/story/99121/diijo-juo-parang-pidari/toc
Diijo Juo Parang Pidari | Penana
arrow_back
Diijo Juo Parang Pidari
more_vert share bookmark_border file_download
info_outline
format_color_text
toc
exposure_plus_1
Search stories, writers or societies
Continue ReadingClear All
What Others Are ReadingRefresh
X
Never miss what's happening on Penana!
G
Diijo Juo Parang Pidari
ardina jesica
Intro Table of Contents Comments (0)

Minggu, 10 April 2022

Suatu ketika, 3 anak serangkai membuat janji temu untuk pergi ke perpustakaan nasional bersama-sama. Mereka adalah Imelda, seorang gadis dengan sifat tomboy nya; Pedro penyuka hal fantasi dengan imajinasi yang dimilikinya, ia bisa membuat sebuah praktek bahan kimia; dan terakhir Hector, penyuka seni, hari-harinya dipenuhi dengan berbagai kesenian. 

Saat itu mereka sedang kebingungan mencari buku seperti apa yang akan mereka pinjam. Ketiganya memutuskan untuk berpencar.

“Brukkk, Aduh!!!” Imelda mengaduh.

Imelda ditabrak hingga jatuh oleh sosok lelaki berpakaian serba hitam dengan penutup muka layaknya seorang buronan pada masa penjajahan. Lelaki tersebut sekilas memberikan isyarat dengan tatapan yang tajam. Imelda hanya terdiam dan tidak memahami apa maksud dari lelaki itu.

Dikarenakan suara badan jatuh Imelda yang cukup keras membuat semua orang termasuk Pedro dan Hector pergi mencari sumber suara itu. Pedro dan Hector sesegera mungkin menolong Imelda yang masih terduduk di lantai. Sedangkan lelaki tersebut menghilang sekejap entah kemana perginya.

"Imelda, are you okay? " tanya Hector sambil membantu Imelda berdiri.

"I am okay" balas Imelda.

Pedro melihat buku yang terlihat tua dan lusuh tergeletak di dekat Imelda. Setelah itu ia penasaran dan mengambilnya.

https://images.freeimages.com/images/large-previews/fc8/very-old-books-1310025.jpg

"Ini buku siapa?" tanya Pedro.

"Nggak tau nih" jawab Imelda sambil berpikir siapa pemilik buku itu.

"Bisa saja buku itu milik lelaki tadi yang menabrakku" batin Imelda.

"Wah, buku apa itu? Cover buku ini memang sudah tua dan terlihat lusuh, tapi bagiku buku ini memiliki nilai seni yang membuatku penasaran akan hal didalamnya" kata Hector.

"Aku pun merasakan hal yang sama, Hector" sahut Imelda.

"Kalau begitu kita pinjam saja buku ini" kata Pedro dengan santai.

Akhirnya mereka meminjam buku itu dan membawanya ke rumah pohon milik mereka bertiga. Sesampainya disana mereka tidak sabar untuk mengetahui isi buku misterius itu.

"Damn! Kenapa buku ini nggak bisa dibuka?" kata Hector yang mencoba membuka buku tersebut.

"Coba sini aku yang buka" sahut Imelda.

Akan tetapi, Imelda juga tidak bisa membuka buku misterius itu. Kemudian Pedro mengambil buku itu dari tangan Imelda dan mencoba mengamati sekeliling buku tersebut.

"Eh, tulisan apa ini?" tanya Pedro sembari mengusap bagian samping buku tersebut.

"Al-kisah Pa-rang Di-i-jo Ju-o Pi-da-ri"  baca Pedro terbata-bata.

"Hah? kamu baca apa Pedro? yang jelas dong bacanya" kata Imelda. 

"Lihat ada tulisan disini! aku rasa ini judul bukunya" jelas Pedro.

Mereka bertiga saling mengamati tulisan tersebut, sontak mereka membaca tulisan itu bersamaan.

"Alkisah Parang Diijo Juo Pidari!"

"SRTSRTSRT"

Seketika buku itu bergetar dan membuat Pedro menjatuhkan buku itu ke lantai.

"BUGGH''

Kemudian buku itu terbuka dengan cepat hingga terbuka pada halaman yang berisi penuh tulisan latin. Seketika cahaya kuning terpancar dari buku tersebut.

http://medlib.lviv.pro/wp-content/uploads/2018/05/davnya-kniga.jpg

"Look!  cahaya apa ini? this is beautiful!" kata Hector.

Tiba-tiba, terdapat magnet yang membuat mereka bertiga tertarik masuk ke dalam buku tersebut.

"WUSSH"

Setelah mereka bertiga masuk, buku itu tertutup kembali.

Sumatera Barat, Tahoen 1803

''WUSSH"

"CLING"

Imelda, Hector, dan Pedro terdampar di suatu tempat yang sangat asing bagi mereka. 

"Kita ada dimana?" tanya Imelda

"Aku juga tidak tahu" jawab Hector

"Oh, disana sepertinya ada orang, ayo kita kesana, mungkin kita bisa bertanya pada mereka" sahut Pedro sambil menunjuk ke arah kerumunan orang.

https://i0.wp.com/langgam.id/wp-content/uploads/2019/09/Lapau-Tempo-Dulu.jpeg?fit=1280%2C789&ssl=1

"Permisi, apakah Anda bisa membantu kami? sepertinya kami tersesat" tanya Imelda pada bapak-bapak yang sedang melakukan perjamuan.

"Eh, kenapa bapak-bapak itu tidak menjawab. Mengapa mereka seolah-olah tidak menyadari keberadaan kita?" tanya Hector

"Permisi Pak, apakah kau bisa mendengar kami?" tanya Pedro pada bapak-bapak sambil menepuk bahu bapak itu. Tetapi tangan Pedro justru menembus bahu bapak itu.

"Waaw, sepertinya kita tembus pandang" sahut Imelda

"Iya, mereka tidak bisa melihat kita" sambung Hector

Tidak lama kemudian, sekelompok orang berjubah putih datang dan bergabung dalam perjamuan tersebut. Mereka adalah kelompok Harimau nan Salapan. Kemudian mereka memulai percakapan yang cukup serius.

"Disini, kami berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum sepenuhnya dijalankan. Tinggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman keras. Karena sebagian dari kalian sudah memeluk agama Islam." ucap salah satu anggota kelompok Harimau nan Salapan.

Tampaknya, perkataan tersebut membuat lawan bicaranya, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah tidak terima. Dan dalam pembicaraan initidak terdapat kesepakatan antara dua pihak, Kaum Padri yang dipimpin oleh Harimau nan Salapan dan Kaum Adat yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah.

Kaum Padri atau kelompok agamis terpaksa menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan itu sekaligus dengan misi melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Peperangan antar saudara di ranah Minang pun tak terelakkan. Seorang tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyang. Perang ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana.

Sumatera Barat, Kerajaan Pagaruyung, Tahoen 1815

"WUSSH"

Setelah mendengar percakapan antara Kaum Adat dengan Kaum Padri, Imelda, Hector, dan Pedro menghilang dan berada di tahun 1815.

"Sepertinya kita berada di masa lalu, ketika Perang Padri terjadi. Perang Padri merupakan perang saudara antara Kaum Padri dan Kaum Adat yang kemudian terjadi campur tangan Belanda." ucap Pedro

"Kamu benar Pedro, sepertinya kita terpilih menjadi orang yang dapat mengetahui sekilas kronologi Perang Padri"

"SERANG!!!"

"SRINGG-SRINGG-SRINGG"

"ARGHHH"

Terdengar suara pedang bersahut-sahutan.

Golongan Padri yang digalang Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat. Beberapa tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan di antaranya adalah Tuanku Nan Receh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun.

Lantaran semakin terdesak, orang-orang dari golongan Adat kemudian meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu menjajah wilayah Nusantara, termasuk Minangkabau.


Sumatera Barat, November 1825

Belanda mengajukan gencatan senjata sembari meracik strategi licik berupa Perjanjian Masang. Belanda saat itu sedang kewalahan dan kehilangan banyak sumber daya untuk membiayai beberapa perang lain, termasuk perang melawan Pangeran Diponegoro di Jawa.

Saat masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang notabene adalah salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah Belanda.

Kesepakatan damai diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, dan dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato". Hasilnya adalah meghasilkan perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.

Sumatera Barat, Tahun 1833-1838

Terjadi perubahan perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda. Kaum Adat menyadari Belanda merugikan masyarakat Minangkabau sendiri. Perang Padri semula merupakan perang saudara kemudian berubah menjadi perang kolonial karena kaum Adat dan kaum Padri bersatu menghadapi Belanda.

Menyadari hal tersebut, Belanda mengatur siasat kembali. Belanda berdalih bahwa kedatangan mereka hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan dengan rakyat Minangkabau.

Lagi-lagi, Belanda menerapkan siasat licik yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di sana. Perang kembali berkobar.

Kali ini Belanda lebih unggul dan berhasil menembus pertahanan terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai.

Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat pergi ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan Minangkabau pun melemah dan Belanda pun berkuasa setelah memenangkan perang. Peperangan ini menghabiskan banyak pertumpahan darah. 

Tiba-tiba datanglah sosok laki-laki yang sedang menunggangi kudanya, sosok lelaki tersebut berpakaian hitam sama persis seperti laki-laki yang menabrak Imelda di Perpustakaan Nasional. 

Lelaki tersebut kemudian melemparkan penutup mukanya ke atas. Seketika muncul seberkas cahaya yang dapat menarik Imelda, Pedro, dan Hector untuk kembali ke masa depan. 

Senin, 11 April 2022

Pagi hari, mentari mulai menyinari diselingi suara kokok ayam yang mengawali suasana. Tanpa disadari ketiga anak tersebut sudah berada di rumah mereka masing-masing. 

"Ini seperti khayalan... hffft." ucap Imelda lirih

Kejadian ini mengingatkan Imelda, Hector, dan Pedro tentang betapa pentingnya menghormati jasa para pahlawan yang telah berjuang mempertahankan tanah air Indonesia.

https://mmc.tirto.id/image/otf/1024x535/2017/02/26/fgvegwerg.jpg


Show Comments
BOOKMARK
Total Reading Time: 12 minutes
toc Table of Contents
No tags yet.
bookmark_border Bookmark Start Reading >
×


Reset to default

X
×
×

Install this webapp for easier offline reading: tap and then Add to home screen.