Sudah bukan menjadi hal yang aneh, sifat kedisiplinan manusia diterapkan sejak lama. Daripada berkantor, pada zamannya seseorang cenderung bertenak atau bertani. Yang menjadi masalah besar adalah ketika manusia berusaha bangun pagi – pagi, daripada tidur lebih awal. Sebagai individual yang kreatif, mereka mencoba untuk berpikir logis. Mengawali waktu produktif agar berakhir lebih awal, supaya mereka memiliki waktu luang untuk berpikir logis.
Dari timba air, kotoran hewan, hingga pada sesuatu yang membahayakan diri mereka sendiri, seperti jatuh dari tempat tidur. Katakanlah berhasil? Benar itu berhasil. Tapi kemudian mereka berpikir, ketika timba air mengenai wajah, bukan berarti tidak mengenai kasur? Apalagi kotoran. Lebih lagi jatuh dari tempat tidur, boleh jadi bangunnya di berbeda tempat? Seperti rumah sakit. Pada saat itulah seseorang dari mereka berpikir bahwa logis saja tidak cukup, rasional diperlukan. Suatu cara yang lebih baik dari yang sebelumnya, mereka tak perlu repot – repot mengatur pengait dengan timba ataupun menggunakan perhitungan yang cukup menyita waktu. Sesuatu yang dapat menerima rangsangan, tidak secara fisik tapi bisa dirasakan, suara.
Belum pada zamannya menggunakan alarm pada jam – jam konvensional, saat itu hewan adalah pilihannya. Dari sekian kandidat dipilihlah ayam. Ayam memanglah yang paling cocok, namun bukan berarti tidak punya kelehaman. Kadang mereka berkokok di jam – jam tidur bila ada ayam lain yang memulainya. Tapi mengingat setiap pagi selalu menjadi alarm bagi orang – orang yang bekerja pada alam, maka itu tidaklah terlalu dipikirkan. Hingga saat ini, zaman teruslah berkembang, bukan berarti sepenuhnya jam elektronik yang menggantikan. Peran itu lebih didominasi oleh burung. Khas orang inggris yang sederhana, suara gelatik memang terdengar nyaman. Khususnya bagi seseorang yang pikirannya dilibatkan kesangsian, baik karena pekerjaannya atau memang hobi yang aneh.
Walaupun begitu, kali ini harus diakui bahwa mungkin saja kicauan burung itu saja tidak cukup. Harus diakui terbenam pada atap yang berbeda, nuansa agak mewah meskipun lagi – lagi harus kursi, sekali lagi Monkey dibangunkan tidak dengan cara nyamannya. Daripada terjatuh, ia lebih suka secara tiba – tiba. Bukan berarti dia memilih, tapi kenyataan yang menginginkan. Daripada mimpi, pikirannya menyuruh untuk bangun.
Matanya terbuka dengan pandangan tanpa kabur terlebih dahulu, boleh jadi membasuh muka tidak diperlukan. Pandangannya ke arah bawah, selimut sedang membungkusnya. Pikirannya sedikit diributkan hal sepele yang sejak awal tak pernah mengenakan selimut, walaupun faktanya malam lebih dingin. Angin september memang tidak bisa dianggap remeh.
Kemudian badannya diangkat, tangannya menyeka – nyeka dari atas hingga bawah. Pundaknya diputar – putar, seluruh tubuhnya coba digeliatkan. Setidaknya sofa masih lebih baik dari kursi putar miliknya di kantor.
“Empat jam, huh? Tidak buruk.” Gumamnya.
Sinar pagi belum begitu cerah untuk mengisi ruangan tersebut saat tirai dibukanya. Ditengoknya wanita itu masih tidak sadar. Kemudian ia memutuskan untuk bersiap – siap lebih awal, maka dari kamar itu tinggal berbelok. Tempat TKP yang sudah dibersihkan dari jejak korban, namun masih digambar pola posisi terakhir kejadian. Hal yang sudah biasa menurutnya.
Saat membasuh muka, ia melihat salah satu dari empat petak tempat kecil, pintunya terbuka. Seseorang menghampirinya dengan wajah datarnya.
“Anda tak mandi sekalian? Ada empat bilik.”
“Itu niat saya, tapi karena jauh dari kehidupan mewah…”
Pria itu menyela dengan sopan.
“Ada empat bilik, anda bisa mandi di salah satunya,” Tunjuknnya sambil menoleh. “Beberapa perlengkapan setiap hari diganti seperti sikat gigi. Toh yang memakai bilik kebanyakan cuma saya.” suaranya masih datar.
Monkey mengangguk.
Kemudian ia berpikir bagaimana mencari topik yang tepat untuk memulai pembicaraan sederhana pada seseorang yang terlihat tidak minat sama sekali untuk mengobrol.
“Tapi Tuan Keith, katanya berendam air hangat di pagi hari… menyehatkan?”
Kran tersebut dinyalakan, tangannya menengadah kemudian dibasuhkan hingga sisa – sisa sabunnya hanyut.
“Benar, tapi shower di sini bisa diatur hangat. Karena saya tak punya waktu…” Wajahnya dibasuh lagi kesekian kalinya. “Maka itu tak mungkin.”
“Meskipun anda sangat ingin?” Monkey mengambil sabun muka.
Pria itu mengangguk.
“Kalau begitu saya mengambil saran anda yang kedua.”
Kemudian suasana canggung mengisi ruangan tersebut.
Setelah Monkey membasuh wajahnya, pria itu berbalik arah saat akan meninggalkannya.
“Ada masalah, Tuan Keith?”
Ia mengampirinya tanpa mengangguk, ekspresinya menyiratkan berbagai makna. Bisa diartikan tidak senang, tapi bukan berarti kebencian. Hanya sesuatu yang dipancarkan sesuai dengan karakteristik pada ruangannya.
Dibukanya salah satu pintu bilik, mereka masuk ke dalamnya.
“Putar ke kanan untuk dingin, ke kiri untuk panas. Yang terpenting jangan terlalu dominan ke kiri, kalau ke kanan tidak masalah,” pria itu sambil memutar knob kran.
Monkey mengangguk lega, namun agak bingung. Pria itu diam sejenak.
“Tiba – tiba saya teringat sesuatu yang bodoh. Salah seorang pernah mengalami di rumah ini, padahal di sini bukan lantai satu.”
“Oh, apakah beda pengaturan?”
“Benar, mesin pemanas di sini lebih kuat karena punya perendaman air hangat dan sauna. Sangat sensitif.”
Monkey mengangguk lagi namun kali ini agak ragu – ragu.
ns18.216.64.93da2