“Maaf membuat anda menunggu.”
“Tidak masalah. Ngomong – ngomong ruangan ini agak lebih buruk dari sebelumnya.”
Pria itu menggaruk kepalanya.
“Ah, saya sedang mencari – cari bahan untuk ide novel terakhir saya. Itu tidak pernah mudah,” tambahnya sambil menghela nafas. “Bahkan saya harus melihat – lihat dulu relasinya dari buku – buku sebelumnya, atau mengambil contoh dari yang sudah terkenal.”
“Mengapa tidak mencoba mengambil kasus dari kisah nyata?”
Pria berponi tanda koma itu perlahan – lahan tersenyum, wajahnya secara jelas tambah bersemangat.
“I—itu dia! Berarti yang saya butuhkan adalah koran atau internet,” tambahnya sambil berdiri mengekspresikan semangatnya bertambah besar setelah selama ini terbebas dari cangkang kebuntuan. “Sisanya membuat premis kemudian menentukan tokoh, lalu—”
Desdemona menyela.
“Maaf saya tidak bermaksud menghancurkan semangat anda, tapi saya perlu sesi tanya jawab lagi.”
Pria itu kembali duduk dengan tenang, namun ia malah tambah semangat. Tingkahnya semakin seperti anak kecil yang dijanjikan hadiah bila nilai pelajarannya bagus.
“Itulah yang saya tunggu – tunggu! Interogasi termasuk kisah nyata!”
Desdemona agak risih ketika kepalaya di dekatkan.
“Baik – baik, tolong seperti biasa saja!”
Ia akhirnya kembali tenang.
“Ah, maafkan. Saya tidak bisa menahan diri rasa keingintahuan meluap - luap. Silahkan tanyakan apapun.”
Desdemona mengambil posisi senyaman mungkin, kakinya disilangkan. Ia menceritakan hasil kunjungannya. Terutama yang ingin disinggungkan adalah beberapa hal yang bersangkutan.
“Salah bila dikatakan saya berperan besar. Sebuah projek harus melibatkan banyak orang, tenaga, waktu dan momentum. Modifikasi dan pembudidayaan jamur hanyalah iseng, kami hanya bermain – main. Lagipula tidak ada maksud satupun kami untuk jangankan mengambil alih, ikut pun sama sekali tidak terbesit.” Katanya yang tiba – tiba sikapnya lebih tenang dari biasanya.
“Sekarang bila saya membayangkan sebuah film, maka tak keberatan sepenuhnya setuju. Tapi masalahnya keterlibatan anda semua sangat penting, lebih lagi membawa perusahaan menjadi lebih baik. Anda semua seperti menulis sejarah yang membantu kesuksesan perusahaan. Itu masih tidak masuk akal bila dibilang iseng. Terus teranglah, Tuan Steve.”
Pria itu diam sesaat. Ia berdiri mengambil dua botol minuman dalam lemari es. Kemudian di taruhnya pada meja mereka.
“Seperti yang anda katakan. Projek itu untuk menunjang kemandirian dan meminimalisir kegagalan stok pada tiap – tiap jenis persediaan. Yang anda lihat saat kunjungan adalah hasil akhirnya, syukurlah itu berjalan hingga sekarang. Tentu saja pada masa perkembangan pernah gagal berkali – kali, benar?”
“Benar, itu malah menaruh alasan kuat ketidaksetujuan saya mengapa anda tidak lagi terlibat dalam perusahaan.”
Ia meneguk sebotol kopi dingin.
“Dulu adalah saat – saat menyenangkan. Termasuk tidur di laboratorium, makan bersama, kecewa bersama, bangkit bersama dan lain sebagainya. Hingga semua projek selesai, kami tak punya apapun untuk dilakukan. Setelah tujuan tercapai itu sudah cukup bagi saya. Lagipula kami punya pencapaian masing – masing. Mungkin anda bertanya, seorang yang pernah menjadi pertukaran pelajar Wageningen, malah jadi novelis. Karena dulu sudah menjadi janji bahwa saya akan jadi novelis.”
“Dulu? Berarti itu masih punya hubungan dengan apa yang dikatakan Tuan Keith?”
Pria itu mengangguk, roman mukanya agak serius.
“Kurang lebih, tapi tidak sepenuhnya benar. Setidaknya tidak bagi saya. Lagipula seperti yang anda ketahui, saya pun pasti mengakhiri novel yang saya buat, karena saya sudah puas. Penjualan sudah laku keras, tidak bisa dibilang sama lakunya dengan milik beberapa penulis ternama. Paling tidak itu cukup untuk saya membeli rumah dengan lahan luas. Mungkin saja saya akan kembali pada pertanian?” Katanya sambil tertawa kecil.
ns18.216.64.93da2