
Pertemuan tak Terduga
Ardan memacu Vario bututnya bagai kesetanan, atribut seragam hijau Grab-nya berkibar tertiup angin malam Jakarta. Pikirannya kalut, bercampur antara rasa marah, sakit hati, dan tidak percaya. Bagaimana bisa Bintang, istrinya yang baru satu bulan dinikahi, tega melakukan itu di belakangnya? Dan dengan tetangga pula! Rasanya seperti mimpi buruk terburuk yang pernah ia bayangkan.
Entah sudah berapa kilometer ia melajukan motornya tanpa tujuan jelas. Yang pasti, jalanan yang tadinya ramai perlahan berubah menjadi perkampungan yang sepi dengan penerangan minim. Ardan baru sadar ketika motornya tersendat-sendat dan akhirnya mati total di pinggir jalan. Dilihatnya indikator bensin – kosong melompong! "Kurang ajar!" umpat Ardan sambil menendang pelan ban motornya. Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Dengan helaan napas berat, Ardan mulai menuntun motornya di jalanan sepi mencari pom bensin yang entah bersembunyi di mana. Keringat mulai membasahi seragamnya. Frustrasi semakin menggerogoti hatinya. Di tengah kegelapan dan keputusasaan, tiba-tiba suara klakson pelan mengagetkannya.
"Mas, motornya kenapa?"
Ardan menoleh dan melihat seorang wanita seumurannya juga mengenakan jaket dan helm Grab, mengendarai Scoopy berwarna merah. Wanita itu memiliki wajah yang manis dengan mata yang ramah. "Kehabisan bensin, Mbak," jawab Ardan dengan nada lesu.
"Oh, sama-sama pejuang rupiah, nih!" seru wanita itu sambil tersenyum. "Mau saya bantu dorong?"
Ardan sedikit terkejut. "Eh, nggak usah, Mbak. Nggak enak ngerepotin."
"Santai aja, Mas. Sesama driver harus saling membantu. Saya Quinsha, panggil aja Icha," ulurnya tangan memperkenalkan diri.
"Ardan," balas Ardan menjabat tangan Icha yang terasa hangat.
Icha mencoba membantu mendorong motor Ardan dari belakang, tapi Scoopy-nya jadi ikut terseret karena Ardan menahan Vario yang lebih berat. Mereka berdua tertawa canggung.
"Kayaknya nggak efektif, ya, Mas?" kata Icha sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Motor saya kan Scoopy, Mas, bukan truk gandeng. Ini badan mungil segini mau dorong motor gambot gitu, yang ada nanti saya yang ikut masuk bengkel." Dia tertawa renyah, membuat Ardan ikut tersenyum tipis. "Gini aja deh, biar saya naik motor Mas, nanti Mas yang bawa motor saya. Nggak jauh kok, tadi saya lihat ada pom di depan."
Ardan awalnya ragu, tapi melihat kebaikan dan wajah ceria Icha, ia mengangguk setuju. "Makasih banyak ya, Icha. Kamu benar-benar penyelamat hari ini."
Maka, dengan canggung Ardan membawa motor Icha, lalu Icha beralih ke Ardan. Ardan agak kikuk mengendarai motor matic yang terasa lebih ringan dari Vario-nya.Hanya punggung Icha yang terlihat oleh Ardan, sesekali memberikan arahan jalan sambil bercerita tentang pengalamannya menjadi driver ojek daring.
"Mas Ardan baru ya jadi Grab?" tanya Icha.
"Iya, Cha. Baru banget. Hari ini perdana," jawab Ardan, merasa sedikit malu.
Icha tertawa kecil. "Pantesan, aura kebingungannya masih kentara banget. Kayak anak hilang di pasar. Nggak apa-apa, Mas, semua juga mulai dari nol. Dulu saya juga gitu, sering nyasar padahal cuma mau nganter nasi goreng ke komplek sebelah."
Ardan ikut tertawa. "Bener juga. Tadi aja udah nyasar duluan ke sini, eh bensin habis lagi. Lengkap sudah penderitaan hari ini."
"Hahaha! Penderitaan apaan? Ini namanya petualangan, Mas! Lumayan kan, bisa ketemu saya di tengah jalan," goda Icha sambil menepuk pelan bahu Ardan. "Anggap aja ini bonus perdana dari Grab, ketemu partner cantik nan menolong."
Candaan Icha yang ceplas-plos membuat Ardan merasa lebih rileks. Untuk pertama kalinya setelah kejadian di rumah Adi, ia bisa tertawa lepas. Beban di hatinya terasa sedikit terangkat. Quinsha ini benar-benar punya aura positif.
Oase di Tengah Kekeringan Hati
Tiba di pom bensin, Ardan menghela napas lega. "Makasih banyak ya, Icha. Kamu benar-benar penyelamat hari ini. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku udah tidur di pinggir jalan sambil meluk motor."
"Lebay deh, Mas," balas Icha sambil tersenyum geli. "Yang penting kan selamat sampai tujuan. Oh iya, saya Quinsha, Mas. Tadi udah kenalan, kan?" Dia mengulurkan tangan lagi, kali ini dengan senyum jail. "Biar afdol, Mas Ardan mau nyimpen nomor saya, nggak? Biar kalau nyasar lagi bisa saya kirimin peta."
Ardan tertawa kecil, segera mengambil ponselnya. "Wah, tentu saja! Wajib hukum syariat ini. Gimana kalau nanti saya butuh pertolongan lagi?" Ia mengetikkan nomor Icha ke ponselnya. "Makasih ya, Cha."
"Santai aja, Mas Ardan. Yang penting sama-sama lancar rezekinya," balas Icha dengan senyum tulus. "Kalau gitu, saya duluan ya, Mas Ardan," pamit Ardan setelah selesai mengisi bensin.
"Eh, Mas Ardan," panggil Icha yang sedang duduk di bangku depan Indomaret di area pom bensin. "Jangan buru-buru. Ini sudah mau maghrib, istirahat dulu. Tadi saya beliin kopi buat kita. Anggap aja ini traktiran dari senior Grab ke juniornya yang lagi frustrasi."
Ardan awalnya menolak, merasa tidak enak sudah merepotkan Icha. Namun, melihat kopi hangat yang sudah tersaji dan ajakan Icha yang tulus, ia akhirnya mengalah dan duduk di sampingnya. Aroma kopi yang harum langsung menyergap indranya.
"Ini enak banget, Cha. Pas banget," ujar Ardan setelah menyesap kopinya.
"Kan, saya tahu selera cowok galau," canda Icha, membuat Ardan kembali tertawa. "Muka Mas Ardan dari tadi tegang banget, kayak mau presentasi di depan investor. Ada masalah, ya?"
Ardan ragu sejenak, tapi keramahan Icha membuatnya ingin berbagi sedikit. "Biasalah, Cha. Masalah rumah tangga sama kerjaan. Baru sebulan nikah, udah kena PHK. Terus hari pertama narik, motor mogok. Lengkap deh." Ia menghela napas, mencoba tersenyum getir.
Icha menatapnya dengan simpati. "Wah, berat juga ya, Mas. Tapi ini kan Jakarta, Mas. Kota sejuta drama. Anggap aja ini cobaan biar Mas Ardan makin kuat. Nanti kalau sukses, ceritain ke anak cucu biar bangga." Icha menepuk bahu Ardan pelan. "Yang penting jangan nyerah. Rezeki itu nggak kemana. Kalau Mas Ardan berusaha, pasti ada jalannya. Lagipula, Mas Ardan kan ganteng, pasti banyak yang order nanti."
Candaan Icha kembali berhasil membuat Ardan tersipu dan tertawa. Obrolan mereka mengalir ringan, diselingi tawa dan cerita lucu pengalaman Icha saat jadi driver. Ardan, tanpa sadar, untuk sejenak melupakan pengkhianatan yang baru saja ia saksikan. Kehadiran Icha dengan kebaikan, keramahan, dan candaannya, bagai oase di tengah gurun kekecewaan. Dia merasakan kenyamanan yang sudah lama tidak ia rasakan, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat.
Di Balik Dinding Kontrakan
Sementara itu, di dalam kontrakan petak mereka, Bintang terduduk lemas di lantai. Air mata sudah mengering di pipinya, meninggalkan jejak merah yang menyedihkan. Penyesalan mencengkeram hatinya begitu kuat. Ia tidak menyangka akan secepat ini terjerumus dalam rayuan Adi. Rasa bersalah kepada Ardan menghantuinya.
Adi, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya berjongkok di depan Bintang dan meraih tangannya. "Sudahlah, Bintang. Jangan menangis terus. Nggak akan ada yang tahu kok kejadian tadi. Kita berdua jaga rahasia ini baik-baik."
Bintang menatap Adi dengan mata sembab. "Tapi aku... aku salah, Mas Adi. Ardan... dia pasti kecewa kalau tahu."
Adi menghela napas. "Ardan nggak akan tahu. Lagipula, kamu juga pasti ada alasannya kan? Kamu kesepian di rumah, dia sibuk kerja... kita cuma khilaf sesaat." Adi mengusap lembut pipi Bintang, mencoba meyakinkannya. "Yang penting sekarang, kita harus tenang. Jangan sampai Ardan curiga."
Kata-kata Adi memang menenangkan, tapi jauh di lubuk hati Bintang, ia merasakan kehampaan yang semakin besar. Ilusi kebahagiaan sesaat bersama Adi ternyata tidak mampu menghapus rasa bersalah dan ketakutan akan terungkapnya kebohongan ini.
Bagaimana menurutmu perubahan di Bab 2 ini? Apakah dialog Ardan dan Icha sudah lebih terasa cair dan membuat Ardan nyaman hingga melupakan masalahnya sejenak?
Kita bisa lanjut ke Bab 3 atau ada lagi yang ingin direvisi dari Bab 2 ini?