(Kemana angin membawaku…?)
Pertanyaan itu terus melilit satu sama lain bagai tali di dahan anganku.
Dua bola kelereng berbinar ini sedang menatap bawah meski aku tak berniat melihat marmer putih. Badan kurus tegapku membeku meski tak sedang kedinginan, sedikitpun tak bergerak Buku kecil hitam telentang seolah sedang menangkap skenario kehidupan, meski masih kosong dan polos. Kompak dengan pena sepuluh poundku yang enggan menggores, setidaknya satu huruf.
(Aku sedang berkonsentrasi, tapi….)
Ini belum bisa dikatakan begitu. Karena komputer dalam kepalaku nyala saja belum. Hanya karena memasukkan pakaian ke kotak mesin cuci pukul tiga pagi, adalah alasan yang enggan kuberitahukan. Tapi semestinya itu juga alasan mengapa kedua pipiku masih sering terangkat karena menguap. Padahal mulut ini telah disiram air hitam sumber konsentrasi tadinya.
(Kopi hitam tanpa gula….)
Betapa pahit getir rasanya, jauh dari lidah mengecap manis. Hitam pekat, namun memberi kehidupan.
#Splash!!!
Dahan lenganku menepuk kedua pipi ini sampai wajahku seperti gepeng sesaat. Spontan dan membekaskan warna merah.
(Duh… ini menyakitkan….)
Yeah, stimulasi! Itu benar – benar menghilangkan penat yang nyaris membuat bola pandanganku menutup nyenyak. Meskipun mata ini terasa agak sayu – sayu.
Dahan anganku kemudian memutar kaset cerita hidup. Tapi biar kukatakan hal penting. Ini adalah cerita komedi, tapi banyak didramatisir.
(Nggak terhitung… berapa tahun yang tersisa?)
Makanan…
Menyewa tempat tinggal…
Pekerjaan…
(Ini tentang biaya hidup yang nyatanya lebih mahal daripada pendapatan.)
Lahir di london bukan berarti mereka menerima kehadiranku. Satu per satu keluargaku kehilangan arah pencahariannya. Siapa yang tahu? Laju inflasi masa depan tidak memandang negara baik maju atau berkembang. Tidak memandang yang miskin atau kaya.
Ayah adalah pemain lama di pekerjaan lima belas pound per jam. Jenjang karir yang menggelikan, berakhir menggantung harapan. Mirip pemain andalan yang terkena sliding oleh lawan. Lawan memang menerima kartu merah dari wasit, tapi kerugian yang diterima ayahku lebih buruk dari itu. Kalah dengan seleksi alam, meninggalkan beberapa bill tagihan kesehatan. Dengan begini ayah juga harus tereliminasi di ring pertandingan kehidupan.
Ibu…. Well, pribadi yang penyabar meski sering diinjak hatinya. Pekerjaan kasar dilakukan telaten olehnya dari buruh cuci hingga rumah tangga. Apapun dilakoninya. Bertuan ramah hingga bak kapal pecah sekacau – kacaunya. Menahan dahan lelah, demi mengupahi kehidupan keluarga kecil kami, termasuk bill tagihan kesehatan. Semesta tahu alam dunia terlalu keras untuknya. Karena itu, kesempatan itu turun lalu ibu bertemu dengan ayah di tempat dahan anganku saja.
Pergi begitu saja tanpa tagihan apapun begitu pula uang koin. Well¸ untung aku telah lulus SMA. Sehingga arah tujuan hidup kupasrahkan padaku sendiri. Alam membiarkan mengolah potensi dan berharap nasib berkata baik kepadaku.
(Fiuh… inginnya berkata seperti itu)
Dari inggris ke Skotlandia, tempat yang bagus dan murah. Sepi dan tenang.
Apakah itu kurang baik untukku?
Well, tidak juga. Saking sepinya lapangan mata pencaharian juga jarang. Tapi karena Ayah dan Ibu menitipkan nama spesial padaku, pekerjaan selalu mudah diterima. Tujuh pound per jam, cukup minim dan itu bahkan sangat tidak cocok disandingkan dengan London. Sisi baiknya tempat ini agak lebih mendingan. Menyewa tempat kecil dengan kamar mandi bukanlah mustahil. Nyaman seperti tempat pensiunan. Bahkan tetangganya baik hati dan perilakunya.
(Lalu kutanyakan pada diriku sendiri. Apakah aku akan selamanya menua di sini?)
Dewi angin membisikkan telingaku dengan jelas saat itu. Sederhana dan penuh kewibawaan.
(Jenjang karir….)
Yep, tak ada jenjang karir. Dan aku juga bukan pensiunan. Tentu kain putih ini butuh warna yang tak akan ditemukan di tempat ini. Pemuda sepertiku tentu butuh banyak pengalaman dan melukis kehidupan. Karena itulah, menimba beberapa pounds sebagai persiapan. Aku terbang jauh.
Ke Wales. Meskipun….
Pada akhirnya aku bisa bilang itu… tidak terlalu baik. Faktanya memang lebih berwarna tempat itu. Tapi apa gunanya warna tanpa kanvas? Apa gunanya pernak – pernik kota tanpa lowongan pencaharian? Ini memang menggelikan.
Well, meski dapat tapi sedikit naik tingkat sih, sepuluh pounds per jam. Tapi karena kenyamanan di tempat sebelumnya, Skotlandia, membuatku berpikir lebih. Aku sadar mereka punya faktor penunjang yang lebih, tetangga yang sangat ramah. Bahkan mirip keluarga sendiri. Ini tidak seperti aku telah mengelilingi seluruh wilayah Wales. Hanya saja… Skotlandia terasa lebih cocok.
Dahan anganku bahkan belum sampai ke puncak, itu sudah roboh begitu saja. Rasa malu timbul bila kembali ke Skotland, tapi well….
Karena itulah aku bisa sampai ke tempat ini. Lagipula kemana lagi harus pergi bila Inggris, Skotlandia dan Wales bukan tempat yang angin ingin membawaku?
Begitulah, ke Irlandia utara, harapan baru meski berada diujung dahan. Agak menjanjikan terutama dengan seragam ini.
ns3.144.143.110da2