buku birunya dan menaruhnya kembali di laci meja. Rana memandangi Buman dengan serius, sesekali terulas sebuah senyum di bibirnya.
“Kenapa? Gue ganteng, ya?”
“Banget, Bum.”
“Ck. Rana, lo kok frontal banget, sih.” Buman menutup buku tulisnya dan balik menatap kedua netra Rana.
That eye contact.
“Gue cuma jujur sama apa yang gue liat, Bum. Lo emang ganteng, manis pula hehe. Paket komplit pokoknya.” Rana mengacungkan jempolnya pada Buman seraya menyengir.
“HAHAHA…makasih loh” Buman tertawa lalu memukul dahi Rana pelan.
344Please respect copyright.PENANAIMub9t07ZJ
Melihatmu tersenyum
Adalah debarku
Melihatmu tertawa
Adalah bahagiaku
Sedang, membayangkan kau menyukaiku
Adalah imajinasiku yang paling mustahil