“Sesampainya kalian disana, cari dan temuilah penyihir terkenal bernama Mishizara. Hormati orang itu, karena kalian sekarang adalah anggota keluarga Sikata.”
---adalah apa yang tertulis di secarik kertas yang kakaknya baca dengan keras.
“Sudah? Itu saja?” tanya Vel pada kakaknya.
Kakaknya mengangguk. “Jadi kamu tau siapa penyihir Mishizara ini?”
Dari pelabuhan, mereka melanjutkan perjalanan menggunakan kereta uap di jalur darat. Tiketnya yang mahal sudah ditangani oleh ayah mereka.
“Jadi Mishizara ini penyihir yang terkenal. Lalu apa hubungan ayah dengan penyihir ini?”
Kursi di kereta diset berhadap-hadapan. Venn dan Vel duduk saling berhadapan di samping jendela. Meski ada dua orang asing yang berbagi tempat duduk dengan mereka, mereka melanjutkan percakapan tanpa ragu sedikitpun ---- dan itu adalah hal yang keliru, terutama ketika membicarakan seorang penyihir.
“Oh? Kalian anak muda mengenal Mishizara?” komentar pria tua yang duduk di sebelah Venn.
“Mishizara punya reputasi sampai ke luar negeri. Aku terkesan.” ucap pria lain yang duduk di sebelah Vel. Pria ini lebih muda dari pria tua tadi.
“Anu, kenapa kalian tau kami ini dari luar negeri?” tanya Venn pada kedua pria itu.
“Mudah saja nak.” pria yang lebih tua itu menunjuk ke kepala Venn.
Venn memperhatikan dirinya sendiri dengan kebingungan.
“Warna rambut kalian.” pria yang lebih muda menjelaskan.
Venn memberi ekspresi ‘Ah!’, sementara adiknya tiba-tiba masuk ke percakapan.
“Paman, bisa ceritakan pada kami kisah Mishizara?” tanya Vel dengan antusias.
“Boleh saja, nona muda. Tapi biar kuperingatkan, ini bukanlah kisah yang menyenangkan.” balas pria yang lebih tua.
Dengan anggukan Vel, cerita Mishizara pun dimulai.
{{{
Venn tertidur setelah setengah jalan mendengarkan cerita rakyat penyihir yang misterius itu. Ketika ia bangun, kereta sudah hampir tiba di tujuan, dan cerita itu sudah selesai sedari tadi ia tidur.
“Vel, dimana kita?”
“Beberapa menit lagi hingga tiba di stasiun.” jawab Vel sambil menatap kota diluar jendela kereta.
Dua pria teman perjalanan mereka bangkit dari tempat duduknya dan mulai bersiap dengan barang mereka.
“Terima kasih pada kalian, perjalanan ini jadi lebih menyenangkan.” ucap pria yang lebih tua.
“Itu benar. Selamat datang di negeri Velum, kalian berdua.” sambung pria yang lebih muda.
“Hah? Aku kan cuma tidur...”
“Sampai jumpa. Jika takdir mengizinkan, kita mungkin akan bertemu lagi.” Vel memberi senyuman.
Kereta berhenti di stasiun dekat pusat kota. Membawa koper masing-masing, Venn dibuntuti adiknya berjalan keluar dari keramaian stasiun menuju ke kota.
Impresi pertama mereka terhadap kota ini adalah keramaian. Kesibukan yang tidak bisa ditemukan di desa asal mereka. Semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing: berdagang dan berjalan teruburu-buru. Tempat ini seperti pusat perbelanjaan, jalanannya besar sekali dan di pinggir banyak pedagang yang menjajakan berbagai jenis barang. Sesekali kereta yang ditarik kuda melintas, dan orang-orang harus menepi untuk memberi jalan.
Langit berwarna jingga. Matahari bisa terbenam kapan saja, karena saat ini terhalang oleh bangunan-bangunan tinggi. Arsitekturnya sangat berbeda dari tempat asal kakak-adik itu.
“Hebat...!” mata Vel berbinar-binar.
“Hei Vel, ayo kita cari makan. Kondisi keuangan kita sedang gawat, jadi... kamu mengerti ‘kan?”
Ayah mereka hanya memberikan tiket transportasi. Sisanya, hal seperti akomodasi dan konsumsi, itu harus ditangani sendiri. Tentu saja dia tau kalau mereka bisa mendapatkan uang dengan cara tertentu.
“Nii-san! Aku mau itu!”
Vel menunjuk ke salah satu pedagang di pinggir jalan. Makanan apa itu yang dijual? Venn tidak bisa menebaknya.
“Wah...!” Vel terus melihat pedagang itu dengan mata yang berbinar-binar. Makanan yang disiapkan benar-benar asing, tapi dari aroma yang tercium, kelezatannya tidak perlu diragukan.
“Anu... tuan... Maaf, tapi apa nama makanan ini?” tanya Venn penasaran.
“Ini kebab. Nah, silakan.”
Setelah itu, mereka mencari tempat duduk untuk menyantap kebab itu. Di sudut lain jalanan ada banyak bangku panjang berjejer, dan banyak orang yang duduk disitu juga. Venn dan Vel menikmati makanan mereka sambil memperhatikan orang yang lalu-lalang.
“Enak...!” Vel baru mencicipinya.
“Coba Vel, bisa kamu masak yang seperti ini?” Venn bertanya tanpa ada angin.
“Mudah kok. Ini cuma kulit tepung diisi daging dan sayur-sayuran. Tapi entah kenapa rasanya enak sekali!”
“Itu karena kamu lapar, Vel.”
Setelah mendengar itu, senyuman di wajah Vel lenyap. Dengan wajah sedihnya, ia berucap, “Nii-san, maaf.”
“Ini bukan salahmu. Lagipula, aku setuju kalau ini enak.” balas Venn sambil mengunyah kebab miliknya.
“...” Vel masih membisu.
Keheningan menghampiri mereka seiring orang yang lalu-lalang berkurang.
{{{
Pada akhirnya, penyihir Mishizara itu tidak bisa mereka temukan. Hari sudah mulai larut, dan mereka kehabisan waktu untuk membuat pilihan selanjutnya. Venn melihat adiknya sedang fokus membaca sebuah brosur, secarik kertas dengan tulisan hitam yang mencolok, ‘Perguruan Tinggi Ferven.’
“Ferven? Bagus kamu menemukannya. Tapi itu untuk besok, dan sekarang, maksudku malam ini, bagaimana?” Venn bertanya pada adiknya.
“Murdista Gildo...” ucap Vel sambil menunjuk bangunan di belakang kakaknya.
“Eh? Jadi sejak tadi kita tidak tersesat?”
Tersenyum, Vel menjawab “Tentu tidak!”
‘Murdista Gildo’ terpampang di atas pintu. Bangunan ini benar-benar memiliki aura misterius dan sedikit menyeramkan. Apalagi di malam hari seperti sekarang ini. Tapi meski begitu, kakak-adik itu masuk ke dalam tanpa rasa takut sedikitpun.
“Permisi...!” teriakkan Venn menggema di ruangan yang besar dibalik pintu.
Sepertinya tidak ada siapapun disini. Tapi barang-barang dekorasi yang menghiasi ‘aula’ ini tidak memiliki terlalu banyak debu. Tanda kalau seseorang pasti membersihkannya secara berkala.
“Sebelah sini.” balas sebuah suara dari arah yang tidak diduga-duga.
Ada semacam meja resepsionis di ujung ruangan, dan resepsionisnya yang berjaga baru menunjukkan dirinya. Mungkin tadi tidak terlihat karena ia tidak berdiri.
“Ah! Kalian pasti anak-anak dari tuan Sikata. Saya sudah mendapat kabarnya, jadi, mohon kerjasamanya!” seru resepsionis itu.
“Terima kasih. Lalu, apa ada pekerjaan yang bisa kami lakukan sekarang?” tanya Vel dengan senyuman di wajahnya.
“Kalian bersemangat sekali ya. Silakan dibaca buku besar ini.” resepsionis itu mengeluarkan buku besar dari balik meja.
Vel membiarkan kakaknya yang melihat buku tebal itu, dan dirinya melanjutkan oborolannya dengan si resepsionis.
“Ngomong-ngomong, Nona, apa kiriman senjata kami sudah tiba?”
Setelah pertanyaan dari adiknya, Venn yang sibuk membaca buku besar itu tiba-tiba menoleh ke adiknya. Sementara, resepsionis itu membunyikan lonceng sebanyak lima kali.
“Hei Vel, kalau kita mengambilnya sekarang, dimana kita akan menyembunyikannya nanti?” tanya Venn panik.
“Nii-san tenang saja. Tempat ini juga menyediakan jasa penitipan senjata.” jawab adiknya.
“Itu benar.” resepsionis itu menambahkan.
Lalu, dua orang menuruni tangga sambil membawa kotak kayu raksasa. Tingginya hampir lima meter, dan lebarnya kira-kira tiga meter. Meski tidak terlalu tebal, kotak itu terlihat sangat berat, sampai-sampai harus digotong oleh dua orang.
“Mungkinkah itu...?” ucap Venn sambil terus menunggu kedua orang tadi menurunkan kotak raksasa itu.
“Fiuuh. Ini ringan, hanya saja bentuknya yang besar memang merepotkan.” ucap salah satu pria yang menggotong kotak itu.
Vel meminta mereka untuk membukanya. Dan benar saja, isinya sesuai perkiraan Venn.
{{{
Dinginnya angin malam membuat tubuh Venn sedikit menggigil. Dia menengok ke adiknya yang sama menggigilnya dengan dirinya.
“Aku tidak tau musim semi disini sedingin ini.” Venn berkomentar memecah keheningan.
“Ssst. Dia datang.” Vel menyela dengan serius.
Mereka sedang bersembunyi di sebuah jalanan kecil yang mirip seperti gang. Lalu, ketika ‘target’ melintas, Vel menyerangnya dengan schyte yang ia bawa.
Pegangan schyte itu berwarna hitam, dan tingginya bahkan melebihi tinggi badan Vel. Bagian melengkung dari schyte itu berwarna perak, memantulkan cahaya bulan. Dengan ayunan yang elegan, Vel membuat kepala ‘target’ lepas dari badannya, membunuhnya dengan sekejap mata.
Darah segar menodai keindahan schyte miliknya. Vel melakukan sesuatu pada jasad pria yang baru ia bunuh selagi mulutnya berucap, “Neniu morto sen pago.”
Venn menepuk pundak adiknya, membuat adiknya terkejut.
“Eh...!?”
Venn memberi senyuman yang sedikit menyedihkan. “Sudah kubilang kan, pekerjaan seperti ini tidak cocok untukmu.” mulutnya berucap.
“Tetap saja... aku...” Vel mengucapkan sesuatu dengan sangat pelan.
“Ayo pulang. Atau, kita cari tempat untuk pulang.” ajak Venn mencoba menyemangati adiknya.
“Nii-san... maaf...”
Berlawanan dengan ucapannya, Vel menerima saran kakaknya. Atau mungkin, ia meminta maaf karena hal lain.
==========
Catatan Kaki
(Esperanto)
Murdista Gildo : Perserikatan Pembunuh
Neniu morto sen pago : “Tidak ada kematian tanpa bayaran”
ns 172.69.59.184da2