Ruangan yang bertembok karpet kedap suara, lengkap dengan tiga tempat tidur dan satu meja kantor. Lampunya redup, meski burung hantu bersahutan mencari pasangan dan hidangan. Tidak hadirnya dua jendela persegi panjang itu membuat ruangan semakin gelap, perasaan takut akan kegelapan tentu akan menaik.
Walau begitu, tiga buah lentera siap terpasang. Di dua meja dekat tiga tempat tidur dan meja kantor. Walau pencahayaannya minim, pria yang mukanya ditempati satu miliar senyuman orang di dunia itu tetap bekerja tampaknya. Bahkan, bisa saja senyumnya itu memberi cahaya lain? Atau sebuah kehangatan.
Pria dengan jari – jarinya yang cepat dan disiplin, pada meja kantor yang ditatap sebuah laptop. Lantas ia berhenti mengetik setelah tombol “enter”. Ia tercetuskan sebuah cerita untuk kekasihnya.
“Ah! My dearest!Mau mendengar cerita?” kata pria yang memakai setelan lengkap mirip pegawai sales kantoran. Bahkan rambutnya disisir rapi dan tampak necis.
Sementara itu….
“….” Lawan bicaranya hanya diam saja.
Wanita itu dengan jari – jarinya yang lemah gemulai dan terampil. Meski dengan pencahayaan yang minim, tidak ada tanda – tanda gangguan baginya sama sekali. Bahkan kedua tangannya masih menggerakan dua buah stik dengan berjuntai – juntai benang berwarna biru.
Kebalikan dari pria tadi, di wajahnya bersemayam tangisan satu miliar orang sedunia. Raut mukanya terlihat lesu dengan kulit pucat memakai pakaian mirip piama warna hijau muda. Bahkan, wajah sedihnya bisa memberikan empati bagi orang lain? Atau rasa kesepian.
“Dalam sebuah kesulitan, hiduplah seorang gadis malang. Tunggal… dan ibunya telah pergi duluan bertemu tuhan….” Pria itu tetap bercerita dengan menghayati, kemudian duduk di dekat kekasihnya sambil memijat – mijat ringan bahu kekasihnya. “Ayahnya…, hanya pekerja kantoran kecil. Menghidupi mereka berdua dalam flat kecil bahkan sangat menyulitkan. Karena itu, gadis itu memutuskan ikut membanting tulang sambil meneruskan pendidikannya.”
Wanita itu masih diam saja, seolah dua stik dan benang itu saat ini lebih penting. Meski begitu, ia tetap menikmati pijatan di bahunya.
Pria itu masih melanjutkan cerita kecil yang ia mulai.
“Gadis itu teruusssss berjuang. Bekerja sambil bersekolah, eh? Aku nggak kepikiran betapa sulitnya itu. Apalagi… siapapun yang miskin, pasti mengalami penindasan di tempat apapun, ‘kan? Misalnya sekolah. Gadis malang itu… juga punya musuh yang tidak ia ciptakan!”
Pria itu merangkul sejenak kekasihnya itu, kemudian melantunkan kelanjutan ceritanya.
“Ditindas! Dibully! Dicaci maki! Diolok! Direndahkan martabatnya! Semua adalah snack yang dibawa gadis itu meski tidak membuat kenyang atau bahkan sekedar nikmat di lidah.
Gadis itu terpuruk! Selama enam tahun! SMP dan SMA baginya adalah neraka!
Suatu saat…
Ia menjadi seorang wanita. Menginjak di bangku perkuliahan!”
#Knock,Knock!
“Masuk….”
Pintu terbuka.
Seorang suster membawa sebuah platter berisi jarum suntik, pil, dan segelas air mineral.
Suster itu dengan wajah yang lelah dan bibir cemberut segera menuju pada kekasih pria itu tanpa sepatah kata. Suster dengan kesan “sangat tidak ramah”, pikir pria itu. Otomatis, itu membuat pria itu menyingkir dari dekat kekasihnya dan membiarkan suster itu bekerja.
Suster itu….
Mengambil kedua stik wanita itu, lalu menaruhnya di atas meja. Suster itu segera meraih lengan wanita yang lemah gemulai itu dengan tegas. Wanita itu hanya pasrah dan tidak melawan, apalagi kekasihnya yang tidak bisa apa – apa.
#Jleb!
Lubang jarum suntik kini telah dimasukkan.
Kemudian, suster itu membuka satu bungkus pil. Lagi – lagi tanpa izin atau kata – kata, raut mukanya yang cemberut, tidak menyenangkan, dan tampak lelah itu membuat wanita itu langsung mengerti.
#Gluck!
Wanita berambut hitam panjang itu telah meminum pil. Kini, ia tidak lagi menggerakkan jari – jarinya pada dua stik itu. Sebagai gantinya, selimut itu ditarik dan kepalanya bersadar di atas bantal.
Setelah urusan suster itu selesai, tanpa sepatah kata, langsung keluar dari kamar itu.
#Blar!
Pintu itu tertutup cukup keras. Meski pria dengan satu miliar wajah senyuman itu tersenyum, dapat dipastikkan ia sama sekali tidak mengapreasiasi perilaku suster tadi.
“Katakan, darling, apakah dengan bekerja keras kehidupan wanita yang kamu ceritakan tadi berubah?” dengan suara yang lemas dan lembut, bibir wanita itu mengucap perlahan.
Pria itu kembali berpaling pada kekasihnya. Ia kembali duduk menyandar dekat kekasihnya.
“Hm? Setelah banyak tusukan batin dan perjuangan keras… normalnya…..” kata pria itu lembut. Ia mengelus kepala kekasihnya agar membuatnya nyaman.
“Normalnya?”
“Nah, berita terbaiknya adalah… wanita itu mendapat sahabat di perkuliahan! Wow! Bukannya itu hal yang menarik, my dearest?”
“Um… sahabat…. Aku rasa… itu akan berjalan dengan baik?”
Wanita itu langsung tertidur. Pria itu perlahan – lahan menjauh dari tempat tidur istrinya. Ia kemudian kembali bertempat di kursi putar dan meja kantornya. Jari – jarinya mulai mengetikkan sesuatu.
#Hahh.. (Sighed)
“Nah, normalnya begitu. Karena kita tinggal di ketidaknormalan, kurasa wanita itu perlu mempertimbangkan sahabatnya lagi?”
.
.
Keesokan harinya, suster yang “sangat tidak ramah” itu dikeluarkan dari pekerjaannya.
***
ns18.219.31.133da2