Nafasku agak terengah – engah, disamping itu tanganku sedikit pegal memegangi bungkus kue ini. Untungnya kami telah mendapat tumpangan taksi.
“Bisa anda tolong jelaskan sedikit? Paling tidak… jangan biarkan saya dalam ruangan yang gelap.”
Ia melihat arlojinya.
“Justru saat itu datang, sinarnya paling terang.”
Kataku mendengus, “Lagi – lagi anda begitu. Paling tidak biarkan saya mencari cahaya dari kejauhan, tolong?”
“Mumpung masih perjalanan, mari kita dengar pendapatmu. Bila kau dan aku sama, maka itu akan menjelaskan posisi pemahaman kita atas kasus ini. Well, setidaknya tidak tertinggal terlalu jauh?”
Aku mengangguk saja daripada nihil.
“Kasus selalu punya keanehannya masing – masing. Dari yang lazim maupun tidak. Satu pertanyaan yang akan menjelaskan beberapa hal. Apa saja yang menurutmu aneh dari kasus ini?”
Tn. Cake menempatkan kue yang kubawa itu di tengah di antara kami.
“Tulisan angka itu?”
“Feline, kita bertiga juga tahu kalau itu aneh. Pertanyaannya mengapa kau menganggap hal itu aneh?”
Aku tidak menyangka ini seperti tebak – tebakan mencongak.
“Well, maksudku kenapa harus menuliskan hal yang membingungkan? Kita bukan berada di zaman praaksara, lagipula tidak ada gunanya membuat pesan aneh seperti itu.”
Tn. Cake hanya mengangguk – angguk kecil.
“Masuk akal,” tambahnya. “lalu apa lagi?”
“Suaminya Nyonya Lombardi. Siapa orang ini sebenarnya? Maksudku untuk apa kalkulator 10ribu pounds? Lagipula komputer dilengkapi fitur lebih canggih, sementara kalkulator bisa diakses dengan ponsel. Bukannya itu cukup untuk pekerjaan seorang admin?”
“Secara logika, itu memang masuk akal. Bagus, lanjutkan.”
Mobil kami berhenti tepat di pertigaan. Bukannya lampu merah, tapi macet. Wajar karena pada waktu bersamaan dengan jam pulang kantor.
“Wanita itu. Nyonya Lombardi.”
“Oh? Apanya yang aneh?”
“Dia tidak terlihat berbohong, tapi aku hanya merasa aneh. Dari kejauhan aku mengira ia menunggu pacarnya, terlihat agak sebal. Entahlah mungkin aku juga salah.”
Lagi – lagi Tn. Cake mengangguk kecil. Aku merasa ia menertawaiku dari hati kecilnya.
“Hampir.”
“Jadi? Bagaimana?”
“Well, kau ternyata sangat jauh, Feline. Tapi jangan bersedih, kau akan dapat cahaya yang kau kejar saat kita sampai nanti.
Setelah 40 menit dari yang seharusnya kata Tn. Cake kurang lebih 27 menit, karena Dullingham dari toko kami tidak terlalu jauh. Meskipun itu sudah masuk daerah Suffolk, tapi masih berbatasan dengan Cambridgeshire.
Aku cukup kagum melihat perumahan Algar Drive. Berbeda dari sesaat kami melewati bagian depan Bakehouse Hill yang sebenarnya terlihat nyaman dengan bangunan tidak terlalu besar, atau Taylors Field yang sedikit lebih baik.
Algar Drive, kompleks yang terlihat segar dan tenang, jauh disambut lebih dari kata nyaman bahkan jalan untuk kendaraan seperti mobil atau truk pengantar barang diatur luasnya agak tak bertabrakan. Bangunan yang mendeskripsikan bahwa pemiliknya bukan orang biasa. Well, setidaknya Nyonya Lombardi, dengan pekerjaannya yang sering keluar negeri agak terjawab.
Kami pun turun dari taksi.
“Ini kompleks yang cukup sunyi. Aku kira kita tak perlu menyamar seperti ini, Tn. Cake.”
Tn. Cake tidak menggubrisku dan langsung menuju rumah dua tingkat dengan garasi dan pemandangan rumput hijau yang dipotong simetris nan rata.
Aku segera menuju Tn. Cake, dengan masih agak ngos – ngosan bungkus kotak yang lumayan besar ini. Seperti yang kuperkirakan, rumah itu tertutup rapat.
“Jadi… apakah kita akan mencari taksi?”
“Seperti biasa, Feline, tak henti – hentinya banyak bicara, eh? Untuk apa hal itu?” Tn. Cake menyeka pintu hingga gagangnya.
Aku kaget ketika melihat jari Tn. Cake agak menghitam.
Tn. Cake mengetuk pintu.
“Permisi! Kami dari Moncake shop, ingin mengantar pesanan Kue Red Velvet ukuran besar!”
“Eh? Bukannya kita membawa kue coklat? Dan ini hanya sisa tiga potong?”
“Feline, ikuti prosedurnya, jangan terlalu membantah,” katanya dengan tenang tapi absolut.
Aku mulai bosan, mengingat hal ini berpotensi untuk tidak menghasilkan apa – apa. Well, kalau gagangnya sudah membuat jari Tn. Cake menghitam, untuk apa ia mengetuk mengharapkan orang datang?
Tn. Cake masih terus mengetuk. Ketukannya semakin keras. Aku agak cemas tangannya itu dengan kuat agak mendorong. Kulihat di sekitar, dalam hati masih lega. Pasalnya tidak ada seseorang pun yang lewat. Jujur, itu membuatku malu dan cukup terganggu.
Hal yang mengejutkan terjadi, Pintu itu terbuka perlahan. Kami masuk ke tempat itu. Ruangannya cukup nyaman dan luas. Kutaruh barang besar ini di meja, lalu duduk di sofa yang empuk. Sementara Tn. Cake menaruh perhatian pada gagang pintu sisi belakang. Ia memutar kunci yang terpasang di pintu itu.
Sesaat tanganku meraba – raba sofa bagus ini, aku merasa seperti ada pasirnya.
“Eh?” aku terkejut saat tanganku menghitam.
Aku langsung berdiri dan menepuk – nepuk pantantku.
“Hey, kenapa bisa sampai berdebu sekali?”
“Entahlah, cukup lama.”
Kami berjalan lebih dalam. Aku melihat lantainya juga berdebu yang cukup menjijikan. Padahal lampu gantung itu masih terlihat mengkilap dan bagus. Kami menuju pintu belakang. Aku ragu tanganku kotor saat hendak memutar knob pintu tersebut. Tn. Cake yang mewakiliku.
“Mengapa ini sangat bersih?” kata Tn. Cake kecewa.
Kupikir bukannya itu berita bagus? Lagipula bila ini rumahku, seharian pasti kunyalakan mesin penyedot debu. Atau bila menggunakan tenaga, aku akan sangat berteman dengan kemoceng. Lalu aku mengepel seharian penuh. Ini sungguh membuatku tak tahan.
Kami kembali ke sudut yang agak mendalam lainnya. Di atas drawer belakang, kami melihat beberapa kalkulator. Ada beberapa yang masih dengan bungkusnya, tapi aku coba untuk menyalakan yang terlihat agak tebal dan canggih itu.
“Apa? Aku baru tahu kalau kalkulator bisa mengeluarkan grafik?” tanyaku penasaran.
Tn. Cake memencet tombol lain yang itu membuat layarnya lebih mengejutkanku lagi. Itu menampilkan permainan yang cukup meskipun tidak sebagus grafik konsol pada umumnya.
“Kau bisa bermain game juga rasanya. Aku sedikit teringat dengan punya Nona Flemming.”
Aku tidak mengerti mengapa benda kuno ini bisa punya fitur yang agak canggih. Aku mulai mengerti mengapa itu bisa punya harga selangit.
Hari semakin malam, setelah melihat – lihat lantai dua, satu ruangan kamar yang cukup luas, untungnya bersih dan rapi, kami akhirnya mengakhiri obeservasi yang tak beralasan ini. Setidaknya untukku. Lagipula Tn. Cake juga lagi – lagi salah perhitungan. Kami naik taksi menuju Cambridge.
“Apa ada alasannya kita lakukan tadi?”
Ia menggeleng yakin. Sudah kuduga, tidak semua orang jenius selalu memperhitungkan dengan tepat. Aku mulai sadar bahwa terlalu mengagungkan Tn. Cake bukan hal yang bagus. Itu karena sesama manusia pasti melakukan kesalahan.
Aku menghela nafas, wajahku yang lelah menampakkan rasa kecewa cukup dalam.
“Pemikiranmu itu agak keterlaluan, Feline. Ya aku bisa membacanya dengan jelas. Tapi, Cake, orang yang tidak hanya tampan dan berhati mulia ini, tidak akan pernah mengecewakan wanita. Bahkan yang masih anak – anak dan polos sepertimu.”
“Oh ya? Lalu apakah bisa anda jelaskan? Atau itu akan seperti sama lagi? Feline ke-“
Jari manis Tn. Cake menutup mulutku dengna santainya.
“Peraturan kedua, fokuslah terhadap hasil observasi. Bila itu mungkin, bedahlah isinya. Tidak ada yang namanya keanehan yang masuk akal.”
ns18.222.194.128da2