Jam digital menunjukkan 07.30…
Sehari setelah bertugas sampai pagi…
Sehari setelah hari kemerdakaan Glimmerport…
.
Di dalam ruangan kecil, persegi yang umum layaknya rental kamar ekonomis. Tembok putih, baling – baling kipas di langit – langit dan satu jendela tanpa tirai.
Lampu tidur di atas drawer kayu, tempat tidur, dan lemari yang hanya mengisi kamar itu bahkan sudah terlihat nyaris tidak muat.
Daripada berbaring di atas bantal, Cron lebih suka menyandarkan bahunya di dipan tempat tidur. Ia mematikan alarm jam yang menggunakan melodi piano.
“Ya ampun… *Hoams*” masih dengan mata sayu – sayu, ia meraih pintu kayu coklat tua.
#Ckrak, Ngeekk~
Cron disapa oleh dua kamar lain di seberang dan kamar Cron terletak di paling ujung. Kamar – kamar itu punya angka dan punya nama.
Meski tinggal kurang lebih 3 tahun, Cron masih berpikir bahwa kamar dengan nomor dan angka itu terlihat absurd.
“Paman Cron!!!”
Dari koridor melewati empat kamar, seorang gadis kecil berkulit biru muda pucat menghampirinya dengan riang.
“Folen! Jangan lari – lari!” seorang wanita menggunakan celemek berjalan membawa panci melewati ruang makan. Wanita itu mempunyai warna kulit yang sama dengan gadis yang menghampiri Cron.
Meski arah pandangnya tidak simetris, Cron membungkuk dan meraih Folen.
“BzzBzzzBzz! Lady Folen, kapal cosmic Lc-225 telah mencapai seratus persen bahan bakar dan siap diluncurkan!” kata Cron seolah menirukan suara instruksi kapal terbang, sambil menggendong Folen yang diposisikan berbaring dengan kedua tangannya telentang.
“Luncurkan!!”
Cron berkeliling dan berputar – putar di koridor depan empat kamar, menggendong Folen seolah bermain kapal terbang.
Kemudian Cron berjalan lurus melewati koridor empat kamar dan menurunkan bocah itu di tempat duduk ruang makan. Harapannya ia bisa melakukan sesuatu yang ia lupakan setelah bangun tidur.
“Lagi! Lagi!” Folen, gadis imut berambut kuncir kuda ungu gelap sekitar 8 tahun mengulurkan kedua tangannya.
Cron menggaruk kepala keberatan. Setidaknya ia harus mengcek tutorial di MoTube, cara menolak gadis cilik nan imut.
“Folen! Kamu tahu Paman Cron masih capek pulang pagi kemarin!?” Wanita memakai celemek itu memarahi Folen. Rambutnya hitam legam dengan kelipan putih seperti bintang di langit, panjang lurus dengan poni membelah dahinya.
“Cih, Solana nggak asik!” kata Folen lirih dengan bibir mencucu. “Karena itulah kamu nggak punya pacar, kan?”
#Klangtang!
Suara sendok jatuh membuat Cron memutar bola matanya.
Solana lekas berbalik arah ke belakang. Langkah kakinya menginjakkan lantai sekuatnya hingga terdengar sedikit bergetar. Rambut hitamnya bergerak – gerak seperti tentakel, sambil membawa sendok sayur dengan muka geram yang cukup membuat Cron menyingkir sejenak dari Folen.
“Folen…~ bisa kamu ulangi tadi?”
Jelas sekali wajah Solana tersenyum, namun aura yang dipancarkan sangat menakutkan.
“E-Ehh!?” Folen ketakutan dan memasang kuda – kuda menyamping. “A-a-aku harus ke toilet-“ Folen hendak kabur, namun Solana lebih cekatan.
“Inikah mulut yang nggak sopan itu, huh!?”
Dengan gemas dan sebal, Solana melebar – lebarkan pipi Folen hingga cukup merah.
“A-ampuunnn!? Le-lepaskan aku!” Folen memekik kesakitan.
***
Dalam beberapa menit, tiga orang itu duduk diam menikmati sarapan. Folen mengelus pipinya yang merah sambil merenungi perbuatannya, sedangkan Solana hanya makan dengan tenang dan puas. Puas ini dalam artian membalas perbuatan Folen.
“Solana, kemarin aku melihat selebaran promosi… anu, ada universitas dengan… jurusan yang kamu inginkan. Mau coba?”
“Bisnis dan pengembangan?”
“Nah, itu,”
Solana menyeruput kuah sayur.
“Lalu bagaimana dengan toko di bawah?”
Folen mengangkat tangannya dengan cepat dan semangat yang kuat, sekuat senyuman di wajahnya.
Solana menepuk jidatnya sendiri, “Menyerahkan toko pada anak SD yang nggak bisa matematika?”
“Hey, itu nggak benar!” Folen menggebrak meja ringan.
“Oke kalau begitu, berapa 10 + 10?” Solana mengangkat alis kirinya.
“1010?”
“Lihat?” Solana berpaling pada Cron. “Tidak mungkin, ‘kan?”
“Tenang! B-biasanya otakku butuh pemanasan!” Kedua jari tangan Folen mengetuk ringan meja . Folen tidak bisa terima dan mencari pembenaran lain. “Coba kasih aku pertanyaan, paman Cron? Yang lebih sulit!”
Cron menaruh cukup banyak harapan.
“O-oke… hm…” tambah Cron. “Oke, oke. 120 + 71?”
Alih -alih menjawab langsung, kali ini Folen tampak berpikir. Folen bahkan rela menaruh garpu yang telah tertancap daging sapi terbang panggang.
Cron melihat gadis imut itu menggerakkan tangannya, menuai ketertarikan. Sedangkan Solana malah memutar balik matanya. Ia tetap berpikir adiknya perlu setidaknya les privat berhitung.
“ROTI!?” Folen memberikan jawaban terbaiknya.
“Keputusan yang tepat, Solana,” sahut Cron dengan yakin.
“PAMANNN!!?” Folen merengek.
“Nah, bagaimana kalau mencari guru les privat untuknya?”
“SOLANAAA!!?” Folen merengek lagi.
“Terdengar seperti sebuah rencana,”
Setelah itu Cron tidak mau mendengarkan alasan Folen. Kini ia sepakat bahwa saudara kecil Solana, Folen, perlu mendapat pengarahan yang tepat.
Setelah sarapan, Solana memandikan Folen dan mengantarnya ke tempat sekolah. Lokasinya tidak jauh, sekitar 800 meter dan terpaut 2 gang dari tempat tinggal
Kini Folen telah siap dengan seragam sekolahnya, dan Solana tampak anggun dengan baju dan celana jeans hitam mengenakan jaket jeans krem.
Mereka telah berada di depan pintu kaca toko
“Oke, Paman Cron, tokonya akan kubuka nanti setelah aku kembali. Sementara itu, bisakah aku titip ini?” Solana memberikan selembar catatan kecil.
“Mau ngestok?” Cron membaca isi catatan itul
“Ya, beberapa barang mau habis,”
Lalu Cron menyadari tulisan ‘CrescentMart’ yang memberatkan niatnya.
(Swealayan milik Moonshed, huh? Ya ampun…. Benar – benar keberuntungan yang buruk!)
“A-anu… kenapa tidak di toko lain… ehm… misalnya milik Protea?”
“Aku suka tempat mereka tapi… tidak dengan… harga yang ditawarkan. Paman tahu kalau aku hanya ke tempat itu untuk mencari barang yang nggak ada di toko reguler?”
“Aha! Bagaimana kalau metroport?”
“Mereka nggak ada promo, lagipula tempatnya jauh…”
Cron masih gigih dengan idenya yang lain.
“Kalau begitu Wraith Sanctum kedengarannya cocok?”
#Hah… (Sighed)
Solana mengeluh ringan. “Mereka bahkan belum buka satu toko. Serius, ada apa sih!?”
“Ng-nggak ada kok! Ehehehe!”
Solana menatap curiga.
“Ba-ik…. Kalau begitu seperti biasa,”
“Dadah, Paman Cron!”
Mereka pun pergi, meninggalkan beban berat Cron yang tidak mereka ketahui, meski Solana sedikit curiga. Cron menghela nafas, ia lemas dan tak bersemangat melakukan tugas itu.
(Ya ampun… kena marah lagi nih….)
Ia segera kembali ke lantai atas untuk melaksanakan tanggung jawab kebersihan peralatan memasak dan makanan. Setelah mandi, memilih pakaian berkerah yang santai dan sopan, mengunci rumah toko, ia bergegas pergi. Ia bahkan tidak lupa memundak pedangnya.
Cron mendongak pada nama toko “Regys’s Mart” yang tampak berdebu.
(Hm… nama itu tampak usang, kawan….)
207Please respect copyright.PENANAzFTelQF9vT
(Toko untuk semua kebutuhan, khususnya para Void! Nah… nostalgia sekali….) Cron membaca tulisan tepat dibawah nama toko dalam benaknya.
Then…
Cron berjalan keluar berbelok dari distrik kios kecil menuju gang kecil yang amat lurus, membimbingnya menuju jalan raya.
Lampu merah pada persimpangan.
Cron yang hendak menyebrangi zebracross, tiba – tiba satu mobil sedan hitam di dekatnya menurunkan kaca mobil.
“Hm?”
Pria berkulit coklat dengan kaca mata hitam menyapanya. Rambutnya emas berkilauan panjang diikat, tangannya menyibakkan poni yang menutupi mata kirinya.
Cron menoleh nyaris tepat pada pria itu.
“Nggak kaget kalau orang – orang mengucilkanmu, Cron? Kamu selalu main – main saat bertatapan,” pria itu menyindir Cron karena kurang simetris menatapnya.
“Seperti biasa, mulutmu itu perlu disekolahkan…”
“Helix!”
ns18.117.166.111da2