“Hari ini kita akan mengadakan ulangan harian. Materinya mengenai pasal-pasal dan macam-macam pencemaran lingkungan hidup yang sudah kita bahas bersama minggu lalu.”
“Yah, Bu, kok dadakan, sih. Kan saya belum belajar, Bu,” beberapa anak menyesalkan mengapa ada ulangan harian dadakan hari ini.
“Lagian kenapa belajar harus nunggu ada ulangan dulu. Belajar ya belajar aja, jangan nunggu ada ulangan. Ibu bakal kasih kalian waktu 15 menit untuk mempelajari materinya.”
Rana dan yang lainnya menghela napas lega, segera mereka membuka bukunya masing-masing. Memanfaatkan waktu yang ada. Syukurlah Bu Mona masih mau memberi mereka sedikit waktu. Kalau tidak, sudah pasti akan ada remedial massal.
Untungnya menghafal dalam waktu singkat adalah keahlian Rana. Satu-satunya yang bisa Rana banggakan kepada dirinya sendiri.
“Waktu kalian sudah habis. Kumpulkan buku tulis kalian di meja paling depan. Di meja kalian hanya boleh ada alat tulis dan kertas selembar. Ibu akan membacakan pertanyaannya satu kali. Tidak ada pengulangan. Hanya lima soal.”
Peluh menetes dari dahi beberapa teman Rana. Beberapa lagi mengeluh karena tiba-tiba perutnya sakit. Telapak tangan Rana pun dingin seperti es. Ini hanya sebuah ulangan dadakan, tapi rasanya seperti ingin dieksekusi mati. Huh.
Setelah Bu Mona selesai membacakan yang katanya lima soal dan ternyata beranak itu, mereka pun mulai mengerjakan soal tersebut. Yang mempunyai ingatan bagus, sih, tenang-tenang saja mengerjakannya, kalau tidak ya tengok kanan-kiri.
45 menit pun berlalu dan bel pulang juga telah berbunyi. Mereka terpaksa mengumpulkan lembar jawaban dengan langkah gontai karena tidak puas dengan jawaban mereka.
“Ibu akan umumkan hasilnya dipertemuan kita minggu depan. Assalamualaikum.”
Bu Mona melangkahkan kakinya keluar kelas, diikuti seisi XII Pemasaran. Ada yang langsung pulang, ada juga yang berhenti di depan kelas untuk mengobrol terlebih dahulu.
“Rana, pulang sama gue, yuk?” Jana menghampiri Rana yang sedang bersandar di tiang depan kelasnya.
“Jana ngagetin aja. Tumben ngajakin bareng lo. Yaudah ayo.”
“Bareng gue aja, Ran,” tiba-tiba ada yang muncul di tengah-tengah Rana dan Jana ketika mereka sudah sampai di parkiran. Buman.
“Apaan, sih, Le. Gue udah ngajak Rana duluan. Lagian rumah lo kan gak searah sama Rana.”
“Iya, Bum. Gue sama Jana aja.”
“Hmm lagian gue gak serius kali, kalo nganterin lo ntar bensin gue abis. Dah ya, gue duluan, Ran, Jan.”
Menyebalkan. Buman tuh emang suka gitu, enggak berperi-kebaperan. Nerbangin Rana tinggi-tinggi, abis itu motong sayap Rana gitu aja. Tapi emang dasarnya Rana yang kesenengan. Biasa, perempuan. Maksudnya A, mengartikannya B.
“Naik, Ran. Maaf, ya, gue gak bawa helm satu lagi. Apa mau pake helm gue aja?”
“Enggak apa-apa, Jana. Lo aja yang pake.”
“Oh seperti itu. Ok deh. Pegangan, Rana. Soalnya perjalanan kali ini bisa mengguncangkan hati lo.”
“Bisa aja lo, nyong,” Rana tertawa seraya mengarahkan kedua tangannya di jaket yang Renjana pakai.
“Gue ragu nih sama nilai ulangan tadi.”
“Optimis dong. Gue juga gak maksimal tadi, tapi optimis aja dulu. Gak papa deh dapet nilai pas kkm, yang penting gak remed.”
“Gue juga optimis. Optimis remed hahah”
“Rana, lo tau gak bedanya lo sama bunga?”
“Duh, apa, ya? Enggak tau gue.”
“Sama. Gue juga gak tau. Makanya gue nanya lo, Ran.”
469Please respect copyright.PENANAWdx4GNQUsa
Bunga adanya di taman, kalo enggak di halaman rumah. Tapi kalo lo adanya di hati dan pikiran gue, Rana.
469Please respect copyright.PENANARbRmWhYjA2