‘Kucing dengan sembilan nyawa’, yang pada mulanya itu seperti mitos, kemudian menjadi lelucon buruk, kini menjadi perumpamaan terhadap teori yang membuat alisku naik sebelah mengheran.
“Teori itu ditujukan untuk gangguan mental spesifik dan cukup langka namun berpotensi menjangkit di seluruh dunia pada kwartal berikutnya. Mirip demensia, namun agak manipulatif. Keadaan seseorang akan menjadi kontradiksi.”
“Kontradiksi?”
Aku berganti posisi dari menyandar lalu duduk, kini Nona Chernyy berada pada pangkuanku.
“Mind Jumping atau pikiran melompat – lompat. Potensi polanya tidak terbatas. Mereka akan merasa seperti pernah melakukan sesuatu meski tidak pernah, atau sebaliknya, tidak pernah melakukan sesuatu ppadahal pernah. Bisa juga seakan ingin melakukan sesuatu padahal sudah dilakukan, atau seakan telah melakukan sesuatu padahal belum. Terus apapun polanya, mereka tanpo batas.”
“Eh? Mengerikan juga ya?” tanya Timothy ketakutan.
“Saya kira tidak ada yang lebih buruk dari senewen. Tapi apakah ada titik fatalnya?” balas Cron serius meski penonton lumayan tertawa.
“Mind Shifting atau pengalihan pikiran. Mereka jauh lebih buruk dari alzheimer. Mereka bisa menimbulkan dua respon, pikiran kosong atau penerimaan paksa. Respon penerimaan paksa adalah saat seseorang berada pada stres yang melebihi titik tenangnya, alhasil mereka akan menerima kondisi apapun. Suka ataupun duka adalah sama, bahkan mereka seperti kosong. Sedangkan saat respon kosong, mereka rentan dimanipulasi dengan teknik hipnosis. Misalnya saat mereka dihipnosis menjadi kepompong, pikiran mereka sejak lahir merespon pesan palsu, bahwa dirinya adalah kepompong. ”
Mata Timothy tajam melirik ke arah Cron, “Jika aku bisa mengplikasikannya?”
Sontak meledak tawa penonton.
“Tidak perlu, karena aku bisa melakukannya sendiri.” Lelucon Cron seakan terciptanya keadaan serius dihiasi keramaian tawa yang lugas. “Silahkan, Tn. Downey.”
“Percobaan itu melibatkan dua tikus yang sama – sama telah terisolasi dan punya empat skenario. Skenario pertama, dua tikus, hitam dan putih yang telah dipisahkan selama setahun. Tikus hitam dipakaikan kain putih, sementara tikus putih dipakaikan kain hitam, lalu mereka ditaruh pada wadah kaca yang sama dalam satu tahun. Setelah itu, mereka dipisahkan dan kain yang mereka pakai dilepas. Lalu kami taruh itu di masing – masing kandang secara terbalik, kain putih untuk tikus putih dan kain hitam untuk tikus hitam. Yang terjadi adalah mereka saling mengendus dan sama – sama mencuit namun agak jarang.”
Lebih lanjut, Orang yang bernama Fred Downey bilang kedua tikus itu ditempatkan dalam satu kandang lagi, dengan posisi kain yang dipakaikan semula, kali ini hanya enam bulan. Mereka disuntikkan hormon oxytocin kadar sedang, dipisahkan lagi selama enam bulan dengan ditukar kainnya. Kedua tikus itu mencuit lebih sering namun tidak menunjukkan gerakan signifkan.
Lebih lanjut, pada Skenario ketiga, kata Fred Downey, tikus itu dilakukan hal yang sama lagi, bedanya lama mereka bersama lalu dipisahkan lagi hanya tiga bulan dan disuntikkan hormon oxytocin dosis kuat. Saat hendak dipisahkan, salah satu dari mereka menjerit, dan yang lainnya mengigit objek yang membuat mereka terpisah, dalam hal ini tangan. Kemudian setelah terpisah, mereka menjerit. Terjadi perubahan ritme nafas dan nafsu makan agak menurun. Sekali lagi mereka tak ada gerakan signifikan lagi.
Fred Downey melanjutkan, skenario ke empat, sedikit perubahan terbukti. Saat hendak disatukan kembali, mereka saling menjerit satu sama lain. Kemudian mereka saling mengendus ketika sudah berada di kandang yang sama.
“Skenario terakhir, perbedaannya semakin sedikit dan sempit. Mengingat umur mereka sudah pendek, rencananya dipisahkan maksimal seminggu. Masih dengan oxytocin yang sama, namun kali ini wadah mereka agak lebar sehingga mudah disekat. Seminggu dikembalikan, mereka dipisahkan dengan sekat kaca. Suara jeritan dan gerak – gerik panik saling memanjat kaca tersebut. Lalu tepat di depan tikus hitam, kami mengeksekusi yang putih dengan air panas. Bisa anda bayangkan? Tikus hitam itu mondar – mandir menabrakan diri pada sekat kaca itu, betapa paniknya dan kencangnya suara jeritan tikus. Kami diamkan selama dua jam. Anda tahu apa yang terjadi?”
Mendengar itu aku sangat penasaran. Bahkan ekor Nona Chernyy berkibas terlalu sering.
“Tikus hitam itu mematung, memelototi bangkai temannya, tikus putih. Interval dua jam berikutnya, ada kesempatan ia menjerit atau mencuit tidak karuan sambil berputar – putar. Dengan kondisinya, sama sekali makanan tidak disentuh…”
“Kemudian besoknya dia mati?” tanya Timothy resah yang membawa suasana yang sama pada para penonton.
“Kaku berdiri, di posisi yang sama saat memelototi si putih,”
Suara penonton sontak mengatakan “Ooooohhhhh!”
“Apa? Apa yang terjadi pada tikus hitam, bisa anda jelakan Tn. Downey?” tanya Cron mengalihkan suasana.
“Penyakit mental spesifik yang menimbulkan tiga fase, yaitu fase Delirium, Time Lost, dan Zero atau DeTimeZero. Skenario satu tikus menghadapi fase normal, dimana mereka hanya saling merindukan satu sama lain. Skenaro dua juga sama, hanya saja rasa rindu itu semakin kuat dengan adanya hormon cinta, Oxytocin. Kemudian Oxytocin itu diperkuat dosisnya, masuklah pada skenario ketiga. Tikus mengalami frustasi dan tanda agresif, kini mereka terkena gangguan mental biasa.”
Fred Downey masih melanjutkan, “Well, saat si putih dieksekusi di depannya, si hitam lebih memberontak daripada sebelumnya. Namun saat berselang dua jam, ia diam mematung, diikuti dua jam interval setelahnya baru memberontak lagi, pola yang sama terjadi, kini fase itu masuk ke dalam Delirium. Itu jelas dibuktikan bahwa dia dalam keadaan bingung tanpa jalan keluar, agresif, yang menciderai kesadarannya sendiri Ia berhalusinasi.”
“Kasihan juga ya, Tim?”
“Begitulah, Cron. Lalu apa itu fase Time lost dan Zero?”
“Saat delirium yang telah berulang kali terjadi, otomatis masuk ke fase Time Lost, dimana porsi halusinasi mengambil alih setengahnya. Halusinasi itu terus berakumulasi menjadi sebuah mimpi yang sangat kuat, hingga kesadarannya menipis. Pada akhirnya mimpi itu mematikan semua syaraf perasa, dan tikus hitam seperti kembali di titik nol, atau Zero. Dari sini, kami hanya bisa berspekulasi, antara ia sudah tenang, atau pikirannya melompat ke alam bawah sadar tak terbatas. Sehingga…”
Kupencet tombol merah pada remot.
“Teori tetaplah teori. Kalau saja dihubungkan dengan dunia nyata, masih abu – abu. Lalu sihir Lady Honesty? Entahlah aku nggak tahu apa itu berhubungan. Bagaimana menurutmu, Nona Chernyy?” tanyaku sambil mengangkatnya. “Oh ya, kamu belum pernah lihat sihir Lady Honesty, kan?”
“Purrr… Meeooww!” Gigitannya pada tanganku tidak terlalu sakit. Ia tampaknya terganggu karena pertama kalinya kumatikan acara itu sebelum selesai.
“Miaw…” Melompat segera dari pangkuanku, Nona Chernyy berjalan menuju tempat tidurnya. Bantalan lingkaran empuk dekat kolong rak TV. Mulutnya menguap tiga kali sebelum punggungnya ditekuk mirip donat.
“Kamu sudah ngantuk? Well, ini lebih cepat dari biasanya,” ucapku sedikit kecewa.
Melihat Nona Chernyy menguap, tidak diduga rasa kantuknya menulariku. Segera aku menyiapkan pertahanan diri, obat penenang yang lama, sisa tiga pil, segera mendarat di kerongkongan. Hari ini menindih sofa. Lampu ruangan kubuat agak redup, aku duduk bersandar sambil memperhatikannya tidur.
Rasanya tenang sekali, ia seperti bayi kecil yang kupungut dahulu. Gaya tidurnya selalu punya makna efisien. Menekuk bagai donat tak makan banyak tempat.
Kata – kata dokter hewan tadi pagi, membuatku sedikit cemas. Memang sudah lima belas tahun lamanya, seperti makanan yang punya waktu kadaluarsa, namun bukan berarti aku rela melepas.
Namun karena acara tadi, kucing sembilan nyawa….
Kini otakku selalu dimuali dari, “andai kata…”
“Andai kata Nona Chernyy punya sembilan nyawa? Pfft tolol,” gumamku sambil mengejek diri sendiri.
Hingga rasanya setengah jam berlalu…
Tubuhku lemas, namun kedua mataku tidak mau berkompromi menutup. Kucoba lagi dan lagi…
Lagi dan lagi…
Lagi…
.
.
Akhirnya mata ini lebih paten menutup…
Tiba - tiba…
Tanpa hembusan angin, suasana rasanya lebih dingin. Telingaku menangkap bunyi kecil gelisah, suara mendesis. Pada akhirnya aku harus merelakan mata ini terbuka lagi. Mungkin saja aku belum ditakdirkan tidur malam ini.
“Meeowwww!” Desisan itu berubah jadi geraman Nona Chernyy melengking.
“Ada ap-“ Mulutku membisu, mata ini disapa sesuatu yang tak normal.
.
Seorang wanita berpakaian gaun putih rambutnya digelung rapi hitam kebelakang. Tas koper roda mengkilat bagai mutiara dibiarkan berdiri, ia berjongkok mencoba mengelus Nona Chernyy yang panik ketakutan.
“Si-siapa!?” Sentakku dan spontan mendorong sofa itu ke belakang, aku terjungkir seratus delapan puluh derajat. “Sini, Puss!”
Nona Chernyy bergegas berlari panik dan melompat ke arahku. Itu memang sedikit melegakan. Namun saat aku memperhatikan dari balik sofa.
Wanita itu menoleh lalu berdiri. Secara mengejutkan, ia hampir membentur langit – langit, tingginya sekitar dua meter. Namun bukan itu membuat kulitku melompat berlarian. Bukan kulitnya yang putih pucat keunguan, namun wajahnya yang tak bisa dikritik caranya berdandan
.
.
Karena memang dari awal tidak ada, wajahnya bagai tembok putih polos sehalus papan.
.
“Ha-hantu?” Panikku seakan membuat rasa panas di perut memanjat tebing kerongkongan.
169Please respect copyright.PENANAIQkAlNCByS