Tiupan angin membawa titik – titik air langit deras membasahi rerumputan di Patronal Desmene, wilayah Dublin. Lampu sirine merah biru seolah memecah gelapnya malam, menerabas genangan air yang menyebabkan bersimpahnya air lumpur tidak teratur tepat pada tulisan “Ambulance”.
Mobil itu diparkir tepat pada jalur aspal dengan garis dan tulisan putih yang segera diketahui bahwa itu adalah tempat parkir. Setelah mobil dimatikan mesinnya, dua orang petugas berlindung pada sebuah payung, kemudian berjalan cepat mengikuti jalan setapak diantara rerumputan yang telah dipotong rapi, hingga menuju pada sebuah pintu selebar dua orang.
#Knock, Knock!
“Siapa di sana?” tanya seorang wanita meski matanya mengintip dari lubang pintu berbentuk huruf “O”
“Apa ini semacam kuis, Madame Murtlock?”
#Ckrak! Ngeeek~
Pintu itu terbuka, salah satu petugas menguncupkan dan menaruh payungnya di rak payung dekat pintu masuk. Wanita parubaya berkacamata itu menyuruh dua petugas ambulan itu masuk dan menawarkan makan malam.
“Maaf, lain kali saja. Hari ini kami ingin pulang cepat,”
Meski mereka menolak, wanita yang dipanggil Madame Murtlock menyuguhkan dua cangkir coklat panas dan empat biji coklat snack untuk dibawa di perjalanan.
“Kali ini ada apa lagi, Mr. Braud? Mr. Gideon?”
“Ah, yang ini cukup mengenaskan, ya ‘kan Gid?” pria botak itu berpaling pada kawannya yang agak kurus.
“Wanita ini babak belur! Kayaknya habis dipukuli! Eh, mungkin juga korban pemerkosaan?”
Dua orang wanita lebih muda berseragam yang sama dengan Madame Murtlock, seragam suster, tiba – tiba menghampiri mereka setelah mendengar kata “wanita” dan “pemerkosaan”.
#Tch! Hah…. (Sighed)
“Dari mana kalian temukan?” Madame Murtlock menggeleng – nggeleng heran. Bahkan kedua suster di belakangnya juga memasang wajah khawatir.
“Jalan Davheinport, Darkey!”
“Sebenarnya itu nggak mengagetkan. Tempat itu dipenuhi orang – orang kaya. Mereka akan melakukan apapun untuk mengusir orang miskin! Apalagi orang gila!” seru pria berkacamata yang bernama Braud.
Madame Murtlock diam sesaat. Ia tampak agak keberatan.
“Susan, Abi, bantu mereka!” pertintah Madame Murtlock pada dua suster yang lebih muda darinya.
Susan, wanita yang berwajah keki dan menawan dengan rambutnya kuncir belakang pendek. Sedangkan Abigail, adalah wanita lembut dan lugu, sedikit bintik merah di pipinya dan memakai kacamata lingkaran.
Susan mengambil satu payung lagi, kemudian mereka berempat menjauhi gedung bata merah dengan atap kerucut, menuju ke mobil ambulan. Kedua suster muda itu membawa payung untuk melindungi mereka.
#Jeg!
Pintu belakang mobil terbuka. Tiba – tiba hidung kedua suster itu digetirkan oleh sesuatu.
“Bau apa ini, Mr. Braud? Pesing banget!” Susan memekik dan terperanjat, kini ia menjepit hidungnya. “Apa kalian ini semacam pahlawan? Kok acak banget ngambil orang?”
Tidak hanya Susan, Abigail juga merasa demikian. Hanya saja, Abigail lebih menata bahasa yang hendak ia ungkapkan.
“Apapun itu, Nona Susan, orang yang melakukan ini sangat keterlaluan!” Petugas ambulan yang bernama Gideon itu segera menyalakan senter dari ponsel sakunya. “Lihat! Siapapun yang melihat ini pasti akan berpikiran sama!”
Rambutnya acak – acakan, baju kmeja kotak – kotaknya lusuh dan tampak basah, dan hanya terpakai celana dalam di bagian bawahnya. Sebagian besar tubuhnya dipenuhi luka lebam, sedangkan hidung dan mulutnya ditempati bekas luka darah yang agak mengering. Wanita ini hancur, sehancur – hancurnya kondisi mental dan fisik. Ia hanya menangis pelan entah itu sakit pada fisiknya atau hatinya.
“Nah, setelah dipikir – pikir, kamu benar juga Mr. Gideon.” Susan mengangguk kecil. Kini bau itu sudah bukan menjadi bakal permasalahannya, Susan ikut iba melihat wanita itu.
“Mr. Braud, Mr. Gideon, apakah ada yang melapor soal ini? Atau anda berdua kebetulan lewat?”
“Nah, soal itu…,”
Kedua petugas ambulan itu mengatakan bahwa ia sebenarnya sering mendapat panggilan telepon di sekitar Davheinport, jadi sebagian besar orang menyimpan nomor mereka. Kedua petugas ambulan itu mengaku sering mendapat permintaan pribadi.
Hanya saja waktu itu ada panggilan dengan nomor tidak dikenal. Orang dengan nomor tidak dikenal itu melakukan pembayaran via transfer. Orang dengan nomor tidak dikenal itu hanya mengatakan wilayah Davheinport, gang kecil dengan tempat pub besar dekat jembatan.
“Kami nggak menyangka kalau alamat absurd itu ternyata lebih mudah. Cuma… ini sangat nggak disangka – sangka! Wanita ini seperti sekarat dan membutuhkan pertolongan!” jelas Mr. Braud
“Hey, berarti kalian bolos kerja, dong!? Ya ampun, Rumah Sakit Ambertcourt harusnya lebih tegas!” celoteh Susan sambil tertawa kecil.
#Hah…. (Sighed)
“Kamu nggak punya nilai bagus ya selain dada dan tubuhmu, Nona Susan?” Mr. Braud membenarkan kaca matanya.
“Hey, apa katamu!?”
“Ng-ngomong – ngomong, kami nggak bolos. Lagipula itu tepat setelah kami mengantar obat - obatan di Port’O Neal Avenue. Sekalian juga kami telah memfoto wanita itu sebagai bukti bila ditanyakan,”
Petugas bernama Gideon itu menyodorkan foto itu.
“O-oh…. Tapi, kenapa dari sekian rumah sakit kalian memilih tempat ini?”
“Itu karena nggak ada lagi tempat yang berbaik hati? Kudengar dari pembicaraan suster di tempat ini dulu, mereka menerima pasien yang nggak jelas asal - usulnya untuk dirawat, ‘kan?”
Abigail mengangguk kurang yakin. “Ahaha…, kalian agak berlebihan di bagian awal itu, saya rasa?” ia tertawa kecil penuh keraguan.
Wanita itu digendong seperti tuan putri, dengan dua orang petugas ambulan. Sementara dua suster itu melindungi mereka dengan payung.
Sesampainya di sana, Madame Murtlock terkejut dengan bau dan kondisi wanita itu. Ia langsung menyuruh Abigail dan Susan untuk memandikan wanita itu. Tentu, dibantu oleh dua petugas ambulan untuk menggotong wanita itu hingga sampai kamar mandi.
Lantas, kedua petugas ambulan itu hendak pamit.
“Sebentar, kalian tanpa izin seenaknya menaruh wanita itu di tempat kami! Dan kalian juga menerima pembayaran pribadi. Bukankah tuhan sangat mencintai kalian hari ini, Mr Braud, Mr.Gideon!?” Madame Murtlock menyipit pada kedua insan itu.
“Eh… anu….. Ehehehe?”
“N-nah, ma-masa iya Madame Murtlock ingin mengambil uang itu?” Gideon seolah takut menatap wanita parubaya di hadapannya. Ia terus menoleh ke arah temannya itu untuk segera menyelesaikan urusan kecil ini.
“Tunggu sebentar! Kalau kabur, kalian nanti lihat konsekuensinya!” Madame Murtlock meninggalkan kedua insan itu dengan pintu terbuka.
Braud dan Gideon yang merasa terancam, mereka tidak berani berbuat macam – macam.
Dalam dua menit,
Madame Murtlock menyerahkan pulpen pada salah satu petugas itu.
“Anu… Madame?”
“Tanda tangan ini adalah bukti bahwa pasien asing dari mobil ambulan Rumah sakit Ambercourt diterima oleh kami. Surat ini adalah kelanjutannya dan untuk referensi beberapa obat dan semacamnya yang kami minta dari Rumah Sakit Ambercourt.”
“Ta-tapi…?” Mr. Braud melirik ke arah rekannya.
“Jangan bilang anda juga melimpahkan semua tanggung jawabnya kepada kami!?” protes Madame Murtlock dengan tegas.
“Ah, ba-baik akan segera kami tanda tangani!”
Setelah kertas itu ditandatangani, Madame Murtlock memasukkanya pada amplop dan dibawa oleh mereka pergi. Madame Murtlock memberi ancaman bila surat itu tidak diserahkan, ia akan melaporkan kedua petugas itu.
Kini, kedua petugas itu telah pergi. Sementara Madame Murtlock masih menggeleng heran.
#Hah…. (Sighed)
(Harus bagaimana aku mengurus wanita itu? Lagipula kami juga overload….. Tapi, aku juga nggak tega…..)
(Nah, siapa lagi memangnya? Nggak ada lagi tempat selain disiini….)
(Meskipun, P. Audagird Hospital nggak sedang dalam keadaan finansial yang baik – baik saja…..)
Madame Murtlock membiarkan kekhawatiran dalam pikirannya.
Lantas, ia menutup pintu itu dari dalam. Dengan perasaan cemas, tentunya.
***
ns3.142.94.158da2