
Takdir yang Berliku
Di dalam kontrakan Adi, Bintang masih terduduk di lantai, tangisnya pecah, lebih dalam dari sebelumnya. Setiap tetes air mata adalah perwujudan penyesalan yang membakar jiwanya. Bagaimana bisa ia, Bintang Ariani, yang selalu menjaga diri dan statusnya sebagai istri, jatuh sedalam ini? Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Dengan langkah gontai, ia bangkit, meninggalkan Adi yang masih mencoba menenangkan dengan kata-kata hampa.
Bintang melangkah kembali ke kontrakannya sendiri, mengunci pintu seolah ingin mengunci semua dosa dan rahasia di dalamnya. Ia masuk ke kamar mandi, membuka semua pakaiannya yang terasa kotor, dan membiarkan tubuh mungilnya yang putih bersih tersiram aliran shower yang dingin. Air mata bercampur dengan air yang membasahi wajahnya. "Bodoh! Bodoh! Bodoh!" teriaknya, suaranya tercekat di tenggorokan, memantul di dinding kamar mandi yang sempit. Ia memukul-mukul dadanya, berharap rasa sakit fisik bisa menghapus rasa sakit di hatinya.
Oase di Tengah Gurun Hati
Sementara itu, di pom bensin, Ardan sudah merasa sangat nyaman bersama Icha. Obrolan mereka mengalir ringan, diselingi tawa renyah Icha yang menular. Ardan merasa seperti menemukan oase di tengah gurun kekecewaan yang baru saja ia lalui.
"Jadi, Mas Ardan ini tipikal cowok yang kalau galau langsung mogok di jalan, ya?" canda Icha, menyeruput kopinya.
Ardan tertawa. "Ya gimana lagi, Cha. Otak lagi error, hati lagi overload. Motor ikutan protes."
"Makanya, lain kali kalau mau galau, bilang-bilang saya. Nanti saya siap sedia jadi rescue team," timpal Icha, mengedipkan mata. "Tapi jangan sering-sering juga ya, nanti dikira saya pacar gelapnya Mas Ardan."
Ardan tersenyum, merasakan kehangatan yang aneh di dadanya. Icha ini memang berbeda. Tidak manja, tidak polos seperti Bintang. Dia mandiri, ceria, dan punya selera humor yang pas. Ardan merasa membutuhkan wanita seperti Icha, bukan Bintang yang kini terasa asing dan menyakitkan.
"Oh iya, Mas Ardan," Icha melirik ponselnya. "Udah maghrib nih, saya mau coba aktifin aplikasi lagi. Siapa tahu ada rezeki. Mas Ardan juga aktifin dong, mumpung masih di sini."
Ardan mengangguk, membuka aplikasi Grab di ponselnya. "Siap, Cha. Semoga langsung gacor."
Mereka berdua menunggu dalam diam, sesekali bertukar pandang dan senyum. Tak lama kemudian, ponsel Icha berbunyi, diikuti oleh ponsel Ardan. Keduanya mendapat orderan!
"Asyik!" seru Icha, matanya berbinar. "Titiknya sama, nih, Mas! Tapi arahnya beda, ya? Saya ke arah sana, Mas Ardan ke arah sini." Icha menunjuk dua arah yang berlawanan.
Ardan mengangguk, ikut senang melihat antusiasme Icha. Ia melirik nama customer di aplikasinya. Angelina Wijaya. Seketika, senyum di wajah Ardan memudar. Nama itu... tidak asing. Itu nama istri Adi, tetangganya. Jantungnya berdesir tak nyaman.
"Kenapa, Mas Ardan? Kok melamun?" tanya Icha, menyadari perubahan ekspresi Ardan.
Ardan menggeleng pelan, mencoba menepis pikiran buruk. Ia melihat arah tujuan customer-nya. Bukan ke arah kontrakannya, melainkan ke sebuah Mall besar yang cukup jauh. Sebuah ide gila tiba-tiba melintas di benaknya. Ini kesempatan untuk membalas Adi. Membalas rasa sakit yang baru saja ia rasakan.
Namun, hati kecilnya berontak. Bagaimanapun, Adi dan Angel sudah ia anggap seperti kakak sendiri. Mereka sudah bertetangga selama lima tahun, bahkan sebelum Ardan menikah. Rasa tidak enak itu muncul, bercampur dengan keinginan untuk membalas dendam.
"Mas Ardan! Ayo buruan, nanti keburu dicancel!" seru Icha, membuyarkan lamunan Ardan. "Saya duluan ya! Semoga lancar orderannya!" Icha sudah menaiki Scoopy-nya, siap melesat.
"Eh, iya, Cha! Hati-hati!" Ardan tersentak, mencoba menguasai diri.
Icha melesat pergi, menjemput customer-nya yang bernama Dela, rekan kerja Angel di bank. Sementara Ardan, dengan perasaan campur aduk, memacu motornya menuju titik penjemputan Angelina Wijaya.
Pertemuan yang Mengguncang
Sesampainya di lobi bank tempat Angel bekerja, Ardan melihat Angel sudah berdiri di sana, menunggu. Angel, dengan blouse rapi dan rok pensilnya, terlihat elegan. Ardan merasa canggung luar biasa. Ia mematikan mesin motornya dan melepas helm.
Angel menoleh, dan matanya langsung membulat, bukan hanya kaget, tapi ada sedikit raut ketakutan yang tersirat. "Ardan?" bisiknya, suaranya sedikit tercekat. Ia melirik seragam hijau Ardan dari atas ke bawah, tak percaya. "Kamu... jadi driver Grab?"
Ardan mengangguk kaku, berusaha memasang senyum tipis. "Gimana lagi, Kak Angel. Cari nafkah halal. Daripada nganggur di rumah, ntar dikira tetangga numpang hidup." Candaan itu terasa pahit di lidahnya sendiri.
Angel masih terlihat syok. "Tapi... kok bisa? Bukannya kamu kerja di kantor itu?"
"Rezeki memang kadang lucu ya, Kak. Diputar-putar dulu baru nyampe," jawab Ardan, mencoba menjaga nada santai. Matanya menyapu Angel, mencari celah. "Tumben Kak Angel nggak dijemput Mas Adi? Terus ini kok tujuannya ke mal? Bukannya biasanya langsung pulang?" Pertanyaan Ardan meluncur, dibalut nada akrab namun tersimpan kode kecurigaan.
Angel tersentak kecil mendengar nama Adi. Ia mengibaskan tangan, seolah menyingkirkan sesuatu yang tidak nyaman. "Ah, si Adi... lagi sibuk trading katanya. Jadi aku minta Grab aja. Lagipula, aku mau mampir ke mal dulu, ada keperluan sebentar." Angel berusaha tersenyum, tapi senyumnya terlihat sedikit dipaksakan. Ia buru-buru naik ke jok belakang motor Ardan. "Yuk, Dan, buruan. Macet nih nanti."
Ardan hanya mengangguk, menghidupkan mesin motor. Interaksi singkat itu terasa lebih berat dari biasanya. Kecanggungan dan raut takut di wajah Angel tak luput dari perhatian Ardan. Atau jangan-jangan, itu hanya perasaannya saja? Ardan menelan ludah, memacu motornya di tengah keramaian jalan ibu kota, dengan berbagai pertanyaan dan kecurigaan yang berputar di benaknya.