Satu minggu berlalu….
Kedua petugas ambulan Ambercourt memegang janjinya. Beberapa obat – obatan dikirimkan tiap harinya. Namun, entah bagaimana cara kedua petugas ambulan itu memutar otaknya agar tidak dikenakan sangsi.
Sementara itu di sebuah ruangan kecil yang Acnya mati…
12 April,
Dengan berat hati kami memohon maaf yang sebesar – besarnya…..
Madame Murtlock sambil memegangi kepalanya, menuliskan sebuah surat.
#Knock, Knock!
“Masuk!”
Abigail, suster yang berperilaku lugu dan memakai kacamata itu membawakan sebuah kotak kemas berwarna coklat.
“Selamat pagi, Madame Murtlock. Saya membawa paket untuk Mr. Clovis…-”
#Hah… (sighed)
Abigail menghampiri wanita parubaya itu.
“Ada apa, Madame?”
“O-oh, Abi.” Ia berpaling pada Abigail sesaat. “Menulis surat permohonan maaf pada donatur memang menyebalkan! Aku tahu seharusnya salah merekrut wanita kemarin, tapi semakin lama surat komplain mereka berakumulasi!”
“Kali ini dari siapa?”
“Estelle. Nona Maggie Estelle. Nona itu pasti banyak omong bila datang ke sini. Karena itu… aku berusaha agar itu nggak terjadi!”
Madame Murtlock menyerahkan amplop merah keras berbahan kulit imitasi.
Abigail melihat tulisan bergaya latin “Estelle de Famili” dicetak timbul warna emas mengkilat.
“Woah! Tiba – tiba saya melihat merek wine yang saya nikmati di hari libur!” celoteh Abigail seolah – olah terkejut.
“Tch! Menyingkirlah dariku, Abi!”
“Hehe, bercanda, bercanda….” Abigail menaruh kotak paket kiriman itu di meja lalu memijat ringan bahu Madame Murtlock. “Bukannya ini gawat? Lagipula Nona Estelle salah satu donatur terbanyak, kan?”
“Itu yang saat ini kupikirkan, Abi. Aku nggak mau wanita glamor ini mengerahkan bendera putihnya untuk rumah sakit ini!”
Abigail berpikir sejenak, sambil memijat ringan bahu Madame Murtlock. Karena Abigail merasa tidak tega melihat wanita parubaya itu menghadapi masalah, ia mengusulkan sesuatu.
“Nah, begini. Kalau memang Nona Estelle mengotot ke sini, biar aku dan Susan yang tangani bagaimana?”
“Itulah rencana paling putus asa dariku nantinya.”
“Ehhh~? Saya kira anda bakalan terkejut?”
“Paling tidak itu masih lebih baik daripada melalui Dokter Audagird…. Oh ya tuhan, aku nggak bisa membayangkan kalau itu terjadi!”
“Dokter Audagird… memang menakutkan bila mendengar masalah ini….”
Setelah berbincang sebentar, Abigail mengambil paket itu kembali.
“Nah, kalau begitu saya permisi dulu.”
“Ah, benar juga,”
“Hm?”
Abigail terhenti sejenak.
“Kalau soal Mr. Clovis, kamu nggak usah pakai laporan dariku segala. Langsung kirimkan pada orangnya. Aku tahu kamu baru setengah tahun bekerja di sini, tapi… tapi kadang – kadang mintalah saran pada Susan,” Madame Murtlock berpaling pada Abigail dengan wajah serius memberi nasehat.
“Ah, saya dengar dari susan. Kata susan, beliau orangnya baik dan dermawan. Apakah ada masalah?”
#Hah… (sighed)
Madame Murtlock memandang ke bawah sejenak sambil agak keberatan. Ia segera melepas dan melipat kacamatanya. Kemudian, ia menghampiri gadis lugu itu dan memandangnya dalam – dalam.
“A-anda membuat saya khawatir, madame!”
“Hey, Abi, aku nggak ingin kamu dikeluarkan dari tempat ini karena hal – hal kecil. Mencari orang bukan pekerjaan mudah. Intinya jagalah sikapmu baik – baik khususnya pada Mr. Clovis. Uhhh… Orangnya memang dermawan dan baik, itu benar. Bahkan dulu Susan sempat diberi uang jajan lebih olehnya,”
“Ba-ik… jadi… hanya masalah kecil, ‘kan?” Abigail sedikit ketakutan.
Madame Murtlock terdiam. Ia memandang wajah abigail ke kanan, kiri dan semua sisinya, sambil menimbang – nimbang sikap Abigail selama dia bekerja.
“Bodohnya aku! Kamu mungkin nggak kena masalah!” Madame Murtlock segera berbalik dan kembali pada urusannya. “Tapi ingat ini, bila kamu kebingungan soal masalah Mr. Clovis, coba tanya ke Susan, oke?”
#Hah… (sighed)
Abigail bernafas lega.
“Anda hanya bilang begitu setelah memberi saya goosebumps?” Abigail kini telah meraih gagang pintu. “Ngomong – ngomong, terima kasih sarannya.
Saat hendak menutup pintu, Abigail terhenti lagi saat wanita parubaya itu masih melanjutkan kata – katanya.
“Heh! Kamu kira Kara keluar dari tempat ini karena apa?” Madame Murtlock terkekeh.
“Karena ibunya sakit, kalau nggak salah?”
“Karena Mr. Clovis yang meminta.”
Setelah mendengar itu, baru saja menutup pintu ruangan Madame Murtlock, Abigail menggigil ketakutan.
***
Patronal Audagird Mental Hospital terletak di sapuan rerumputan luas yang terpotong rapi. Berdiri megah condong menghadap barat, sepi tanpa bangunan lain setidaknya dalam jarak 1 km. Mempunyai parkiran yang cukup luas sampai dua puluh mobil. Bertempatkan di pojok jalan dekat pertigaan yang mengarah ke gereja ortodok Patronal.
Termasuk wilayah Dublin bagi yang mendambakan ketenangan dan wilayah yang longgar tanpa sesak. Pemukiman Patronal Desmene juga menawarkan perumahan mewah dengan harga tanah dan bangunan yang cukup murah. Biasanya, tempat ini didiami oleh para celebriti atau studio kecil yang memulai kehidupan baru di distrik bisnis kota Dublin, Irlandia.
Namun…
Dekat dengan rumah sakit jiwa berarti dekat pula dengan rumor – rumor yang tidak menyenangkan. Mulai dari hantu sampai dengan korban penyiksaan pasien sakit mental. Barangkali itu yang membuat harga tanah di sana murah? Atau barangkali akses ke kota yang sekitar 6 km dari pemukiman. Lagipula, wilayah Dublin yang agak tengah harganya juga bersaing. Bahkan tinggal selangkah keluar dari pintu rumah, pengguna bisa melihat berbagai pernak – pernik kota serta fasilitas yang dibutuhkan.
Tentu, bila mereka mendambakan situasi padatnya suasana kota yang cukup sesak, Dalkey pilihannya.
Sementara itu….
Patronal Audagird Hospital, fasad gedung yang dibangun bergaya “Gothic” dengan bata merah dan atap kerucutnya. Tempat itu punya tiga lantai. Lantai atas, lantai dasar dan lantai bawah tanah. Bangunan beratap kerucut dan bata merah dan punya ruangan bawah tanah memang cocok dengan cerita fantasi. Tentu, cerita fantasi yang menggambarkan ruangan istana tempat untuk penyiksaan. Dari situlah ekor rumor itu berasal.
Sayangnya, Abigail menuju lantai bawah ruangan paling pojok. Untuk pertama kalinya Abigail merasakan hawa pengap, dibuka dari pintu kayu dari sebuah lantai dengan sebuah pengait rantai.
(Duh… kok serem sih? Ini masih pagi loh!) pikiran cemasnya sama besar dengan rasa takutnya.
Remang - remang dan udaranya lembab, meski tangga ke bawah menggunakan permadani, masih saja terasa dingin. Abigail berjalan kecil, sekecil nyalinya. Celingukan kanan dan kiri. Setelah setengah tahun bekerja, kini Abigail dibolehkan untuk masuk ke ruang bawah tanah.
(Tenang Abi! Tenang! Ini hanya 11 kamar di lantai yang berbeda kok!)
Ruang bawah hanya punya satu arah jalan lurus. Nomor kamar yang tertera adalah nomor 23 sampai 33. Semua pintu dan tembok terlihat sedikit mengikis dan agak berlumut. Lampu – lampu yang dipasang menggunakan cahaya kuning menempel di tembok – tembok kamar. Permadani hanya sebatas tangga ke bawah, sedangkan sisanya sama dengan jalan tanah setapak seperti di luar gedung.
Di tengah perjalanan, Abigail melihat cahaya putih dari sebuah tanda yang bertuliskan “Bathroom & Toilet”. Dari sana keluar seseorang yang memakai seragam yang sama dengan Abigail, hatinya sedikit merasa tenang bagaikan oase kecil di tengah padang pasir yang sangat luas.
“Abi?”
“Penny!” Abigail mempercepat langkahnya mendekati suster lain. “Sedang bertugas?”
“Nah, waktunya memandikan Madame Dutley, kurasa? Kamu sendiri?” Penny melakukan senam kecil dengan handuk di pundaknya.
“Mengantar paket untuk Mr. Clovis. Ruangannya yang paling pojok, ‘kan?”
“Nomor 33, paling pojok, kanan jalan, kamu tidak akan pernah salah, kok.” Penny menunjuk.
#Hah… (sighed)
Percakapan itu hanya singkat, yang berarti oase Abigail akan cepat berakhir.
“Terima kasih. Nah, sebenarnya aku ingin ngobrol sedikit,” Muka Abigail kembali diselimuti cemas. Ia tidak ingin segera menyapa dibalik ruangan nomor 33.
“Kamu ingin? Aku juga darling.” Penny terkekeh. “Nah, aku tahu kamu baru masuk ke nilfheim ini. Tapi percayalah, Mr. Clovis adalah berlian di dasar lumpur ini! Kamu seharusnya bersyukur!” Penny, wanita dengan lipstik menor dan makeup tebal itu menepuk punggung Abigail.
Itu sedikit mengurangi rasa gugup dan cemasnya.
“Terima kasih, Penny,”
“Huh? Katakan itu saat kamu mentraktirku di restoran kecil!” Penny segera masuk dan melambaikan tangannya.
Dengan senyuman tipis dan sedikit dorongan moral, Abigail kembali melangkah. Sampai pada ruangan paling pojok, bernomor 33, Abigail mengetuk pintu dengan ringan.
“Pe-permisi…?”
#Ckrak! Ngeeek~
Sesosok pria necis ala sales kantoran dengan senyuman lebar di bibirnya menyambut Abigail. Mukanya benar – benar tersenyum bahkan matanya terbuka kecil dan tampak seperti orang tidur.
“Ya, Misstress?” tanya pria itu kalem, ramah dan sopan.
Rasa cemas Abigail langsung pudar.
“Sa-saya… saya membawakan paket untuk anda, Mr. Clovis.” Abigal menyerahkan paket itu.
“Woah!” Sebuah kotak berkuran 40 x 40 cm diterima pria itu. “Terima kasih, silahkan masuk dulu!”
Abigail melangkah masuk. Karena itu pertama kalinya Abigail masuk ke salah satu ruangan di lantai bawah tanah, ia merasa terkesima dengan rapinya ruangan itu.
Tembok yang dilapisi karpet tebal, ruangan yang longgar. Bahkan ruangan ini punya kulkasnya sendiri dan cukup besar. Dan yang terpenting, sejak kapan ada meja kantor? Abigail bertanya – tanya dalam benaknya.
Lantas…
Pandangan Abigail tidak sengaja tepat ke arah wanita yang di ranjangnya menggerakkan dua stik dan benang – benang terurai.
Wanita itu tangannya lemah gemulai… Cekatan dan kreatif…
Setidaknya Abigail tahu itu karena ia punya minat dan hobi yang sama. Tentu, rasa tertarik Abigail membuatnya mendekati wanita lesu itu.
“Anda suka menjahit, Madame?” seru Abigail semangat dengan senyuman cerah dan tulus., sambil menundukkan badannya.
Wanita itu hanya diam saja dan terus menggerak – gerakkan dua stik dan benang yang menjuntai. Sementara pria yang bernama Clovis tadi sibuk mencari sesuatu untuk membuka kotak paketnya.
“Anda tahu, madame? Saya ingin sekali bisa bekerja terampil menjahit. Tapi… karena uang terbatas, saya hanya punya kesempatan sekali untuk kuliah dan kata orang… menjahit nggak menjamin kesejahteraan, Nah otomatis, saya harus…-“
“Menyerah dan menunggu kesempatan lain, Abi?” balas wanita itu tiba – tiba. Kedua tangannya berhenti menggerakkan stik itu. Matanya melirik dengan malas ke arah Abigail.
“M-madame?” Abigail mendongak perlahan.
Wanita itu, mukanya datar dan kosong memandang kasihan Abigail. Juntaian rambut hitamnya membelah di dahinya, kedua matanya berwarna merah darah terang.
Masalahnya, Abigail heran dan kembali cemas terhadap hal lain. Abigail yakin sekali kalau ia hanya mengantar paket kotak itu. Ini juga pertamakalinya Abigail bertemu dengan pasien lantai bawah. Terlebih lagi belum ada tambahan pengumuman bahwa dirinya akan dipindahtugaskan mengurus pasien di lantai bawah.
(Bagaimana dia tahu namaku?)
***
ns18.219.68.172da2