Seperti biasa, dalam mempelajari seseorang, aku harus menuliskan kisahnya. Terutama Tn. Cake, yang semenjak katanya beliau mengakuiku sebagai muridnya, belum pernah memberikan wawasan pengetahuan detektif padaku sama sekali. Alih – alih bertolak belakang, aku setidaknya mencoba seperti Watson sahabat Sherlock Holmes. Memang cukup menyulitkan.
Tn Cake, Pria berambut acak natural itu, yang selalu menjadi perhatian para gadis bahkan wanita, karena kemampuan memasak dan deduksinya, hanya memberikanku ilmu menjadi pelayan yang ramah. Beliau juga bilang, wanita akan tambah menarik bila bisa memasak, jadi dia mengajariku hal itu juga. Huft, sebenarnya cukup jauh dari yang kubayangkan. Entah kenapa daripada menjadi detektif, aku lebih siap menjadi pelayan saja.
Walaupun begitu aku cukup bersyukur hari ini, dimana hujan gerimis yang tenang, raut wajah Tn. Cake yang ceria berbeda sembilan puluh derajat dari tiga hari yang lalu. Well, kemarin tempat ini tidak satupun dimasuki orang. Aku bahkan memberinya saran untuk tutup sementara dan buka overtime di weekend. Namun Tn. Cake menolak dan bersikukuh dengan pendapatnya, meskipun aku sempat merasa tangannya agak gemetaran saat memegang pundakku. Cukup lucu sih kalau dipikir, tapi mengkhawatirkan.
“Tujuh ratus… Tujuh ratus lima puluh delapan…”
“Anda tampaknya senang sekali, Tn Cake?” tanyaku sambil menglap meja.
“Bisa kau tebak, Feline? Tujuh ratus enam delapan pounds! Ini seperti mengembalikan yang kemarin. Berkat kerja keras si tampan dan gagah ini,” katanya dengan nada santai dan berbangga diri.
Senyumku masam sambil membuang muka.
“Sesuka anda, Tn Cake.”
Setelah menglap semua meja, sebelumnya aku telah mengepel lantai juga. Sore ini sepertinya kami akan tutup dulu, mengingat penjualan dirangkap dengan yang kemarin. Lagipula mendekati waktu penyetokan, kami perlu beberapa bahan lagi.
“Taruh kain lapmu itu. Kau bisa istirahat dulu, Feline.” Tn. Cake berjalan ke arah dapur.
“Tinggal sedikit,”
Hal yang paling kusukai adalah membersihkan kaca. Entah kenapa setelah menyemprotkan cairan pembersih lalu mengelapnya, rasanya cukup memuaskan. Angin yang meniup melalui celah ventilasi, bau – bau air hujan yang seakan menenangkan jiwa dan melepas penatku perlahan. Di balik gerimis, segerombolan aktivitas beberapa orang mencari makanan di kedai lain, atau bahkan mencari tumpangan untuk pulang sambil mengobrol di bawah payung. Satu favoritku, pria berjas hitam dengan topi bowler mirip milik Tn. Cake biasanya kenakan, ia meniup cerutu sambil menikmati rintikan gerimis. Walaupun memakai payung, kukira tangannya yang sedikit agak bergetar tidak bisa ditutupi dengan hangatnya rokok. Setidaknya kau harus segera pulang, pikir usilku.
Tidak terlalu ramai hingga terlihat menyesakkan, atau sepi seperti kuburan. Semuanya dibuktikan dalam senyumku yang terlihat makmur, aku sungguh berbisik rasa syukur.
Namun, aku melihat satu orang. Aku berjalan sedikit ke arah kaca yang agak buram. Kusemprotkan lalu ayunkan kain lap lagi, pandanganku mulai jelas. Satu orang, daripada berbaju seragam ala pekerja, ia memakai dress putih kasual, lumayan agak basah kuyup. Orang ini melawan ritme aktivitas di jam – jam segini pada umumnya, masalahnya ia seperti mondar – mandir kebingungan. Semakin lama kuperhatikan, aku semakin tidak mengerti dengan wanita itu.
“Menunggu pacarnya?” kataku pelan.
Aku terus menatapnya, hingga tangan menyentuh pundakku tanpa kusadari.
“Huh!” Mataku melompat dari tempatnya, aku kaget.
“Kau ini kenapa? Sudah kubilang taruh kain lapmu, kita ngeteh bersama.” ia menunjuk sesuatu di meja. “Lihat, kita masih ada red velvet? Bukannya itu kesukaanmu?”
Sejenak aku mengatur ritme nafas. Well, kue tetaplah kue, aku tidak bisa menolak. Aku langsung menuju mengambil duduk.
Seperti hari yang terlihat biasa, istirahat yang tenang, gerimis, kue, dan teh hangat. Lumayan istimewa. Mulutku masih mengunyah tanpa ampun, tapi aku bisa mengerti mengapa Tn. Cake memelototiku.
“Kau sakit?” Katanya agak khawatir karena wajahku bagai robot, mulut mengunyah mata tak berkedip.
“Tidak. Kalau itu benar, maka tidak mungkin saya mengambil dua dari tiga bagian kue ini,” balasku tenang.
“Yeah, pokoknya rakusmu masih ada berarti dalam kondisi prima.” Katanya mengangguk yakin.
Well, kata – katanya yang lurus seperti floret yang menusuk di dadaku.
“Hmph! Seperti biasa, anda ini cukup terang – terangan, ya?” balasku mendengus.
Tn. Cake menyeruput charmomile tea yang menjadi kesukaannya itu.
“Jadi, kenapa kau memelototi dari jauh?”
Aku paham, tidak ada yang bisa disembunyikan darinya. Namun mulutku ragu, bahwa mata ini tidak bisa memastikan informasi tadi untuk bisa disampaikan dengan jelas.
“Kau melihat dada besar?
“Eh? Apa?”
“Uhuk~ Maksudku, kau akhirnya tertarik dengan lawan jenismu?” Tn. Cake berpura – pura terbatuk.
Sebenarnya aku masih dengar apa yang ia katakan sebelumnya. Namun aku masih lahap memakan kue yang kedua.
“Apa maksudnya itu? Tentu saja saya wanita normal!”
Nada Tn. Cake semakin seperti kakek tua yang mengharapkan cucu.
“Dan kau menemukannya di balik kaca itu? Kau tergila – gila padanya?”
“Apa sih? Bukan itu, Tn. Cake! Ini soal wanita.”
Dan beginilah yang membuatku susah, soal wanita, Tn. Cake pasti seperti api membara.
Ia menoleh ke segala arah, sikapnya penuh ke hati – hatian.
“Apakah dia cantik?”
Sebenarnya aku tidak yakin, apakah dia masih di sana. Aku menunjukkannya pada Tn. Cake dari balik kaca tempatku memperhatikannya dari kejauhan.
“Itu orangnya, Tn Cake.”
Ia mencoba menyipitkan matanya.
“Maksudmu, dress putih kasual itu?”
“Uh huh.”
Entah kenapa raut mukanya seperti reduh, ia kehilangan daya tariknya.
“Well, kau tahu, biasanya ketidaktahuan adalah kebahagiaan.” tambahnya sambil berbalik arah. “Jadi, Feline, mari kita biarkan sesuatu pada tempatnya dan…”
“Bukan selera anda?”
Ia menghela nafas. Langkahnya terhenti.
“Nona Feline, kau sepertinya salah menilaiku, ini bukan soal penampilan. Aku merasa itu hanya permasalahan anak muda jaman sekarang. Cake tidak tertarik yang sederhana,” katanya dengan nada berat.
“Saya tidak mengerti, Tn Cake. Ini tidak seperti anda yang biasanya. Well, saya tidak mempermasalahkan anda yang sedikit mesum. Tapi seharusnya anda harus menjadi pemecah masalah yang handal.”
Tn. Cake mengernyitkan dahinya.
“Ge-genit?” katanya agak kesal.
Aku segera mengambil payung. Entah kenapa hari ini perasaanku tidak stabil. Sedikit penasaran dengan wanita tadi.
“Anda sebaiknya siapkan teh hangat.”
Aku pun keluar.
Aku menemui wanita yang terlihat gelisah itu. Benar saja. Sesaat kami mengobrol sebentar, aku merasa Tn. Cake harus segera mengetahuinya. Kali ini harus kuakui, instingnya agak meleset.
Kami pun masuk.
“Silahkan, duduk.”
Tn. Cake mengantarkan satu teko teh hangat, beserta handuk.
Wanita tidak mengambil handuk tersebut, tapi meneguk sedikit teh hangat yang baru saja Tn. Cake tuangkan pada cangkir kosong.
“Sa-saya punya masalah. Tapi saya tidak tahu apakah ada yang bisa menolong?” nadanya tiba – tiba panik.
Tn. Cake mengangkat alisnya. Sementara aku menenangkan wanita itu.
“Ma-maaf, saya Pamina Lombardi. Suami saya tidak kembali di rumah, saya khawatir.”
“Ah, Signora Lombardi, kalau boleh saya tahu, sudah berapa lama?”
“Saya baru saja pulang kemarin dari Seville. Sekitar dua pagi.”
Aku dan Tn. Cake saling memandang satu sama lain. Kira – kira pikiran kami sama, sama – sama tidak bisa memahami permasalahannya. Maksudku, kalau ia sendiri bahkan tidak tahu, lalu mengapa menunggu di tempat ini? Lagipula itu juga tidak berhari – hari.
Tn. Cake masih memandangi wanita itu. Well, dia ini memang memikat. Selain rambutnya yang dikuncir menyerupai roti bun, ia menggunakan eye shadow hitam yang cantik. Tapi aku yakin Tn. Cake ini memandang dengan tidak sopan pada baju yang agak basah itu.
“A-apa ada yang salah?” kata wanita itu agak malu yang sedikit berpikiran sama denganku.
“Ma-maaf, signora. Jadi bagaimana anda mendapati bahwa suami anda hilang kemarin? Anda yakin itu tidak salah paham?”
Wanita itu menjelaskan bahwa saat pulang, rumahnya terkunci rapat. Ia juga menunjukkan ponselnya bahwa suaminya berpesan akan menjemput Nyonya Lombardi tepat pukul lima pagi. Untungnya ia membawa kunci tambahan. Ia menambahkan bahwa hal ini tidak biasa. Masalahnya dari sekarang pun ia tidak bertemu suaminya lagi.
“Lalu saya menemukan surat ini di dekat drawer depan.”
ns3.148.200.110da2