Sang Matahari yang bersinar hendak menghilangkan sinar Sang Bulan,
Namun Sang Bulan melupakan posisinya sebagai satelit.
Bahwa dia gelap, dan sinar yang dipancarkannya itu milik Sang Matahari. Pantulan Sinar Matahari.
Seberapa Jauh pun pergi, tanpa Matahari, Bulan tak memilliki arti apa-apa.
~edrea leta leteshia
27 April 2020
Menginjak usia 19 tahun, pertanyaan mengenai arti kehidupan begitu sering menghantuiku. Tentang apa yang ku inginkan, tentang kehidupan seperti apa yang kusuka, seperti bagimana calon lelaki seperti apa yang aku inginkan menjadi pendampingku.
Memutuskan untuk pergi merantau dan bekerja dibandingkan melanjutkan pendidikan membuat semua impianku satu persatu terlupakan. Fokusku kini menjadi bagaimana caraku bisa sukses, mendapatkan banyak uang, menyelesaikan semua tunggakan yang kumiliki. Aku harus mendapatkan banyak uang.
Namun seringkali dalam kehidupan ini, apa yang kita bayangkan tidak sesuai dengan realita didepan mata. Kupikir dengan kemampuan yang kumiliki aku dapat menangani segala hal, Tapi nyatanya dunia kerja itu sulit. Kejam. Dan penuh tekanan.
Saat itu H-2 Ujian Nasional akan dilaksanakan, aku berusaha untuk dapat memahami materi yang belum ku kuasai. Namun tiba-tiba pandemi virus Covid 19 menyerang dunia, memakan banyak korban nyawa dan sekolah pun ditutup. Karena itu pula menteri pendidikan memutuskan untuk meniadakan ujian nasional. Grup whatsappku mendadak ramai, riuh dengan percakapan di grup mengenai UN yang ditiadakan, mengenai kelulusan yang didapat secara percuma. Hanya dalam beberapa bulan semua berubah secara instan.
Akupun mulai mencari pekerjaan, lalu saat itu semua terasa begitu mudah didapatkan. Aku mendapat lowongan pekerjaan, lalu hanya menunggu satu hari hasil nya keluar. Aku mendapatkan pekerjaan itu. Aku merasa bersyukur. Tak menunggu lama aku pun memutuskan untuk berangkat dan mulai bekerja. Namun seminggu sebelum itu…
Calon Bos ehe :
Assalamulaikum, Edrea. Apakabar? Semoga sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Jika berkenan tanggal 27 nanti kamu bisa datang ke klinik ya. Disana ada kakak kelasmu. Dengan sistem kerja shif. Makan dan tempat tinggal disediakan, gaji diawal 1jt untuk 3 bulan berikutnya ada kenaikan. Jika berkenan tanggal 27 nanti Edrea bisa datang ke klinik ya.
Alhamdulillah… iya bu terimakasih. Saya bersedia
Baik, ditunggu ya Edrea.
“YEAYYYY!! KERJAAAA!!” jeritku kegirangan.
“Heh! Kunaon gogorowokan?!”(kenapa teriak?!) Adikku muncul ditengah kebahagiaanku, aku langsung turun dari kasur dan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Kerja! Kerja! Kerjaaaaaa!” senandungku dengan nada asal dan bergoyang asal pula. Adikku bergidik ngeri, mungkinn dalam otaknya dia bertanya setan apa yang tengah meracuniku.
Aku berlari keluar kamar dan mencari ibu, “IBUUUU!! KERJAAAA!!” Teriakku mencarinya,
“Ngapain sih teriak, kerja apa?!” Ibu yang sedang memtong sayur menghentikan kegiatannya sejenak untuk mengomeli tingkah konyolku,
“Coba, siapa yang baru dapat KTP, lalu melamar kerja, dan hari ini dapat onfirmasi jika dia diterima untuk bekerja??” ujarku sambil menggerak-gerakan alis membanggkan diri.
“Saha?”(siapa?) aku melotot mendengar responnya yang tampak tak peduli.
“IBU!” aku menghampirinya, dan duduk disampingnya,
“Aku dapet kerja! Harusnya seneng, ini mah malah gitu. Aku kan bisa dapet uang, bantu biaya sekolah Lisa, nambahin biaya sehari-hari, lunasin tunggakan sekolah.” Jelasku panjang lebar, sambil membayangkan keindahan dunia dewasa.
“Kamu mau kerja pas lagi gini? Mau berangkat pake apa? Kita lagi gak punya uang. Udah diem dulu dirumah. Tunggu sampe keuangan stabil.” Kalimat dari ibu seakan menghempaskan kebahagiaanku, ditampar dengan realita kehidupan. Tapi bukan Edrea Leta Leteshia jika menurut. Apa yang aku inginkan harus didapat, apa yang tidak mungkin harus terjadi.
“Emang kalo aku diem dirumah uang bakal dapet? Emang kalo nunggu keuangan seimbang aku bakal dapet kerja? Apa yang ngejaminn itu semua? Kalopun keuangan kita seimbang seharusnya itu dari dulu, tapi yang ada Cuma omong kosong.”
“Tunggu bulan depan, Papa bakal dapet proyek.”
“Dari 6 bulan juga ngomongnya gitu terus, tapi hasilnya nol. Aku gamau nunggu sesuatu yang ga pasti. Aku gamau Cuma diem doang nunggu keajaiban dateng, sedangkan diluaran sana banyak hal yang perlu aku kejar. Aku gamau mimpiku dipatahin lagi Cuma karena alasan yang ga jelas. Karena aku udah dewasa, aku tau apa yang harus aku lakuin, dan aku tau apa yang terbaik buat diri aku.”
4 tahun lalu…
“Wahh Edrea hebat ya, selalu masuk 3 besar. Nanti SMA nya mau kemana?” tanya teman Ibu, hari itu masih hangat-hangatnya pembagian rapot. Jadi perbicaraan orang tua tak lupu dari rapot, dan nilai sekolah.
“Aku mau masuk SMANSA, masuk IPA terus nanti kuliahnya dijurusaan psikolog.” Jawabku dengan mantap.
“Psikolog? Rena anakmu mau masuk psikolog? Biayanya pasti besar tuh. Tapi anakmu emang pintar sih pasti dia dapet beasiswa ya.” Mendengar pujian seperti itu, aku semakin semangat untuk mewujudkan impiank,
“Hah? Nggak, dia mau aku masukin smk kesehatan biar masa depannya terjamin ga kuliah juga bisa kerja di klinik.”
Hancur. Impianku yang sudah ku persiapkan bersama teman-temanku di hancurkan begitu saja. Tanpa memikirkan perasaanku dia mebantah mimpiku. Mengapa orang tua selalu merencanakan sesuatu tanpa diskusi dengan anaknnya? Mengapa juga harus menjatuhkan harga diri anaknya semudah itu?
Aku menatap sendu ibuku, sial aku tidak boleh menangis disini.
Waktu pun akhirnya menunjukkan pukul 10 malam, kami bergegas untuk kembali ke rumah. Sejak kejadian itu aku berhenti bicara.Berhenti tersenyum. Karena aku sekecewa itu.
“Bukannya ibu gamau dukung kamu, tapi hidup itu harus realistis. Gabisa kamu maksain sesuatu yang gabisa kamu dapetin.”
“Terus kenapa ga diskusi dulu? Kenapa main bikin keputusan? Harusnya ibu tanya dulu passion aku dimana…”
“Ibu gamau kamu kecewa! Ditampar realita! Kita aja makan susah! Udah nurut aja!”
“Aku gamau masuk smk!”
Dihari itu aku mulai tak banyak berkomunikasi dengan ibu, di sisi lain aku terus menyiapkan diri untuk tes masuk SMANSA. Namun hari itu, 4 hari setelah UN ibu menyuruhku untuk pergi bersamanya menggunakan seragam. Karena malas berdebat aku pun menurutinya.
Setelah setengah jam kemudian kami sampai disuatu bangunan, yang dinamakan sekolah SMK Kesehatan. Aku disuruh mengikuti seleksi masuk tanpa persiapan. Dan sialnya saat pengumuman kelulusan, aku dinyatakan lulus ke SMK itu. Ibuku menang dan aku kalah.
Mimpiku seolah dikubur hidup-hidup tanpa pernah merasakn prosesnya. Semuannya seolah berhenti.
Ibu menatapku tajam, “Aku pengen berangkat tanggal 27 nanti. Titik.” Ujarku sambil menatapnya tak kalah tajam. Aku mendengar helaan nafasnya, nggak bu. Bukan aku ingin durhaka, tapi aku harus bergerak daripada keluarga ini terus kekurangan. Seenggaknya beban keluarga ini sedikit berkurang.
ns3.148.210.23da2