Pena hati

Prolog

Ada momen dalam hidup yang nggak pernah benar-benar hilang. Bukan karena kita nggak mau melupakan, tapi karena kenangan itu sudah jadi bagian dari kita—seperti goresan di kayu yang nggak bisa dihapus meski waktu terus berjalan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2BuGQ3mWx9

Desi Wulandari. Nama itu selalu muncul di sudut hati Havis, meski bertahun-tahun berlalu. Kenangan mereka dulu, dari rebahan bareng sambil nonton TV, ngerjain tugas kuliah sambil saling goda, sampai momen-momen kecil penuh tawa—semuanya seperti potongan puzzle yang nggak pernah lengkap lagi.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjDdCM5VFOb

Tapi cinta nggak pernah sekadar manis. Di balik tawa dan harapan, ada luka, ada perpisahan, dan ada keputusan yang terlalu berat untuk diambil. Havis masih ingat bagaimana ia berdiri di depan pintu rumah Desi, menatap wajah ayahnya yang dingin dan tak ramah. "Akhiri semuanya," kata itu seperti palu yang menghancurkan impian Havis untuk membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkVBSFmT5qA

Namun, hidup nggak pernah berhenti di satu titik. Waktu terus berjalan, dan meski hati pernah terluka, Havis tahu satu hal: dia harus berdamai dengan masa lalu.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOXsSGsEGes

Tapi, siapa sangka, tiga tahun lalu, nama Desi kembali muncul di hidupnya. Bukan untuk membawa kabar bahagia, tapi dengan cerita penuh air mata dan luka yang baru. Hidup Desi diuji, dan di tengah kekacauan itu, ia memilih untuk kembali ke satu orang yang pernah ia percayai—Havis.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡL26G4pVMQ6

Dan di sinilah semua dimulai kembali.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgcgOQBR9CJ

Bab 1: Tawa di Antara Waktu

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRQTk4FYA60

Matahari sore itu perlahan tenggelam di balik gedung-gedung kampus. Havis duduk di sudut perpustakaan, mencoba fokus menyelesaikan tugas kuliah yang menumpuk. Di depannya, Desi duduk dengan wajah serius, matanya tertuju pada layar laptop. Tapi Havis tahu, gadis itu bukan tipe yang bisa fokus lama-lama.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEEHQbsfx5i

"Des, lo ngerti nggak ini maksudnya apa?" tanya Havis, menunjuk buku tebal yang terbuka di tangannya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGIjGQXp9OJ

Desi hanya melirik sekilas, lalu kembali mengetik. "Baca aja, Vis. Semua ada di situ."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOnkcgJZEZJ

Havis tersenyum kecil. Itu cara Desi untuk bilang, "Gue juga nggak ngerti." Tapi dia nggak pernah mau ngaku kalau dia kesulitan. Havis tahu, di balik wajah seriusnya, Desi adalah gadis yang polos dan sedikit keras kepala.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbaXvIYfkZx

Setelah beberapa menit dalam keheningan, Havis memutuskan untuk memecah suasana. "Eh, lo tahu nggak, kenapa ikan nggak pernah kuliah?" tanyanya tiba-tiba.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7NF6WeGji2

Desi menghentikan jarinya yang mengetik. Ia menatap Havis dengan alis terangkat. "Apa sih? Jangan mulai lelucon receh lo lagi."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwQITC4bSaP

"Tahu nggak?" Havis mengulangi pertanyaannya sambil menahan senyum.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVJ9Ohenjiu

Desi menghela napas panjang. "Oke, kenapa?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxo7hQV3bcg

"Karena mereka udah sekolah di kolam."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5rZrDroTbP

Desi meletakkan kepalanya di meja sambil tertawa. "Astaga, Vis, lo kenapa sih? Gue lagi serius!" Tapi tawanya nggak bisa dia tahan. Dia selalu kalah kalau Havis mulai ngelempar lelucon receh kayak gitu.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1HnYiQFYJ6

Mereka terus tertawa sampai petugas perpustakaan menegur mereka untuk tenang. Dan saat itu, Havis sadar, ada sesuatu yang berbeda di cara Desi tertawa. Sesuatu yang bikin hati Havis merasa hangat.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡA6iZUSGMWG

Hari-hari seperti itu terus berulang. Dari tugas kuliah, nonton film di kosan sambil makan mie instan, sampai ngobrol panjang tentang mimpi mereka di masa depan. Desi selalu bilang, "Vis, gue mau kita sukses bareng-bareng. Tapi lo harus janji, nggak boleh ninggalin gue."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJNYmVrTNvc

"Siapa yang mau ninggalin lo?" jawab Havis waktu itu. "Lo udah kayak setengah nyawa gue."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5n2AWQSXnU

Tapi siapa yang tahu kalau janji sederhana itu kelak akan diuji oleh waktu?

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRmnIbdAKgy

Bab 2: Langit yang Mulai Mendung

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQKEwipxt3d

Hubungan mereka berjalan seperti mimpi yang indah. Setiap momen terasa ringan, setiap tawa terasa tulus. Havis dan Desi seperti dua sisi koin yang saling melengkapi. Tapi seperti langit cerah yang tiba-tiba tertutup mendung, kebahagiaan itu mulai diuji.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡD5w7Iw1eJk

Semua berawal ketika Havis memberanikan diri datang ke rumah Desi. Hari itu dia membawa keberanian besar di dadanya, bersama sebuah niat: berbicara dengan ayah Desi. Setelah dua tahun kuliah, Havis merasa waktunya tepat untuk menunjukkan keseriusannya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8ku6JplNZz

Desi sudah memperingatkan sebelumnya. "Ayah gue agak keras, Vis. Tapi lo jangan takut. Lo kan niatnya baik."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡV9S7eJhepM

Havis hanya tersenyum. "Gue cuma mau dia tahu kalau gue nggak main-main sama lo, Des."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgxtLXua0zm

Di depan rumah Desi, Havis berdiri dengan sedikit gugup. Ayah Desi membukakan pintu, wajahnya dingin, matanya menatap Havis seperti sedang menilai.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWKiAEjsVwe

"Silakan masuk," katanya singkat.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtgVfcZQHyH

Havis masuk, duduk di ruang tamu yang sederhana tapi nyaman. Ayah Desi duduk di depannya, dengan sikap yang tegas. Havis menghela napas dalam sebelum mulai berbicara.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw7dML3jdNQ

"Pak, saya ke sini untuk ngomong sesuatu yang penting. Saya serius sama Desi, dan saya pengen di masa depan, kalau udah ada waktunya, saya bisa menikahi dia."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7PyhFeJpeo

Kalimat itu keluar dengan lancar, tapi hati Havis berdegup kencang. Ayah Desi menatapnya lama, seperti sedang mencari sesuatu di balik kata-katanya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtpayd0Oq7b

"Akhiri hubungan kalian," jawab sang ayah tiba-tiba.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLnMrDZEzgf

Havis terdiam. Kata-kata itu seperti palu yang menghantam dadanya. "Tapi kenapa, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnH3Bc2aSas

"Bukan urusanmu," jawab sang ayah. "Aku cuma bilang, akhiri semuanya."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIg5BQcamF4

Hari itu, Havis pulang dengan hati yang remuk. Dia nggak tahu apa yang salah. Desi menyusulnya di jalan, mencoba menjelaskan sambil menangis.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVRTpOhBqXg

"Aku nggak ngerti kenapa Ayah kayak gini," katanya di sela isakannya. "Tapi aku juga nggak mau kita berhenti, Vis. Aku nggak sanggup."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJZyjm591Yy

Havis hanya bisa memeluk Desi, mencoba menenangkannya meskipun di hatinya sendiri penuh dengan kebingungan. Dia tahu mereka nggak bisa menyerah semudah itu. Tapi bagaimana cara melawan sesuatu yang bahkan nggak mereka pahami?

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5WlH8BU1oU

Hari-hari setelah itu berjalan berat. Mereka tetap bersama, tapi bayangan ketidaksetujuan sang ayah terus membayangi. Intensitas pertemuan mereka perlahan menurun. Kegiatan kuliah dan pekerjaan Havis makin menyita waktu mereka, dan komunikasi yang dulu penuh tawa mulai tergantikan dengan percakapan singkat di BBM.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyIm69UBPI5

Havis berusaha bertahan, tapi di dalam hatinya dia tahu, mereka sedang berjalan di atas tali yang sangat rapuh.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoQMPQuNoYU

Bab 3: Ketika Waktu Mulai Menjauhkan

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkXTt1jsSuj

Hubungan Havis dan Desi masih bertahan setelah penolakan ayah Desi. Tapi keduanya tahu, ada sesuatu yang berubah. Ketegangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang makin lama makin tebal di antara mereka.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡcZ7dMNOpkW

Hari-hari yang dulu penuh tawa kini terasa lebih sunyi. Tugas kuliah, pekerjaan, dan rutinitas mereka masing-masing mulai mengambil alih waktu yang dulu mereka habiskan bersama. Intensitas pertemuan menurun drastis. Mereka masih saling BBM, tapi obrolannya nggak lagi sepanjang dulu. Kadang hanya pertanyaan standar: “Udah makan?” atau “Tugas lo udah selesai?”

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrRCbSohTk6

Havis berusaha untuk tetap seperti biasa. Dia mencoba bikin obrolan tetap hidup, mengirim lelucon receh seperti dulu, tapi respon Desi seringkali cuma pendek. Bukan karena dia nggak peduli, tapi karena dia sendiri terlihat kelelahan oleh situasi.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpKtzX0iTmv

Suatu sore, Havis memutuskan untuk berkunjung ke rumah Desi tanpa memberi tahu. Dia rindu momen-momen mereka dulu, saat semuanya terasa ringan. Tapi yang menyambutnya bukan Desi, melainkan ayahnya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0gj2thVErO

"Ada apa lagi kamu ke sini?" suara ayah Desi tegas, dingin, seperti palu yang memukul hati Havis.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwise5txNXc

"Saya cuma mau ketemu Desi, Pak. Nggak lebih," jawab Havis dengan suara yang mencoba tetap tenang.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPTwxqe4rrO

Ayah Desi memandang Havis lama, lalu menggeleng. "Kamu nggak perlu terus datang. Saya sudah bilang, akhiri semuanya."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrwoD3bbwjw

Havis tidak membalas. Dia hanya menunduk, berbalik, dan melangkah pergi. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Desi yang baru pulang dari tempat les.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpKb6THZBxC

"Vis, kamu ngapain ke sini?" tanya Desi, terlihat terkejut tapi juga bingung.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlwRdOhYEjA

"Rindu," jawab Havis singkat, senyumnya tipis. "Tapi kayaknya gue nggak boleh ke sini lagi."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ20gWP40gkh

Desi menatapnya, dan untuk pertama kalinya Havis melihat rasa bersalah di wajah Desi. "Maaf, Vis. Aku beneran nggak tahu harus gimana," katanya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbkzhZ2vA2i

Havis hanya mengangguk, menahan semua rasa kecewa di dadanya. "Gue cuma pengen lo tahu kalau gue masih ada di sini," katanya sebelum pergi.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQynN34bM7j

Setelah itu, hubungan mereka benar-benar mulai terasa berbeda. Bukan hanya waktu yang makin terbatas, tapi juga energi untuk mempertahankan semuanya. Malam-malam mereka yang dulu penuh cerita kini berganti dengan jeda panjang.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡh2BMR63XyE

Sampai suatu malam, Havis mengumpulkan keberanian untuk bertanya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡn9FjCvyjhF

"Des," katanya lewat BBM, "kita masih kayak dulu nggak sih?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ26vNK0wR0u

Butuh beberapa menit sebelum Desi membalas. "Maksud kamu apa, Vis?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGgxUAxa4GX

"Lo nggak ngerasa kalau kita makin jauh? Gue ngerasa kayak ada yang hilang dari kita."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIRPLhKZg7H

Pesan itu diikuti oleh keheningan yang panjang. Desi akhirnya membalas, "Aku juga ngerasa gitu, Vis. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku capek sama semuanya."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡO5EHRr2C1v

Havis terdiam lama membaca pesan itu. Kata-kata Desi menusuk hatinya. Bukan karena dia marah, tapi karena dia tahu Desi juga merasa sama rapuhnya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdD7Lq7qkOm

"Kalau lo capek, apa artinya gue di hidup lo sekarang?" tanya Havis akhirnya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGYRlgnX61W

Desi hanya menjawab, "Aku nggak tahu."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡavGtAFFg8p

Dan seperti itu, semuanya perlahan memudar. Hari demi hari berlalu tanpa pesan, tanpa pertemuan. Sampai akhirnya, tanpa ada kata resmi, hubungan mereka benar-benar berhenti.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ9OXna7YDF9

Setahun kemudian, saat rasa rindu mengalahkan egonya, Havis mencoba mencari Desi lagi. Dia bertanya ke teman-teman lama mereka, mencoba menemukan cara untuk menghubungi Desi. Tapi yang dia temukan justru sebuah fakta yang menghancurkannya lebih dalam.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFYYVHH74ZG

Desi sudah bersama orang lain.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡbmNNK56H1D

Foto mereka bersama terlihat di media sosial, dengan caption penuh kebahagiaan. Havis hanya bisa menatap layar ponselnya dengan senyum pahit. Dia nggak marah, nggak juga iri. Tapi ada rasa perih yang nggak bisa dia jelaskan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVek54RnXrW

Dia menutup ponselnya, menarik napas panjang, dan berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin sekarang, gue yang harus belajar pergi."

Bab 4: Kembali ke Arah yang Tak Terduga

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡglCxNYNnED

Tiga tahun setelah perpisahan yang perlahan, nama Desi Wulandari kembali muncul di layar ponsel Havis. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak pernah lagi dia lihat.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡp0v3EqMMki

"Vis, boleh ngobrol?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGUcDEp124L

Havis menatap layar itu lama. Ada rasa ragu bercampur penasaran. Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua yang berlalu? Tapi akhirnya, jarinya bergerak untuk membalas.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0WbwR2SbTl

"Tentu, Des. Ada apa?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3LSDdkvnRz

Jawaban dari Desi tidak langsung datang. Beberapa menit berlalu, lalu akhirnya muncul.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQNpf9szvx0

"Aku butuh tempat cerita. Hidup aku lagi berantakan, Vis."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQwkL0ubgVr

Havis tahu dia seharusnya berhati-hati. Tapi rasa peduli yang dulu ada—dan mungkin masih ada—membuatnya setuju untuk mendengar. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang cukup jauh dari keramaian.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAgaepOHQZU

Saat Desi muncul, Havis hampir tak mengenali sosoknya. Wajahnya tampak lebih dewasa, tapi matanya yang dulu bersinar penuh semangat kini terlihat lelah. Rambutnya tergerai rapi, tapi ekspresinya seperti menyimpan beban yang berat. Dia tersenyum tipis saat melihat Havis.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeMWdhSSy7d

"Vis," katanya pelan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCiTSaXcflj

"Des," jawab Havis singkat, mencoba menahan gelombang emosi yang datang tiba-tiba.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡF6yMLD5VeO

Mereka duduk berhadapan. Desi memesan teh hangat, sementara Havis hanya memilih air putih. Suasana canggung mengisi udara di antara mereka sampai akhirnya Desi mulai bercerita.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVMJGLH9ntI

"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya, menatap cangkir tehnya yang masih penuh. "Hidup aku nggak berjalan seperti yang aku kira."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiZCFd72JzR

Havis mengangguk pelan, memberi ruang untuk Desi melanjutkan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvXSQ7xAj1a

"Pernikahan aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba menahan air matanya. "Aku nggak bahagia, Vis."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6AxzEZDVTR

Havis terdiam. Dia tahu cerita ini tidak akan mudah didengar. "Apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWOGVPPbnxu

Desi menghela napas panjang. "Suamiku... dia ditangkap karena kasus narkoba. Semua orang tahu, Vis. Keluarga aku hancur, anak aku jadi korban."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡAa9aCXEMmC

Kalimat itu seperti pisau yang menusuk hati Havis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengar saat Desi melanjutkan ceritanya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡm22ehCeErp

"Aku ngerasa sendiri, Vis. Aku nggak tahu harus gimana. Aku ngerasa... semua ini nggak akan terjadi kalau dulu aku nggak ninggalin kamu."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡVuSTTUmWik

Havis menatap Desi dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa maksud kamu?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjvdqHgadrp

Desi menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kalau aku tetap sama kamu, hidup aku nggak akan seberantakan ini. Kamu selalu tahu cara buat aku bahagia. Tapi aku malah pilih jalan yang salah."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZF0itJ0z3S

Kata-kata Desi membuat Havis terdiam. Ada rasa pedih mendengar dirinya disalahkan secara tidak langsung, tapi di sisi lain, dia juga merasakan kesedihan Desi.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdugGlpU8uL

"Des, gue nggak tahu apa yang harus gue bilang," kata Havis akhirnya. "Tapi hidup lo adalah pilihan lo. Lo nggak bisa terus nyalahin diri lo atau orang lain."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJrOU7r9e4o

Desi menatap Havis lama, seperti mencoba mencari jawaban di matanya. "Kamu masih sayang sama aku, Vis?" tanyanya pelan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyqJDdm1JWl

Havis tertegun. Pertanyaan itu membuat dadanya sesak. "Des, ini bukan soal gue masih sayang atau nggak. Ini soal lo. Gue cuma pengen lo bisa berdiri lagi, buat lo sendiri, buat anak lo."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡA2reJTGp2n

Desi terisak, menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Havis ingin mengulurkan tangan, ingin meyakinkannya bahwa dia nggak sendirian. Tapi dia tahu, ini bukan momen untuk membicarakan perasaan masa lalu.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPpWKsoePY6

Hari itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berbicara tentang masa lalu, tentang penyesalan, tentang semua hal yang tak bisa mereka ubah. Havis mencoba memberikan dukungan semampunya, tapi di dalam hatinya, dia tahu: cerita ini belum selesai.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLmxfKfHeBk

Saat Desi akhirnya pulang, Havis duduk sendirian di kafe itu, memandang cangkir kopi yang kosong. Dia menarik napas panjang, mencoba meresapi semua yang baru saja terjadi.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3qv0muotxe

"Kenapa harus gue lagi?" pikirnya pelan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxo9qxRJ9Qj

Bab 5: Beban yang Tak Pernah Diminta

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrAIdwXvuBd

Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan rasa campur aduk di hati Havis. Desi mulai sering menghubunginya, lebih sering daripada yang dia duga. Awalnya hanya pesan singkat seperti, "Apa kabar?" atau "Gimana kerjaan lo, Vis?" Tapi perlahan, obrolan mereka berubah jadi percakapan panjang tentang kehidupannya yang penuh luka.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ0yBy4dA3z8

Desi sering bercerita tentang suaminya yang kini di penjara, tentang perjuangannya membesarkan anak sendirian, dan tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Havis mendengar semuanya dengan sabar, mencoba menjadi tempat dia bersandar, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini adalah beban yang berat.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRiKhtd7yal

Suatu malam, Desi menelepon Havis. Suaranya terdengar serak, seperti habis menangis lama.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIIg5XpSPZz

"Vis, aku nggak tahu harus gimana lagi," katanya pelan. "Aku capek banget. Kadang aku mikir, apa hidup aku bakal lebih baik kalau dulu aku tetep sama kamu."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSZ37PqIwi4

Kata-kata itu membuat Havis terdiam. Dia menatap langit-langit kamarnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdmpS0mEf8W

"Des," katanya akhirnya, "hidup lo sekarang memang berat. Tapi lo nggak bisa terus nyalahin masa lalu buat semua ini. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kita tetap bareng. Yang jelas, sekarang yang penting adalah lo fokus buat bangkit."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiLrw57280X

Desi terisak di telepon. "Tapi aku ngerasa gagal, Vis. Aku bahkan nggak bisa jadi ibu yang baik buat anak aku."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRrACROm5dL

Havis menghela napas panjang. "Lo nggak gagal, Des. Lo cuma lagi diuji. Anak lo butuh lo, dan gue yakin lo lebih kuat dari yang lo pikir."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSVwZMqnyRs

Malam itu, mereka berbicara selama hampir dua jam. Havis mencoba menyemangati Desi, meskipun di dalam dirinya, ada rasa frustrasi yang mulai tumbuh. Dia peduli pada Desi, tapi dia juga tahu, dia nggak bisa terus menjadi sandaran tanpa batas.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoMHKc5on69

Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Desi mulai membuka luka-luka yang lebih dalam, termasuk rasa penyesalannya yang mendalam karena memilih suaminya daripada Havis.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMIb5XQ5xtN

"Aku tahu aku nggak bisa balik ke masa lalu," kata Desi di suatu malam. "Tapi aku bener-bener ngerasa kehilangan kamu, Vis. Kamu satu-satunya orang yang selalu ngerti aku."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡhS9G6vjQUX

Havis menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Di satu sisi, dia merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ada rasa marah yang tak bisa dia jelaskan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUVNeyOR0aP

"Kalau gue satu-satunya yang ngerti lo, kenapa lo ninggalin gue dulu?" pikir Havis dalam hati. Tapi dia nggak pernah mengucapkannya. Dia tahu, kata-kata itu nggak akan membawa mereka ke mana-mana.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡB7qRhrLGpP

Hingga suatu hari, Desi menelepon Havis dengan nada yang lebih serius dari biasanya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡu1CHIu2K2x

"Vis, aku mau coba rujuk sama suami aku," katanya tanpa basa-basi.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡy7sS1TVwoQ

Kata-kata itu menghantam Havis seperti ombak besar. Dia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Rujuk? Lo yakin itu yang terbaik buat lo, Des?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLofe3rZ1zG

Desi menghela napas. "Aku nggak yakin. Tapi aku nggak mau anak aku kehilangan ayahnya. Kalau masih ada sedikit harapan, aku mau coba."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5LX8gTxOXR

Havis hanya bisa mengangguk pelan, meskipun Desi nggak bisa melihatnya. "Kalau itu keputusan lo, gue cuma bisa doain yang terbaik. Tapi lo juga harus siap sama konsekuensinya, Des."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡoo7VBWLIoA

Setelah telepon itu berakhir, Havis duduk diam di kamarnya. Ada rasa lega, tapi juga luka. Dia tahu, hubungannya dengan Desi nggak akan pernah kembali seperti dulu.

Bab 6: Melepaskan yang Tak Pernah Mudah

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡITIHOpTfgg

Setelah Desi memutuskan untuk mencoba rujuk dengan suaminya, Havis tahu waktunya untuk benar-benar melangkah mundur. Meski dia tidak pernah mengucapkannya, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Seolah-olah semua usahanya untuk ada di samping Desi selama ini hanya menjadi bayangan yang akan perlahan menghilang.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5PqznWloAv

Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Desi tidak lagi sering menghubungi, dan Havis pun mencoba untuk tidak memulai percakapan. Bukan karena dia tidak peduli, tapi karena dia tahu, semakin dia terlibat, semakin sulit baginya untuk melepaskan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQoOuHFY9hP

Namun, dalam diamnya, ada malam-malam panjang yang penuh dengan pertanyaan. Apa dia sudah melakukan hal yang benar? Apa Desi akan benar-benar bahagia dengan keputusannya? Atau justru, dia akan kembali terluka?

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡi3vggiPsYa

Havis mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Setiap hari, dia menyibukkan diri dengan rutinitas yang melelahkan, berharap rasa hampa itu bisa tertutup oleh kesibukan. Tapi nyatanya, saat malam datang dan semuanya sunyi, pikirannya kembali ke satu nama: Desi.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ06QQ21Y9vq

Suatu malam, Havis duduk di balkon rumahnya sambil memandang langit yang penuh bintang. Secangkir kopi hitam dingin di tangannya, dan gitar akustik tergeletak di sampingnya. Dia memetik gitar pelan, mencoba merangkai melodi yang mewakili apa yang dia rasakan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ82Wa85WaJD

"Mungkin kita terlalu percaya pada cinta yang tak sempurna.

Mungkin kita hanyalah dua hati yang terjebak dalam waktu yang salah."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQHt5Ma1d5a

Kata-kata itu keluar begitu saja, mengikuti petikan gitarnya. Havis tahu, dia tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan masa lalu. Dia harus mulai menerima bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali seperti dulu.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKERA7ZzH77

Waktu berlalu, dan Havis perlahan mulai menemukan ritme hidupnya lagi. Dia bertemu orang-orang baru, menjalani hari-harinya tanpa ekspektasi. Tapi di sudut hatinya, ada doa kecil yang selalu dia panjatkan setiap kali nama Desi melintas di pikirannya:

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLfbQ0vwKOl

"Semoga lo bahagia, Des, di mana pun lo berada. Meskipun gue bukan lagi bagian dari cerita lo."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMHen5Ml1EY

Suatu hari, Havis menemukan keberanian untuk menghapus pesan-pesan lama dari Desi di ponselnya. Itu adalah langkah kecil, tapi bagi Havis, itu adalah simbol bahwa dia siap untuk benar-benar melepaskan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHLd1uk1GIB

Namun, meskipun dia berusaha melupakan, kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Seperti melodi yang pernah dia mainkan di gitar, kenangan tentang Desi akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYKLB46GlhB

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Havis merasa damai.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIX0McQb69B

Bab 7: Menemukan Jalan yang Baru

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡz2phJ8WCKz

Waktu terus berjalan. Havis sudah tidak lagi memandangi ponselnya, menunggu pesan dari Desi. Tidak ada lagi rasa cemas atau harapan samar yang pernah mengisi hari-harinya. Sebaliknya, dia mulai menemukan kebahagiaan sederhana dalam hidupnya—dari pekerjaannya, musik yang dia mainkan, hingga pertemuan singkat dengan teman-teman lama.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡN7aA7t0KZM

Namun, sesekali, bayangan tentang Desi masih muncul. Bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan yang membawa pelajaran. Havis tahu, dia tidak akan pernah benar-benar melupakan Desi, tapi dia juga tidak ingin terus hidup di masa lalu.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡPOUxqnwrbr

Suatu sore, Havis sedang duduk di taman dekat rumahnya, memetik gitar sambil menikmati udara segar. Dia memainkan lagu-lagu favoritnya, sampai tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡM7VYgPh52Z

"Om, boleh aku dengerin?" tanya anak itu polos.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuZhvZXJfX9

Havis tersenyum dan mengangguk. "Tentu. Kamu suka musik, ya?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtk429tvfiv

Anak itu mengangguk antusias. "Iya! Mama juga suka dengerin lagu."

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡZVDptYWRkB

Sambil memainkan gitar, Havis bertanya, "Mama kamu di mana?"

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡNS5NiPkBCK

Anak itu menunjuk seorang wanita yang berdiri tidak jauh, memperhatikan mereka dengan senyum lembut. Wanita itu melambaikan tangan, dan Havis membalasnya dengan anggukan kecil.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ46q7PlfrfN

Ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan singkat itu. Wanita itu terlihat ramah, dengan aura yang menenangkan. Setelah beberapa menit, dia mendekati Havis sambil memanggil anaknya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡw08VxXiE9S

"Maaf, anak saya ganggu, ya," katanya sambil tersenyum.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXzHVww698T

"Nggak apa-apa," jawab Havis, mencoba tetap santai.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQXyDNnw2QY

Wanita itu memperkenalkan dirinya. Namanya Nadya. Percakapan mereka dimulai dari hal-hal ringan, tentang musik, taman, hingga cerita kecil tentang anaknya. Dalam waktu singkat, Havis merasa ada sesuatu yang hangat dalam cara Nadya berbicara—sederhana, tapi tulus.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡxWFfz9XUbf

Hari itu berakhir dengan pertukaran nomor telepon, sesuatu yang tidak pernah Havis duga akan terjadi. Tapi dia tidak ingin terburu-buru. Dia tahu, semua hal butuh waktu.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjMZL74vImO

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡEwj876OEaj

---

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡLEk8uNi3t3

Epilog: Melodi yang Tak Pernah Hilang

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgXgRGoQJyO

Beberapa bulan berlalu, dan hidup Havis perlahan berubah. Pertemuannya dengan Nadya membawa warna baru dalam hidupnya. Mereka tidak langsung menjadi dekat, tapi setiap percakapan dan pertemuan kecil membangun rasa yang baru.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ2EYGffxi1W

Di malam yang tenang, Havis duduk di kamarnya, memetik gitar sambil merenungkan perjalanan hidupnya. Dia menyadari, hidupnya penuh dengan melodi—beberapa lembut, beberapa keras, tapi semuanya adalah bagian dari cerita yang membentuk dirinya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkyBVkDhROe

Desi akan selalu menjadi bagian dari lagu itu, sebuah bait yang pernah mengisi hatinya. Tapi sekarang, dia siap untuk melanjutkan ke refrain yang baru, dengan nada-nada yang belum pernah dia mainkan sebelumnya.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWWEwwdAneo

Dan untuk pertama kalinya, dia tidak hanya merasa damai, tapi juga merasa benar-benar siap untuk melangkah ke depan.

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDTFtUm4TZ6

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfN4BQ8KAFW

233Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkA3nZp3aC4

ns216.73.216.224da2

介面主題:

字體大小:

行距:

段距:

自動加載下一章