
Sarah duduk di tepi jendela dalam, memandangi gemerlap lampu kota yang bersinar di malam itu. Suara gemuruh kendaraan yang melintas di bawahnya terdengar samar-samar di pendengaran. Dia merasakan hembusan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, mengingatkannya akan kesendirian yang ia rasakan.
Mata Sarah melirik ponselnya yang terletak di atas meja, menampilkan gambar Adam, sahabatnya sejak masa sekolah. Dia tersenyum tipis, tapi di balik senyumnya yang cerah, ada rasa sakit yang mengganjal di hatinya.
Adam, sahabatnya, tidak pernah menyadari perasaan Sarah. Baginya, Sarah adalah teman terbaik yang selalu ada di sekitarnya. Mereka telah melewati begitu banyak hal bersama: dari cerita lucu di kelas sampai kekecewaan dalam hubungan percintaan masing-masing. Namun, bagi Sarah, Adam adalah segalanya. Dia tak pernah bisa melupakan detik-detik mereka bersama, ketika Adam tertawa dengan riangnya atau ketika dia melihatnya dengan penuh perhatian.
Namun, setiap kali dia ingin mengungkapkan perasaannya, dia selalu terhenti oleh ketakutan akan kehilangan persahabatan mereka. Dia takut bahwa jika Adam mengetahui perasaannya, semuanya akan berubah. Mungkin Adam akan merasa tidak nyaman berada di dekatnya, atau bahkan menghindarinya sama sekali. Sarah tidak mau kehilangan satu-satunya orang yang begitu penting baginya.
Dalam kegelapan malam yang sunyi, Sarah merenung tentang cinta yang terlarang ini. Hatinya terasa berat, dipenuhi dengan kegelisahan dan ketakutan. Dia tahu dia harus memilih antara menyimpan perasaannya sendiri atau mengambil risiko kehilangan sahabatnya. Namun, apakah dia sanggup menanggung konsekuensi dari keputusan yang akan dia ambil?
Melalui jendela didalamnya, Sarah melihat bintang-bintang berkelap-kelip di langit. Mereka tampak begitu indah, tapi juga begitu jauh dan tidak terjangkau. Dia merasa seperti bintang-bintang itu, terpisah dari dunia Adam oleh jarak yang tak tergapai.
Sarah bangkit dari kursinya dan berjalan menuju meja kecil di pojok ruangan. Dia mengambil selembar kertas dan pensil, kemudian mulai menuliskan pikirannya yang tak tersimpan. Tulisan-tulisannya mengalir tanpa henti, mencerminkan pergulatan batin yang sedang dia alami.
Setelah beberapa saat, Sarah menutup buku harian kecilnya dengan perasaan lega. Dia merasa seperti telah melepaskan beban yang selama ini menghimpitnya. Namun, ketika dia melihat foto Adam lagi, dia merasa sesak di dada. Apakah dia benar-benar sanggup menyembunyikan perasaannya untuk selamanya?
Sampai saat ini, Sarah belum menemukan jawaban yang memuaskan. Dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, segalanya akan menjadi lebih jelas baginya. Namun, untuk saat ini, dia harus terus menyimpan rahasia yang begitu besar di dalam hatinya.
Sarah terduduk di depan meja kecil di kamarnya, menggigit bibirnya dengan cemas. Dia menatap layar ponselnya yang terang benderang di tengah malam. Pesan singkat dari Adam membuat jantung berdegup lebih kencang, tetapi juga memperkuat rasa takutnya.
"Hei, Sarah! Besok kita pergi ke taman kota ya? Aku sudah lama tidak menghabiskan waktu bersamamu."
Sarah menahan napas, membiarkan kata-kata Adam meresap ke dalam hatinya. Dia ingin menolaknya, ingin menghindari pertemuan itu agar tidak semakin terjebak dalam perasaannya. Namun, dia tidak bisa menolak ajakan dari sahabatnya sendiri.
Dengan gemetar, Sarah mengetik balasan singkat, mencoba kegelisahannya di balik kata-kata yang santai. "Tentu, Adam. Aku akan senang sekali pergi ke taman bersamamu."
Setelah mengirim pesan itu, Sarah meletakkan ponselnya dengan lemas di atas meja. Dia merasa seperti ada beban besar yang terangkat dari pundaknya, tetapi juga merasa seperti telah menjatuhkan dirinya ke dalam jurang yang lebih dalam.
Dia melihat foto mereka berdua yang tersimpan di galeri ponselnya. Mereka terlihat begitu bahagia, begitu dekat satu sama lain. Tetapi di balik senyuman mereka, Sarah tahu ada jarak yang tidak bisa dia seberangi.
Saat fajar mulai menyinari langit, Sarah menyadari bahwa dia tidak akan bisa melarikan diri dari perasaannya selamanya. Dia harus menghadapinya, meskipun itu berarti harus mengambil risiko kehilangan sahabatnya.
Dengan hati yang berat, Sarah berbaring di tempat tidurnya, membiarkan rasa lelah menghampirinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tetapi dia harus siap menghadapinya, siap menghadapi konsekuensi dari keputusannya.
Malam itu, dalam keheningan yang sunyi, Sarah menutup mata dan membiarkan dirinya tenggelam dalam mimpi. Tetapi bahkan di dalam mimpinya, dia tidak bisa melupakan perasaan yang terus mengganggunya, perasaan yang terus menghantuinya di setiap langkahnya.
Hari berikutnya, matahari terbit dengan sinarnya yang hangat menyinari kota. Sarah bangun dengan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Dia merasa tegang dan cemas menghadapi pertemuan dengan Adam di taman.
Setelah mandi dan bersiap-siap, Sarah memutuskan untuk pergi ke taman lebih awal. Dia ingin memiliki sedikit waktu untuk merapikan pikirannya sebelum bertemu dengan Adam. Dalam perjalanan menuju taman, langkahnya terasa berat dan ragu.
Ketika dia tiba di taman, dia melihat Adam sudah menunggu di bangku favorit mereka. Senyum lebar menghiasi wajah Adam saat dia melihat Sarah mendekat. "Hai, Sarah! Bagaimana kabarmu?" tanyanya dengan penuh semangat.
Sarah mencoba tersenyum semanis mungkin, meskipun jantungnya berdebar kencang di dada. "Hai, Adam. Aku baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?"
Mereka berdua duduk di bangku itu, tetapi suasana terasa tegang di antara mereka. Sarah mencoba mencari topik pembicaraan untuk mengalihkan perhatian dari perasaannya yang kacau.
Mereka berbicara tentang hal-hal sepele, seperti cuaca dan berita terbaru di kota. Tetapi setiap kali Adam tersenyum padanya, hati Sarah berdebar lebih kencang lagi.
Saat mereka berjalan-jalan di taman, Sarah mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia memberanikan diri untuk bertanya tentang Nadia, wanita yang telah mengisi pikiran Adam akhir-akhir ini.
“Adam, bagaimana hubunganmu dengan Nadia?” tanyanya pelan, jantungnya berdegup kencang menunggu jawaban Adam.
Adam tersenyum, matanya berbinar ceria. "Kami sudah mulai dekat bagian belakang ini. Dia sangat menyenangkan dan cerdas. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersamanya."
Meskipun hatinya hancur mendengar jawaban itu, Sarah mencoba tersenyum dengan tulus. Dia tidak ingin Adam merasakan bahwa ada yang salah, bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Mereka melanjutkan perjalanan di taman, tetapi suasana tetap tegang di antara mereka. Sarah merasa seperti ada tembok tak terlihat yang terus memisahkan mereka, sebuah tembok yang sulit dia pecahkan.
Saat matahari mulai terbenam di ufuk barat, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk pulang. Adam mengucapkan terima kasih pada Sarah atas waktu yang menyenangkan, sementara Sarah mencoba tersenyum sebaik mungkin meskipun hatinya hancur.
Ketika mereka berpisah di persimpangan jalan, Sarah berdiri di tempatnya dengan hati yang berat. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi kenyataan bahwa Adam tidak akan pernah melihatnya lebih dari sekadar seorang sahabat.
Dengan langkah yang berat, Sarah pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Dia merencanakan pertemuan mereka tadi di taman, memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya.
ns18.191.136.109da2