Kembali mengambil kendali pikiran, aku sempat terbawa pada konsentrasi yang tak berujung dan membosankan. Lagipula cerita itu kurang menarik.
Kupikir saat ini aku harus mengalah. Inspirasi sedang mampir di kepala yang lebih luas, mungkin? Aku membenamkan buku kecil hitam dengan menaruh pena di tengah halaman. Mereka harus tidur di saku celana untuk sementara waktu.
Aku bangkit dari dudukan sekitar air mancur di tengah lapangan berlantai marmer putih. Indah, tenang dan wangi karena dikelilingi taman bunga. Aku menghampiri kawanku.
“Kamu belum selesai, Rodeo?” sapaku.
“Sedikit lagi… dan… oke selesai!” Ia menaruh alat siram di sebelah tanaman melati yang paling dekat dengan marmer putih. “Ngomong – ngomong, jam berapa sekarang?”
Kuputar pergelangan lengan kananku. “Lima pagi.”
“Well, itu memang terlihat begitu.” Ia mendongak ke atas, memandang atap kaca tepat.
Ann Rowdy, adalah teman konyol tapi orangnya asik. Sering kupanggil Rodeo karena pipinya agak terjal bidang sampai ke dagu mirip wajah kuda di acara Rodeo.
Dia wanita menyenangkan yang selalu berisik soal olahraga dan gaya hidup sehat, meski penampilannya sedikit chubby. Rambutnya dikuncir seperti gunungan kerucut penampung es krim. Impiannya ingin kurus dan terlihat seperti model. Yeah, walau…
Ini mungkin sedikit kasar, tapi Ann Rowdy agak kurang memperhatikan bungkusnya. Bahkan gerak – gerik mataku menyipit sinis melirik dari atas hingga ke bawah.
“Calon model seharusnya memperhatikan apa yang ia kenakan,”
Ia sadar akan pandangan sinisku, tentu ia juga tahu kalau aku tak serius. Kepalanya menunduk mengikuti arah mataku, memandang kaos putihnya bernoda coklat – coklat.
“Oh ini? Yeah, pernah dengar model tema bercocok tanam?”
“Uh huh,” Aku mengangguk, memberinya kepuasan kecil. “Darimu barusan?”
“Well, kamu tahu siapa bintangnya?” Ia mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Tentu aku menepis ringan. Rasanya sindiranku telah ditepisnya sempurna.“Baiklah – baiklah, nona, kamu menang!”
“Ngomong – ngomong, kamu nggak lapar?” tanyaku padanya. Sebenarnya aku merasa tidak enak kalau di dapur sendirian.
“Kamu pikir hanya dengan menyirami bunga membuatku kenyang?”
Aku mengangkat bahuku atas pertanyaan konyolnya.
Saat hendak berencana menuju dapur, satu teman kami lebih dulu membawakan sebuah platter, di atasnya terdapat tiga roti isi oval panjang dan seteko minuman hangat. Dari cara berjalannya yang agak kurang seirama, kumis dan tubuh yang terpendek diantara kami bertiga. Sangat khas dan tak mungkin tidak dikenal.
“Woah, Kapten Thatch! Hamba senang menyapa anda!” Aku membungkuk gembira.
Rowdy sedikit menahan tawa agak terpingkal. Well, bukan pada kaki pincangnya, tapi kumis kebanggaannya yang berujung gelombang mirip kumis kakek monopoly itu harus berakhir terpotong.
“Duh! Muda – mudi jaman sekarang agak keterlaluan!” Mulutnya menggerutu dibalik gumamannya yang semakin terdengar. “Hey, kalau nggak keberatan bisakah angkat bokong kalian?”
Pria lewat lima puluh tahunan itu mulai kehilangan keseimbangan.
“Aiyai kapten!” Aku mengiyai. Lekas aku menepis dahan platter itu. Kami tempatkan pada dudukan air mancur.
Duduk lesehan bertiga dikelilingi bunga, adalah salah satu bagian dari keakraban kami. Tentu sebagai yang lebih muda dan paling baru, aku menuang teh hangat pada tiga cangkir.
Roti, selada, keju, daging giling diskon, bawang, dan kecap diolah kemarin dan dihangatkan dalam oven tadi pagi. Tak mengurangi segi kualitas dan rasa. Baru dua dari enam gigitan yang tersisa, tapi kedua rekanku ternyata lebih lahap dan cepat.
Setidaknya itulah yang kupikirkan. Walau jujur saja….
“Kadang, aku merindukan suara minyak di atas kompor!” Aku merengek lesu dan kurang bergairah.
“Uh huh.” Rowdy mengangguk dan mengiyakan tanpa komentar.
“Well, aku tak menyangkal. Bisa dimengerti baru tiga bulan. Lagipula akan baik – baik saja kalau menginjak setahun,” Kapten Thatch mengatakan nasihat yang belum tentu meningkatkan semangat.
“Hey, itu nggak membuatku merasa lebih baik!”
“Siapa juga yang memberimu nasihat!” Kapten Thatch segera mengakhiri gigitan yang terakhir lalu menghabiskan teh hangatnya.
Begitulah aku memanggil pria berkumis itu, orang yang mirip Kapten Thatch atau bajak laut Edward Teach, Blackbeard. Swot Hobble, pria dengan kepala mirip padang pasir melingkar dikelilingi rerumputan rimbun. Alias semi botak. Rodeo memperingatkanku soal kaki Kapten Thatch yang tak boleh disinggung. Selain nama Kapten Thatch tak ada lagi yang boleh dibuat candaan.
Well, masalahnya kemarin ia hendak memotong tipis kumisnya yang cukup panjang dan bergelombang. Tapi karena Nyonya Strangle memanggilnya, pria itu terburu – buru dan kurang memperhatikan gunting saat memotong. Pada akhirnya demi menghindari hasil yang tidak simetris, ia kehilangan ujung gelombang yang tampak eksentrik. Sejujurnya, penampilannya malah lebih baik.
Beberapa menit kemudian, platter tersebut kosong, beserta tekonya yang berisi seperempat. Kami tak mungkin menghabiskannya. Sedangkan senter pagi mulai menyapa dari celah atap kaca taman.
“Ngomong – ngomong, kalian sudah melakukan shift dengan baik?” Kapten Thatch berdiri merapikan kaosnya sambil mengambil platter.
“Taman beres!” Rodeo spontan bangkit dan semangat.
“A-aku… walau sedikit sulit, tapi, yeah… tuntas.” Kebalikan dari Rodeo, aku masih sedikit ngantuk dan kadang menguap. Walau duduk sebentar rasanya mirip bangun dari ranjang.
Roman muka Kapten Thatch terlihat lega.
“Hah… baguslah. Sesekali telingaku berhak puasa dari ocehan wanita itu,”
Kapten Thatch pergi sambil membawa platter itu, roman mukanya sedikit lega.
ns3.144.132.48da2