
Gema Ilusi dan Pertanyaan yang Menggantung
Di kamar mandi yang lembap, Bintang masih meringkuk, air shower yang dingin tak mampu memadamkan api penyesalan yang membakar dalam dirinya. Namun, di tengah badai emosi itu, otaknya justru memutar ulang kejadian pahit tadi pagi. Adi. Sentuhannya. Bisikannya yang memabukkan.
Perlahan, ingatan itu mulai berubah warna, dari pahitnya penyesalan menjadi geliat sensasi. Bintang melamun, kembali pada sentuhan Adi yang berani, desahan-desahan yang membaur, dan kenikmatan yang begitu menggoda yang ia rasakan—berbeda, lebih liar, lebih membebaskan dari yang pernah ia dapatkan dari Ardan. Tubuhnya yang mungil, kini tak berbalut sehelai benang pun, terasa hangat oleh memori itu.
Napas Bintang mulai memberat, memburu. Tanpa sadar, jemarinya mulai menjelajahi kulitnya sendiri. Mengelus lembut lengan, turun perlahan ke perut, lalu naik, menyentuh puncak buah dadanya yang padat. Gema ciuman Adi seolah masih terasa di bibirnya, bibirnya sedikit terbuka, membiarkan desahan kecil lolos dari kerongkongannya. Semakin ia larut dalam lamunan ilusi cinta yang baru saja menghantuinya, belaian tangannya sendiri ke buah dadanya semakin menjadi-jadi, semakin memanjakan.
"Ah..." Bintang melenguh, memejamkan mata erat, membiarkan setiap sentuhan mengalirkan gelombang panas ke sekujur tubuhnya. Ia merasakan setiap denyutan kenikmatan yang ia ciptakan sendiri, seolah Adi ada di sana bersamanya, memenuhi setiap hasrat terpendam. Hanyut dalam sensasi yang memabukkan, Bintang semakin larut, semakin gila, hingga tubuhnya menggeliat dan bergetar, mencapai klimaksnya sendiri di bawah guyuran air shower yang dingin, sendirian dalam euforia yang terasa begitu nyata sekaligus menyakitkan.
Perjalanan dalam Diam dan Obrolan Hangat
Sementara itu, di perjalanan, Ardan dan Angel diselimuti keheningan yang terasa canggung sekaligus sarat makna. Motor Ardan melaju membelah padatnya lalu lintas Jakarta. Angel di belakangnya, sibuk dengan ponselnya. Tak lama, Ardan melihat Angel menghela napas, seolah baru saja menerima pesan yang membebani.
"Dan," Angel memecah keheningan, suaranya kembali ramah seperti biasa. "Tumben kamu jadi driver Grab? Nggak kangen sama kursi kantor yang empuk?"
Ardan tersenyum masam. "Kursinya sih kangen, Kak. Tapi saldo rekening saya nggak kangen. Makanya ini, cari nafkah halal biar dapur ngebul."
"Dasar kamu ini, ada-ada aja!" Angel tertawa renyah, tawa yang dulu selalu Ardan anggap menular. "Tapi salut lho, Dan. Nggak gengsi. Cowok begini nih yang patut diacungi jempol. Jarang ada."
Obrolan mereka mulai mencair, mengalir akrab seperti kakak-adik yang sudah lama tak bersua. Mereka membahas kehidupan bertetangga, gosip di komplek, hingga kenangan lucu saat Ardan dulu sering main ke rumah Adi dan Angel sebelum menikah. Ardan merasa sedikit nyaman, namun hatinya tetap waspada.
"Kak Angel, jadi ini beneran mau ke mal? Atau cuma mau mampir beli sesuatu aja?" tanya Ardan, mencoba menyinggung pertanyaan awal.
Angel mengibaskan tangan. "Ah, nggak jadi deh ke mal. Tadinya mau nyari barang, tapi udah males. Kamu antar aku ke tempat nasi Padang langganan kita aja, ya. Sekalian beli buat Adi sama kamu dan Bintang. Biar nggak repot masak."
Ardan mengernyitkan dahi. Kenapa tiba-tiba berubah pikiran? Tapi dia tidak protes. "Siap, Kak!"
Gundukan di Balik Pertanyaan
Di perjalanan pulang setelah membeli nasi Padang, obrolan mereka semakin akrab. Angel bahkan semakin mendekatkan tubuhnya ke Ardan, membuat Ardan bisa merasakan betapa jelasnya gundukan buah dada Angel yang seksi menempel di punggungnya. Wangi parfum Angel yang elegan memenuhi indra penciuman Ardan, menimbulkan gejolak aneh yang bercampur dengan rasa sakit di hatinya.
"Kak Angel ini kok hari ini aura cantiknya lain banget ya? Sampai-sampai saya jadi nggak fokus nyetir," celetuk Ardan, nadanya sengaja dibuat menggoda. Tangannya sedikit menggeser posisi di stang motor, secara tak sengaja (atau sengaja?) membuat punggung tangannya menyentuh paha Angel yang tertutup rok.
Angel tersentak kecil, pipinya sedikit merona. Ia tertawa kikuk. "Ish, kamu ini, Dan! Ada-ada aja. Bisa aja ngegombalnya."
"Saya nggak gombal kok, Kak. Saya cuma bilang fakta," balas Ardan, semakin berani. "Lagipula, Kak Angel ini badannya bagus banget, seksi. Pantas Mas Adi betah di rumah ya, Kak?" Ardan membiarkan pertanyaan itu menggantung, menelusuri reaksi Angel lewat spion.
Angel semakin salah tingkah. "Kamu ini, Dan! Jangan ngomong yang aneh-aneh ah. Nanti dikira gimana-gimana." Ia mencoba menjaga jarak, tapi posisinya di motor tidak memungkinkan banyak pergerakan. Ada rasa panas yang menjalari pipinya, bercampur dengan debaran jantung yang tak terkontrol. Dia memang sejak dulu mengagumi Ardan, namun selalu menekan perasaan itu karena terikat dengan Adi. Kini, godaan Ardan terasa begitu nyata.
"Kok gugup gitu, Kak?" Ardan menimpali dengan senyum tipis. "Saya cuma muji lho. Atau jangan-jangan, Kak Angel memang lagi butuh pujian ya? Mas Adi kurang romantis?" Ardan memutar kemudi perlahan, melirik Angel di spion.
Angel mencubit pelan pinggang Ardan. "Hus! Ngawur kamu ini! Udah, fokus nyetir aja! Nanti kalau kenapa-kenapa, siapa yang disalahin?" Meskipun ia mencoba terdengar tegas, nadanya justru terdengar lebih genit dari biasanya. Ia tahu Ardan sengaja menggodanya, dan ia... menikmati itu.
Motor Ardan melaju, membelah malam Jakarta. Ardan tak tahu, bahwa di balik obrolan akrab dan godaan yang meluncur santai, takdir sedang menenun benang-benang baru yang rumit, yang siap menjerat mereka semua dalam ILUSI CINTA yang lebih dalam.