“Ges, nanti kerkom di mana jadinya?” bel pulang sekolah sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Rana dan kawan-kawan sedang sibuk merapikan alat tulisnya ke dalam tas.
“Watepa? Kan makanan di sana merakyat semua harganya hahaa” ucap Safia sambil menyampirkan tali tasnya di bahu. Watepa sendiri merupakan singkatan dari ‘warung teh epah’. Warung jajanan yang enak dan pas di kantong.
“Tapi mejanya kecil, steak moen-moen aja,” mereka berempat keluar menuju parkiran motor.
“Yaudah di sana aja, gimana, Ran?”
“Yaa oke boleh. Sitha, kamu bawa laptop, kan?”
“Bawa. Tenang aja.”
Tak lama mereka sampai di tempat tujuan. Yura dan Safia langsung saja memesankan pesanan untuk mereka. Sedang Rana dan Sitha langsung menuju ke bagian atas dari ruko itu. Menempati meja yang lesehan, Sitha pun mulai mengeluarkan laptopnya.
“Kita cuma nyari materi debat buat lusa, kan? Kelompok kita kebagian judul apa kemarin?”
“Iya, kita dapet judul ‘merokok menyebabkan kualitas anak bangsa menurun’. Ini lagi kucari di internet.”
“Ah enak banget ya, Rumi, gak ikut kerkom,” ucap Safia yang sudah kembali dari kasir.
“Biarin aja, nanti dia bagian yang ngeprint. Selo.”
“Siniin lepinya, aku udah nemu, nih, materinya.” Rana menarik laptop Sitha untuk mendekat ke hadapannya dan mulai menarikan jari jemarinya di atas papan ketik. Pesanan pun datang.
“Makasih, Mas.”
Selang 25 menit kemudian, tugas dari guru Bahasa Indonesia mereka selesai juga. Namanya saja yang kerja kelompok. Yang kerja satu, yang kelompok sibuk masing-masing. Tapi Rana ikhlas kok, tenang saja.
“Rana, gue mau nanya, nih. Lo..suka, ya sama Leon?” Safia bertanya dengan sangat hati-hati. Khawatir salah bicara. Sedang tangannya sibuk mengiris daging dan menuang saus sambal.
Adooh gimana ini gimana?!
“Kenapa nanya itu?” alih-alih menjawab pertanyaan yang diajukan sahabatnya itu. Rana malah mengajukan pertanyaan lain.
“Terlepas ini bener apa enggak, tapi menurut yang kita perhatiin beberapa hari terakhir ini, kamu jadi mau mau aja disuruh sama Leon beli ini itu di kantin. Bahkan ngasih liat tugas lo buat dia salin. Padahal biasanya kamu pelit kalo udah urusan itu, apalagi ngasih contekan ke manusia berkromosom y alias cowok. Ah dan satu lagi, cara kamu mandang Leon itu beda, bahkan sama Renjana yang notebenenya ‘your prudential’ gak seberbinar itu natapnya,” Yura pun angkat bicara.
“Ee… gimana ya, ges. Enggak suka, aku sebenernya cuma mau bantu Buman. Aku juga suka bantu Jana kok, jadi bukan cuma Buman aja. Nothing special. Kalo masalah pandang memandang, mungkin kalian yang salah mengartikan.”
Rana menyeruput es teh manisnya hingga setengah. Rana benar-benar bingung kalau sudah dihadapkan hal seperti ini. Bukannya ingin berbohong, tapi jujur saja Rana belum siap memberi tahu yang sebenernya kepada sahabat-sahabatnya itu. Kalian pasti pernah, kan, dalam posisi seperti ini?
“Ya, sebenernya gak papa, sih, kalo lo suka sama Leon. Kita bakal tetep support lo. Santai aja, kenapa jadi tegang gini kayak mau presentasi.”
“Ah lagipula gimana bisa upik abu suka sama pangeran. Emang aku layak? Timpang banget lah.”
“Tapi ati-ati aja,nih. Yang gue liat si Prima, mantan Leon itu gak suka kalo liat lo deket-deket sama Leon. Biasa, korban GaMon.”
“Iya-iya tenang aja teman-temanku yang cantik. Nanti kalo aku dilabrak, aku panggil kalian. Kalian siap, kan, berdiri di garis terdepan? Hahaha.”
Mereka mulai merapikan meja, menumpuk piring-piring bekas makan menjadi satu dan membuang sampahnya ke tempat sampah. Kebiasaan baik yang selalu mereka berempat lakukan ketika selesai makan di luar. Yura pernah bilang kira-kira begini, meringankan pekerjaan seseorang gak ada salahnya, kan?
Setelah semuanya beres, mereka pun pulang. Kali ini Rana pulang dengan Safia, kebetulan rumah keduanya searah.
“Ita-ita, gais. Sampe ketemu besok!”
Jalanan sore itu cukup lengang. Langit sedang menggelar karpet senjanya, meski sedikit didampingi oleh awan mendung. Kawanan burung sudah sampai di tempat persembunyiannya. Sedang para pengendara masih saja sibuk belomba-lomba jadi juara satu sampai rumah. Semesta selalu mengajarkan kita tentang banyak keikhlasan dan ketabahan. Tentang menerima. Hujan selalu tabah meski kehadirannya sering sekali disumpah serapahi manusia bumi. Hujan tetap saja turun dengan percaya dirinya. Tak terasa mereka sudah hampir sampai di depan gang rumah Rana. Dan rintik-rintik gemas dari langit pun mulai turun. Keduanya masih terdiam sampai akhirnya Safia berkata sesuatu yang membuat Rana mengulaskan senyum kecil.
“I know you loved him and that’s okay, Ran. Enggak perlu khawatir.”