Kahirya membuka matanya yang terasa sangat perih saat perasaan mual sungguh menyiksanya, bahkan dia tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Dengan kasar ia menyibakkan selimutnya dan terburu-buru berjalan menuju kamar mandinya. Ia segera bersimpuh di depan kloset dan memuntahkan seluruh isi perutnya, yang sialnya hanya cairan pahit yang mampu keluar dari sana.
Air matanya mengalir saat aktivitas menguras isi cairan itu berlangsung. Bahkan kedua kakinya sampai berjengkit. Muntah seperti ini sebenarnya ini sungguh sakit sekali, dan saat suara muntahannya yang begitu panjang berakhir, Kahirya langsung terduduk dengan menyedihkan di lantai kamar mandinya.
Dadanya sesak dan tenggorokannya terasa sakit karena muntah dengan suara keras seperti itu. Ia menangis sembari tangannya menekan tombol flush di tangki klosetnya.
Kahirya bangkit setelah puas menangis dan keluar kamar mandi dengan langkah terseok. Ia sakit sekali seperti ini. Matanya yang sembab sebab sebelum tidur tadi, ia menangis hingga lelah. Lalu sekarang, ia kembali menangis hingga rasanya matanya sudah sulit untuk terus di paksa terbuka.
Kahirya merebahkan kembali tubuhnya dan menarik selimutnya. Ia melihat jam weker di nakas samping tempat tidurnya menunjukkan pukul tiga lewat lima belas pagi. Dia harus tidur kembali. Sebab hari ini adalah hari Minggu, ia akan ikut menjemput kakaknya hari ini.
***
Kahirya memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Ia tersenyum miris, entah kemana gadis periang yang biasanya akan tersenyum sembari memoles make up di cermin ini. Yang ada sekarang hanyalah seorang perempuan menyedihkan dengan wajah pucat serta mata sembab luar biasa.
Empat hari terakhir setelah mengetahui bahwa ia hamil, yang di lakukan Kahirya hanya melamun dan menangis. Ia tidak tau harus bagaimana kedepannya. Langkah apa yang harus di ambilnya, sungguh Kahirya pusing setengah mati.
Kahirya juga masih terus duduk di balkon kamarnya, menanti pemilik kamar di seberang sana, setidaknya, menyibak gorden jendelanya. Tapi hasilnya masih tetap sama, masih seperti sebulan terakhir.
Ia juga terus berusaha menghubungi Sahala, entah apa yang di harapkan nya, namun yang pasti, Kahirya hanya berharap bisa melihat Sahala lagi. Jauh di dalam hatinya, ia ingin Sahala ada bersamanya melewati semua ini. Namun, nomor ponselnya tidak pernah aktif.
Kahirya kembali memperhatikan wajahnya. Tadi pagi, dia terbangun pukul delapan pagi dengan kondisi super awut- awutan. Mata bengkak, rambut berantakan, serta tubuh luar biasa lemas. Namun, kegiatan pagi yang menyakitkan itu tidak bisa menunggu. Jadi, dengan terburu-buru nyaris berlari ke kamar mandi, ia mulai menjalankan rutinitas paginya, morning sickness.
ia juga sudah mengompres matanya dengan es di kulkas yang ada di dapur. Lalu buru- biru kabur sebelum kepergok Ibunya dalam keadaan super berantakan. Kemudian segera mandi dan bersiap-siap.
Kahirya memoles tipis wajahnya dengan cushion. Kemudian merias bagian matanya dengan permainan eyeshadow dan eyeliner, memanipulasi sembabnya yang mengerikan walau sudah di kompres es tadi.
Setelah berhasil merubah sedikit kekacauan di wajahnya, Kahirya melirik jam yang ada di nakas samping tempat tidur. Pukul sebelas siang. Dia harus bergegas. Pesawat yang di tumpangi sudah take-off pukul satu siang waktu Kuala Lumpur. Kurang lebih kakaknya akan sampai pukul dua siang nanti.
Suara ketukan di pintu serta Ibunya yang menyuruhnya segera turun membuat Kahirya menyambar tasnya dan segera menyusul Ibunya turun ke bawah.
***
Suasana bandara siang ini nampak sangat ramai. Tentu saja, tidak pernah ada tempat sunyi di Jakarta. Sembari menunggu kakaknya di pintu kedatangan, Kahirya menyibukkan dirinya dengan ponsel di tangannya. Berpura-pura tidak tau dengan tatapan sembunyi-sembunyi dari Mamanya yang tengah berbincang dengan Papanya.
Suara pekikan senang membuat Kahirya mengangkat pandangannya dan segera berdiri saat Kakak perempuannya keluar dari pintu kedatangan sembari menggenggam tangan Randi dan ada Farhan di belakang mereka yang mendorong troli koper mereka.
Kahirya berjalan mendekat dan berdiri di belakang tubuh Mama dan Papanya yang tengah bergantian memeluk Naraya dan Randi serta Farhan. Mereka memutuskan berhubungan baik dengan Farhan walau sudah tidak bersama Naraya lagi. Tidak ada alasan tidak berhubungan baik, begitulah kata Mama dan Papanya. Lagi pula, Farhan tetaplah Ayah kandung Randi.
Bisakah seperti itu?
Kahirya tersenyum tipis saat Naraya memeluk tubuhnya erat. Ia rindu pada Kakaknya dan entah kenapa di saat seperti ini, ia merasa seperti sesuatu dalam hatinya yang hilang, sekeping telah kembali. Ia tahu, saat Kakaknya ada di sampingnya, segala kemungkinan terburuk akan bisa dia lalui.
Naraya melepas pelukannya dan menatap kedalam kedua mata Kahirya yang balas menatapnya. "Mama cerita bagaimana perubahan kamu tiga bulan terakhir ini. Kamu harus mulai bercerita kenapa kamu seperti ini. Harus! Ayo, kita pulang."
Mereka semua memutuskan untuk segera pulang ke rumah, dan melepas rindu di sana.
***
Suara gelak tawa terus bersahut-sahutan di dalam rumah keluarga Mahridza. Ditambah lagi kelakuan lucu dari Randi, cucu pertama di keluarga Mahridza, menambah riuh suasana rumah yang selalu sepi itu.
Kahirya yang duduk diantara mereka hanya sesekali tersenyum simpul, sisanya dia hanya diam mendengarkan dan lebih banyak menampilkan raut murung dan melamun. Kelakuannya yang seperti itu tidak luput dari pandangan Naraya. Dia tau ada yang salah dengan Kahirya, dan entah kenapa pandangan matanya terus menerus ke arah perut adiknya.
Kahirya menyembunyikan sesuatu.
Tapi dia tidak ingin gegabah, sebab dia tidak ingin menghakimi Kahirya hanya karena apa yang dia lihat.
"Oh, iya. Kenapa rumah Om Adi sepi kali gitu, ya? Biasanya memang sepi juga, ya? Tapi, kan gak sesepi sekarang." Naraya bertanya pada Riani.
"Oh. Adi dan Milla sekarang sedang ada di Singapore. Dua Minggu ini Adi sedang di tugaskan di sana. Dua Minggu lagi juga kembali. Kalau Sahala, dia memutuskan mengambil pendidikan spesialis nya di Jepang. Sudah satu bulan lebih ini Sahala di sana."
Deg!
Rasanya, jantung Kahirya baru saja jatuh ke perutnya. Tiba-tiba semuanya mendadak kosong dan telinganya berdenging kuat. Kepalanya sungguh panas sekarang. Kenapa rasanya semakin runyam saja? Kenapa Sahala langsung pergi seperti itu? Kenapa sebelum pergi dia tidak memastikan bahwa Kahirya bisa di tinggalkan dengan baik? Kenapa rasa benci dalam dadanya seperti air bah yang tiba-tiba meluap?
Kahirya tidak bisa melakukan apa-apa lagi saat kegelapan tiba-tiba merenggut kesadarannya dan suara pekikan histeris menjadi hal terakhir yang dia dengar.
***
Suara tangisan tersedu-sedu milik Riani dan suara Naraya yang mencoba menenangkan adalah hal pertama yang Kahirya dengar saat dia mencoba membuka kelopak matanya. Kahirya tau dia masih di kamarnya, dan melihat siluet dua orang yang duduk di balkon kamarnya, Kahirya meyakini bahwa itu adalah Mama dan Kakaknya.
Dengan perlahan, Kahirya berusaha duduk bersandar di tempat tidurnya. Ia masih mencoba memahami mengapa bisa infus yang tergantung di samping ranjangnya ini tersambung padanya.
Bandara, Kakaknya pulang, berkumpul di ruang keluarga, Randi yang menggemaskan, Om Adi dan Tante Milla yang ada di Singapore dan cerita tentang Sahala yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Jepang.
Seketika rasa panik dan takut menyerang gadis itu begitu saja. Tubuh Kahirya bergetar, sesak dalam dadanya membuat matanya seketika memanas. Ia menundukkan kepalanya dan mulai menangis tertahan. Bagaimana dia harus menghadapi semuanya kalau Sahala pergi?
Suara pintu kamarnya yang di buka, membuat Kahirya mengangkat pandangannya pada Papanya yang masuk dengan wajah tegang dan tatapan tajam. Jantungnya berdetak kencang, kenapa dengan Papanya?
"Kenapa menangis?" Suara dingin Mahridza menusuk Indra pendengaran Kahirya. Entah kenapa, rasanya ini sungguh familiar. Ini adalah suara Mahridza jika Naraya atau Kahirya melakukan kesalahan.
Kahirya menghapus air matanya dengan punggung tangannya dan menatap takut pada Mahridza yang hanya berdiri di dekat pintu kamarnya, "Enggak ap-"
"Enggak apa-apa? Itu kan yang mau kamu jawab?" Tanya Mahridza sinis. Mahridza berdecak kesal sembari melipat kedua tangannya, "kamu masih tidak mau memberitahu siapa Ayah bayi dalam kandunganmu?"
Kahirya tersentak saat Papanya bertanya hal yang masih saja terus dia sembunyikan dari keluarganya, "apa yang Papa bicarakan?"
Raut wajah Mahridza semakin kelam saat Kahirya masih mencoba menutupi apa yang sudah mereka semua ketahui.
"Apa? Kamu tanya apa? Apa harus saya beritahu apa yang dikatakan dokter pada saya?"
Suara Mahridza yang meninggi membuat Riani dan Naraya buru-buru masuk kedalam untuk melihat apa yang terjadi. Mereka melihat Mahridza yang berdiri angkuh dengan tangan terlipat di dekat pintu kamar dan melihat Kahirya yang duduk ketakutan di tempat tidur.
Riani segera menghampiri Mahridza dan berbisik untuk bersabar. Sementara Naraya duduk di tempat tidur untuk memeluk Kahirya yang terlihat ketakutan setengah mati.
"Papa, bisa nanti saja bertanya pada Kahirya? Kasihan dia, Pa." Naraya mencoba bernegosiasi dengan Mahridza, namun saat Mahridza membentuk gestur diam dengan telunjuknya yang di acungkannya, Naraya hanya mampu terdiam.
"Masih tidak ingin mengatakan sesuatu, Kahirya?" Tanya Mahridza lagi, dengan suara dingin dan rendah yang mengerikan di telinga Kahirya.
"Aku hamil, Pa." Dengan suara pelan, serak dan ketakutan, Kahirya menjawab pertanyaan Mahridza.
"Lalu?"
Kahirya kembali diam dan menunduk, tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Lalu, Kahirya? Lalu apalagi? Siapa Ayahnya?" Tanya Mahridza dengan geram saat tidak ada jawaban apapun dari mulut Kahirya. Ia berjalan cepat dan menghampiri Kahirya yang semakin ketakutan. Dengan emosi yang berkobar, Mahridza menarik kerah kemeja yang dipakai Kahirya dan memaksanya berdiri.193Please respect copyright.PENANA8dSXasogk2
193Please respect copyright.PENANA8HteDR9Kzi
Naraya dan Riani terkesiap dan menjerit takut melihat interaksi keduanya.
"Bukankah saya sudah pernah bilang pada Mbakmu dan juga kamu bahwa saya akan memaafkan apapun kesalahan kalian kecuali hamil di luar nikah? Kamu sudah lupa dengan hal itu, Kahirya?"
Kahirya hanya mampu menangis terisak dengan menunduk tanpa berani melakukan apapun. Tubuhnya lemas sekali, kepala dan perutnya rasanya juga sakit. Namun, entah kenapa, melihat sorot kecewa luar biasa yang di tunjukkan Papa nya membuat hatinya mendadak kebas. Ia sudah mengecewakan Papanya yang sudah sangat percaya padanya.
"Maaf, Pa." Dengan suara pelan nyaris mencicit, Kahirya hanya mampu mengeluarkan kalimat singkat itu untuk menjawab pertanyaan Mahridza.
Mahridza melepaskan cengkramannya dengan kasar dan membuat Kahirya yang tidak memiliki tenaga, terhempas kembali ketempat tidur.
"Jika kamu masih tetap tidak ingin memberitahu siapa laki-laki yang membuatmu seperti ini, maka jangan ada dalam rumah saya lagi. Kamu bisa mengemasi barang-barangmu, dan segera pergi dari sini." Perkataan terakhir Mahridza sebelum keluar dari kamar Kahirya langsung menyentak mereka semua yang ada di kamar.
Riani menangis histeris sembari mengikuti suaminya, memohon untuk mencabut kata-katanya. Sementara Naraya, hanya mampu menangis terisak sembari menatap adiknya perih. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan untuk Kahirya?
Setelah suara kedua orang tuanya tidak terdengar lagi, Naraya kembali mendekati adiknya, memeluknya erat sembari mengelus-elus punggung adiknya. Memberinya kekuatan.
"Hirya gak mau cerita sama Mbak siapa Ayah bayinya? Biar Papa bisa cabut kata-katanya tadi, ya?" Naraya masih membujuk Kahirya yang semakin histeris di pelukannya. "Kasih tau kita, sayang. Biar kita tahu harus bagaimana selanjutnya."
Perlahan, Kahirya melepas pelukan Kakaknya dan dengan suara sesegukan, Kahirya menjawab, "Hirya gak bisa kasih tahu siapapun orangnya, Mbak. Melihat respon Papa seperti tadi, setidaknya ini yang bisa Hirya lakukan untuknya. Hirya tidak mau dia mendapat masalah."
Naraya memandang dalam pada kedua mata Kahirya. Melihat sorot serius, takut serta putus asa di sana. Dengan senyum lembutnya, Naraya menghapus air mata yang terus menerus mengalir dari pipi Kahirya dan memeluk adiknya erat.
"Jangan takut, sayang. Ada Mbak di sini. Kemasi barang-barang kamu, kita segera pergi dari sini. Mbak gak bisa maksa kamu dan membiarkan kamu kembali terluka dan tersakiti seperti ini. Mbak akan ikut denganmu. Mbak, kamu, Randi dan bayinya. Kita rawat bayinya sama-sama, ya sayang."
Suara tangis pilu dan anggukan Kahirya dipeluk Naraya akan menjadi babak baru dalam hidup mereka. Entah bagaimana nanti, yang terpenting sekarang adalah, mereka akan menjalani hidup yang baru setelah ini. Mereka berempat. Naraya, Kahirya, Randi dan Bayi kecil tak berdosa itu.193Please respect copyright.PENANAxvitMw6O7y
193Please respect copyright.PENANANJc9sCKuTm
193Please respect copyright.PENANAF7Z2MOGvkY
193Please respect copyright.PENANA4jbTCgK6YL
193Please respect copyright.PENANAcPH6p12a7e
193Please respect copyright.PENANAo3glyqfqBu
193Please respect copyright.PENANAZ7Rn7mbSB8
193Please respect copyright.PENANAQ83cK6AcE3
193Please respect copyright.PENANAUesffQhb4s
193Please respect copyright.PENANA1y7m40gddM
193Please respect copyright.PENANAN9sqile6hN
193Please respect copyright.PENANAurmJ6r9mep
193Please respect copyright.PENANABVCceLmddr
193Please respect copyright.PENANAAyvZ26XDS6
193Please respect copyright.PENANAfCXixuzDMg
193Please respect copyright.PENANABrmn79AKch
193Please respect copyright.PENANAyGLqBaWvTP
193Please respect copyright.PENANArhWLA8fY1T
193Please respect copyright.PENANAdiZ4xBh38Z
193Please respect copyright.PENANAECsAsJ6Gwd
193Please respect copyright.PENANAEV67fPfarh
193Please respect copyright.PENANA155QsR60qJ
193Please respect copyright.PENANASXLwbLaee6
193Please respect copyright.PENANAAByNNCzXPI
193Please respect copyright.PENANAavFvorsfyJ
193Please respect copyright.PENANADfq5F5yfzu
193Please respect copyright.PENANAoZStHwEs4a
193Please respect copyright.PENANAsDmP8dzDeM
193Please respect copyright.PENANAXLWgGq6hOp
193Please respect copyright.PENANAShxJxIxXEX
193Please respect copyright.PENANA9zD6AjUJRx
193Please respect copyright.PENANAtIjrlMJHhW
193Please respect copyright.PENANAVR3AiMziHb
193Please respect copyright.PENANAduxHYwgqij
193Please respect copyright.PENANAWoIwlwDHYd
193Please respect copyright.PENANAb2QFMXOjnk
193Please respect copyright.PENANAFNU9tZ9qE1
193Please respect copyright.PENANAwyjuu9p2ny
193Please respect copyright.PENANALWtLI3LZnH
193Please respect copyright.PENANArS4f7FZJcM
193Please respect copyright.PENANASL54jAW2ch
193Please respect copyright.PENANAaWIQFMuNGK
193Please respect copyright.PENANAL9i7BQaZPQ
193Please respect copyright.PENANAkIQ36GeMnt
193Please respect copyright.PENANAE4SwE1754e
193Please respect copyright.PENANAiJ10cXpF1b
193Please respect copyright.PENANAjmwhZcs8nK
193Please respect copyright.PENANAdpvBsJcs2g
193Please respect copyright.PENANAaPBdREPOgv
193Please respect copyright.PENANAI0bERd8Lwz
193Please respect copyright.PENANAdeZ8HwW98p
193Please respect copyright.PENANAEQ9VfdtmC3
193Please respect copyright.PENANAvT8A43bKUB
193Please respect copyright.PENANAMuzLw03us5
193Please respect copyright.PENANAFv8QMhLnEu
193Please respect copyright.PENANAJLP2yBwSFN
193Please respect copyright.PENANA9js89JJo7O
193Please respect copyright.PENANASSAu5Wpkgj
193Please respect copyright.PENANAjZ74uvHDYz
193Please respect copyright.PENANArE9heHHDwB
193Please respect copyright.PENANAp4bJ48r0yc
193Please respect copyright.PENANAIDPPtqGBgB
193Please respect copyright.PENANApmuUYmBJd5
193Please respect copyright.PENANAtNBKy0MYbv
193Please respect copyright.PENANA2fxD0bctgF
193Please respect copyright.PENANADTGZzhHp30
193Please respect copyright.PENANAqQK125uBC1
TBC...193Please respect copyright.PENANANjcWtA3E7I
193Please respect copyright.PENANABrqzBE6LOu
193Please respect copyright.PENANAwg2cHPNUjL
193Please respect copyright.PENANAhgHclbKsnP