Malam ini sangat menegangkan. Situasinya yang mencekam membuat tangan seorang laki-laki gemetar, hampir menjatuhkan benda panjang yang dia genggam --- sebuah pedang.
Seseorang mendekat. Langkah kaki orang itu menggema di kesunyian malam. Jubah hitam menutup seluruh tubuhnya. Wajah orang itu juga tertutup oleh bayangan dari tudung yang ia kenakan. Perawakan tubuhnya tinggi walau ramping. Langkahnya pincang, seperti orang yang mabuk.
(Tidak salah lagi. Pria ini orangnya.) gumam laki-laki yang memperhatikan orang mabuk itu.
Dia bersembunyi di salah satu gang di pinggir jalan besar. Tubuhnya tersembunyi dengan baik diantara gelapnya malam, meski di depan salah satu rumah tidak jauh dari tempatnya berdiri, tergantung sebuah lightstone --- batu yang memancarkan cahaya jingga redup, menerangi area beberapa meter di sekitarnya.
Ketika kesempatan tiba, ketika orang mabuk itu semakin mendekat, ‘dia’ keluar dari persembunyiannya. Ia menebas leher orang itu dengan sekuat tenaga
Pedang miliknya memantulkan cahaya bulan. Orang mabuk itu membuat gerakan yang tiba-tiba untuk menghindar. Gerakan lincah yang tidak mungkin dilakukan ketika sedang mabuk.
“Ah... !” laki-laki itu panik ketika sebuah tendangan mendarat di perutnya.
Ah, itu keras sekali. Untuk alasan tertentu, tiba-tiba dia merasa kalau sekujur tubuhnya kelelahan. Seperti orang yang sudah bekerja membanting tulang seharian penuh. Kakinya tidak kuat lagi, dan dia pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Hitam---- seluruh dunia berubah menghitam.
Dia sudah tahu kalau hal seperti ini sering terjadi. Dia tahu kalau tubuhnya punya suatu keanehan. Dan dia tahu, kalau penyebab dia pingsan bukanlah orang mabuk tadi, melainkan karena kelemahan tubuhnya sendiri.
Dalam mimpinya, ia mendengar suatu suara. “Nii-san1...!”
Suara yang penuh dengan rasa khawatir. Hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilnya seperti itu ---- adiknya. Adik satu-satunya. Orang yang sangat berharga baginya.
“Uh... sudah berapa lama aku tertidur...?” ‘dia’ membuka matanya.
Seorang gadis dengan wajah yang khawatir setengah mati ada di hadapannya. “Syukurlah...” mulutnya berucap.
Schyte yang gadis itu bawa menarik perhatian siapapun yang normal. Tapi, itu hanya pemandangan sehari-hari bagi laki-laki itu.
“Hey... adikku...”
“Uh?”
“Apa yang terjadi tadi?”
Meski dirinya sudah bisa menebak apa yang tadi terjadi, dia masih bertanya demi memecah keheningan malam yang menyeramkan. Sebenarnya, darah segar di schyte yang dibawa adiknya sudah cukup untuk menceritakan semuanya.
Meski masih groggy karena baru bangun tidur, laki-laki itu mampu berjalan sendiri dan melepaskan dirinya dari topahan adiknya.
{{{
Pagi hari tiba. Suara kercap-kercip burung menyambut sang mentari.
Suara yang khas bagi kota yang letaknya tidak jauh dari hutan --- sebuah desa. Rumah-rumah berjejer dengan rapi, baris dan kolom. Ada rumah yang paling mencolok diantara jajaran itu, dengan papan nama ‘Sikata’ di dekat pintunya. Dari manapun dilihat, baik itu ukurannya, tingginya, dan arsitekturnya, rumah ini digolongkan mewah. Penghuninya adalah keluarga dari kakak-adik yang semalam.
Di ruang makan sedang terjadi percakapan yang cukup serius.
“Sepertinya kau gagal lagi, Venn.” ucap seorang pria setelah meneguk teh di gelas putih.
“Yah, dan aku tahu kata ‘maaf’ tidak akan mengubah apa-apa ‘kan ayah?” balas laki-laki yang duduk di sisi lain meja makan.
“Kamu ketiduran lagi? Duh, sebaiknya kamu tidur saja sekarang. Lihat wajah mengantukmu!” ucap wanita yang duduk di samping pria yang disebut ‘ayah’.
“Sayang, aku sedang mendidik anakku disini.”
“Aku tau, tapi apa kamu yakin ucapanmu akan masuk ke dalam ingatannya?”
Seseorang berjalan menuruni tangga dengan nyaring sekali, seolah setiap langkahnya sengaja dibuat menggema. “Pagi...!” ucapnya dengan penuh semangat, kontras dengan wajah dan rambutnya yang masih kusut.
Setelah duduk di samping kakaknya, gadis itu mengisi gelas kosong dengan teh dari teko.
“Ibu, apa ayah memarahi nii-sanlagi?” gadis itu berucap --- bertanya pada sang ibu.
“Ah, soal itu, temui aku malam nanti, Venn. Dan Vel, kerja bagus.” ucap sang ayah.
“Jadi tidak ada pekerjaan malam ini?” tanya Venn.
“Tentu ada. Tapi disini, di rumah ini.”
“Apa ayah serius akan membuatku melawan Vel lagi...”
“Bukan, bukan itu sekarang. Ini soal masa depan kalian berdua.”
“Ibu, nii-san belum diberi tau?”
{{{
Venn berjalan beriringan dengan adiknya.
“Kita akan pergi meninggalkan kota ini, negeri ini.” ucap Venn memecah keheningan.
“Aku tau.” balas adiknya.
“Ini adalah hukumanku. Lalu, kenapa kamu harus ikut?”
“Memangnya tidak boleh? Ayah saja sudah mengizinkanku.”
“Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Apa alasanmu untuk ikut denganku?”
“... ini salahku” ucap Vel dengan suara yang begitu pelan.
“Apa? Aku tidak dengar.”
“Lupakan.”
Rambut Vel terurai oleh embusan angin yang beraroma seperti garam ---- Angin dari laut. Mereka naik ke kapal pesiar besar yang sangat mewah, dimana setiap penumpangnya mengenakan pakaian yang mahal.
Venn dan Vel yang hanya mengenakan pakaian mereka sehari-hari menjadi pusat perhatian orang-orang disana.
“Ini akan jadi perjalanan yang panjang.” ucap Venn sambil melihat ke arah kota kelahirannya yang semakin mengecil, meninggalkan rasa rindu yang begitu dalam di hatinya.
“Nii-san, apa kita bisa kembali?” tanya Vel yang berdiri di sebelah kakaknya sambil melihat pemandangan yang serupa.
“Kita akan kembali. Harus.”
Derai suara ombak terdengar silih berganti dengan suara embusan angin kencang. Suara yang menemani perjalanan mereka setiap pagi, siang, dan malam. Kakak-adik dari keluarga Sikata itu meninggalkan kota kelahiran mereka, menuju ke tempat yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.
(Apa yang menanti kami disana...? Aku gugup. Baik aku maupun adikku belum pernah melakukan perjalanan sejauh ini sebelumnya.)
Venn melamun sambil menatap angkasa yang penuh dengan jutaan bintang. Vel tidak punya hal lain selain mengikuti apa yang dilakukan kakaknya.
“Langitnya indah.” ucap Vel tiba-tiba.
“Setuju.” jawab Venn datar.
===========
Catatan Kaki
(Jepang)
Nii-san : Salah satu panggilan untuk kakak laki-laki
ns 172.71.254.210da2