TENG303Please respect copyright.PENANAxavhMamnZq
303Please respect copyright.PENANA5BDjFa6PrV
TENG303Please respect copyright.PENANAs1iTV4z543
303Please respect copyright.PENANAfe3DiUC3w5
TENG
Dentang lonceng tua nan berdebu kala jarum jam menunjuk angka 12.303Please respect copyright.PENANAGMyEZPyUPs
303Please respect copyright.PENANApDEcpsHvWC
Tahun baru tiba. Meja emas di antara dua orang yang satu berambut putih dan yang lain kisaran umur kepala 4 menjadi saksi bisu dibacakannya pronostica, petuah Sir Zein yang setiap tahunnya diberikan kepada pemimpin pulau kecil, Na’s Adras.
Sebuah pulau bahkan tidak ada yang tahu bentuknya kenampakan dari atas. Tanah subur yang menjadi kehidupan orang orang menyapa menyebut tempat tinggal mereka adalah Na's Island.
Empat mutiara mengelilinginya.
Mata air sukma di sebelah utara menjadi cermin masa emas.
Hutan rimba dengan pohon berbaris nan menari di selatan kunci kesuburan dan menjadi arti sejuk.
Pegunungan praja di timur menjulang tinggi nan gagah menantang mentari pagi ufuk.
Bukit hijau dandelion impian ber permadani rumput karana menjadi pintu terbenam surya.
Elemen elemen terlukiskan di pigura perak yang dipajang berjejer di tembok ruangan ini.
“Ariane. Jangan biarkan dia menikah. Keturunannya, akan membunuhmu” setelah diam cukup lama, kalimat itulah yang diucapkan Sir Zein.
Adras berfikir dalam diamnya. Jika Ariane putri semata wayangnya tidak punya buah kasih, siapa yang akan mewarisi Na’s Island ini waktu dirinya sudah tua nanti?
Akan tetapi, ego Adras merasukinya karena takut mati. Hatinya berkata tak tega apabila tidak bisa melihat masa keemasan Na’s Island di generasinya.
Na's Adras bukanlah raja. Para penduduk di Pulau memilihnya menjadi orang yang dianggap paling. Kepiawaiannya memecahkan masalah hingga kepandaiannya yang mencetuskan sistem demokrasi pulau menghasilkan otonomi yang menjadi peraturan bagi daerah otonom.
Selama kurang lebih 20 tahun, Na's Island selalu dalam kebahagiaan sampai sampai banyak orang yang mengkhawatirkan akan datang bagai besar atau langit mendung yang iri pada kedamaian pulau cantik ini.
***
Di depan cermin bersudut kanan mutiara bintang berbentuk bulan, seorang gadis cantik berkuku jari manis merah muda tengah menyisir rambut panjang gelapnya. Kulit putih bersihnya dan wajah merona merah muda kontras dengan warna kulit ayahnya yang sawo matang. Mungkin anak perempuan ini lebih memiliki kemiripan dengan ibundanya yang kini tenang di atas sana.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” suara lembut pelayan terdengar dari balik pintu. Gadis yang dipanggil Ariane itu menghentikan kegiatannya di meja rias dan beranjak untuk membukakan pintu kamarnya.
“Ada apa, Ayah?” tanya Ariane selepas membuka pintu berwarna putih itu.
“Kemasi barang barang mu. Mulai nanti malam, kau tidur dekat dengan bintang di langit” jawab Adras tak meninggalkan kesan wibawanya.
“Dimanakah itu, Ayah?” cicit Ariane takut merasa ada yang tidak beres.
“Menara” singkat Adras memberi kode tersirat pada Ariane untuk bergegas.
***
Ariane yang kini genap berusia 17 Tahun tak berani melawan hanya sekedar bertanya mengapa. Disinilah dirinya sekarang. Berdiri memandang langit malam yang enggan menghadirkan bintang.
“Na’s Ariane, saya membawa bunga terompet jingga yang engkau minta” suara bariton membuyarkan lamunan Ariane.
“Masuklah, Alex,” si empu yang dipanggil namanya langsung membuka pintu kamar menara Ariane.
“Ini Na’s Ariane” Alex memberikan bunga yang dibawanya ke Ariane dengan berjongkok.
“Kau tahu kenapa aku selalu meminta dibawakan bunga terompet jingga?”terima Ariane memandang layu bunga ditangannya.
“Tidak Na’s Ariane” jawab Alex sekenanya masih dalam posisi berjongkok dihadapan Ariane.
“Jangan formal padaku, Alex. Kau adalah temanku” bibir Ariane berdecak sebal dengan tingkah pengawal menara yang seumuran dengannya ini.
“Maafkan aku...A..ria..ne” Alex ragu terpatah ucapannya seraya berdiri dan memposisikan tubuhnya disamping Ariane.
“Jangan sering mengucap maaf. Dunia ini kejam” Ariane berbalik arah menghadap laki laki disebelahnya ini.
“Kau cantik malam ini, Ariane” Alex balas memandang Ariane lekat.303Please respect copyright.PENANAP5aDYCxfSU
303Please respect copyright.PENANAiSFnOKV2d3
Jarak mereka semakin dekat. Raut muka Ariane merona merah seperti apel. Deru nafas Alex menerpa wajah Ariane.
Keduanya menutup mata, seperti bulan yang kini tertutup awan. Malam itu adalah saksi yang mengundang petir untuk menyambar memberitakan bahwa ini buruk.
***
“Kenapa sudah 2 minggu ini perutku membuncit? Padahal aku tidak napsu makan” Ariane bertanya pada pantulan dirinya di cermin besar kamarnya.
“Apa benar kata Alex kalau ayah mengurungku di menara agar aku terus melajang? Tapi yang telah aku lakukan..” lirih Ariane berfikir keras meratapi nasibnya terpotong oleh pintu kamarnya yang terketuk.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” mendengarnya, Ariane panik dan berjalan kesana kemari.
“Masuklah, pintu tidak aku kunci” teriak Ariane seraya memposisikan tubuhnya di ranjang dengan berbalut selimut.
“Ariane, apa kau sakit?” sesaat setelah Adras masuk, dirinya langsung menghampiri Ariane yang terbaring dan mengarahkan tangannya di dahi putrinya ini untuk memeriksa suhu badannya.
“Aku tidak apa apa, Ayah” sangkal lembuh Ariane manatap ayahnya sambil tersenyum.
“Aku khawatir padamu. Aku akan pergi ke utara selama 7 bulan di otonom Bradia” raut mimik cemas terarah dari Adras ke anak satu satunya ini.
“Aku akan baik baik saja, Ayah” kembali Ariane mengukir senyum manisnya meyakinkan.
“Bila kau butuh apa apa, katakan pada Sir Aura” dengan menggenggam tangan mungil Ariane, Adras sebenarnya tidak tega meninggalkan putrinya.
Hanya anggukan yang dibalas Ariane bahwa dirinya nanti akan mengomukasikan segalanya pada Sir Aura perawat pribadinya sekaligus ibu dari Alex.
***
7 BULAN KEMUDIAN
“Sir Aura, aku mohon rahasiakan hal ini..” ucap pasrah Ariane yang wajahnya pucat pasi seraya terbaring lemah menahan rasa sakit.
“Saya sangat bodoh Na’s Ariane, tidak mengetahuinya dari awal. Harusnya nona tidak berjuang sendirian. Saya siap jika setelah ini penggal adalah hukuman pantas untuk saya.”
Ariane memang menyembunyikan bahwa dirinya berbadan dua. Hanya Alex yang sesekali datang untuk memberikan bunga terompet jingga. Rahasia menjadi milik mereka berdua sampai masa kelahiran tiba.
Malam ini.
Dengan terbaring lemah dalam menara yang tak terlihat indah, Ariane pasrah akan keadaan.303Please respect copyright.PENANAU39RAAaH4S
303Please respect copyright.PENANAcJaKo9zlN5
Dia merasa hal ini takdir. Walau ia tidak tahu ditujukan pada siapa.
“Selamatkan luke dan lucas” selepasnya, Ariane tidak sadarkan diri. Terpaksa Sir Aura menyayat rahim Ariane dan mengangkat bayi mungil yang kembar.
Tangisan dua bayi itu bersahutan. Untunglah mereka di menara, dengan cepat Sir Aura memotong tali pusar dua bayi laki laki itu dan memandikannya.
Diukir nama Luke di bahu kanan bayi yang keluar pertama dan Lucas di bahu kiri bayi satunya. Seraya menitikan air mata, Sir Aura membasuh wajah cantik Ariane tiga kali untuk menghormatinya yang sudah menyelesaikan urusannya di dunia yang fana ini.
“Na’s Ariane, Na’s Adras baru saja memasuki gerbang” suara yang dikenal Sir Aura menuntunnya untuk membuka pintu.
“Ibu kenapa menangis? Dimana Ariane?” Alex panik dan bergegas menerobos masuk hingga sampai di samping tempat tidur Ariane.
“Kau sebut nona siapa!? Tanpa Na’s? Bisa bisa nya kau menerobos masuk kamar gadis, anak durhaka!” Sir Aura marah terhadap sikap lancang putranya.
“Ariane...hanya tidur, kan?! Dia..dia..tidak mungkin..” Alex terduduk lesu dilantai.303Please respect copyright.PENANAV9qN2kK8nV
303Please respect copyright.PENANAONGhj0a1PR
Si bayi kembar kembali menangis.
“Luke... Lucas...” panggil Alex kepada si mungil yang menangis. Alex pun tak kuasa menahan tangis.
“Dari mana kau tahu nama mereka?!” ibu Alex semakin kacau benar benar tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini.
“Aku yang memberi nama mereka ketika Ariane bilang laki laki kembar” lirih Alex menjelaskan.
“Apa katamu?!” Sir Aura mendaratkan tamparannya di pipi anaknya.
“Jadi kau... Luke dan Lucas...?” suara tergagap akibat tangis Sir Aura yang semakin menjadi. Dirinya benar benar hancur.
“Maaf ibu, saya pasti bertanggung jawab” Alex berlutut dan meyakinkan ucapannya barusan.
Terdengar langkah kaki menaiki tangga menara.
“Cepat bawa mereka” ibu Alex menunjuk dua bayi yang dibedong kain sutera.
Tak pikir panjang Alex menggendong bayi bertudung kuning terlebih dahulu dan keluar menara lewat jendela. Sir Aura tak tinggal diam menyembunyikan bayi dengan tudung hijau di balik peti duduk berselimutkan selendang.
“Na’s Ariane, Na’s Adras ingin menemuimu” dari balik pintu terdengar suara. Hal itu tak diindahkan Sir Aura.
Di sisi lain, Adras curiga. Dirinya memerintahkan untuk mendobrak pintu di depannya ini.
BRAK!
“Apa yang terjadi di sini?!” murka Adras selepas pintu berhasil terbuka dan menampakan Sir Aura tengah menata selimut tempat Ariane tertidur untuk selama lamanya. Adras langsung menghampiri putri yang dirindukannya.
“Hukum saya, Na’s Adras” seketika itu, Sir Aura berlutut.
“Jelaskan! Sejelas jelasnya!!” tegas Adras memerintah.
“Hukum saya, Na’s Adras” Sir Aura menunduk dan bercakap lirih.
“Kau!...” kalimat Adras terpotong oleh suara tangisan bayi. Dicarinya asal suara itu dan menemukan hal tidak terduga di sana.
“Hukum saya, Na’s Adras” berkali kali berucap, hanya kalimat yang sama dari mulut Sir Aura.
Pandangan Adras hanya fokus pada satu hal. Digendongnya bayi bertudung hijau itu dan di bawanya keluar dari menara tanpa mengucap sepatah kata pun.
Langkah demi langkah serasa berat bagi Adras. Kini matanya menatap lurus ke depan mengarah pada jurang bukit belakang rumahnya. Kakinya terhenti di ujung tanah. Dilihatnya lagi bayi kecil di dekapan. Sudut bibir Adras terangkat membuat lengkungan indah yang sama dengan si bayi yang kini tengah tersenyum.
303Please respect copyright.PENANAvsJb8ftW7z
303Please respect copyright.PENANAzVewC9bRgY
303Please respect copyright.PENANAO1Mhr4gnaw
303Please respect copyright.PENANAOeY7aEM5E8
303Please respect copyright.PENANALJlESa5fAO
303Please respect copyright.PENANA101phfXO6C
303Please respect copyright.PENANAoeZ1KJD9uR
303Please respect copyright.PENANAfVoXPd9xze
303Please respect copyright.PENANA4qPs7vRkkf
303Please respect copyright.PENANAtqyVAlpe8Q
303Please respect copyright.PENANA1JJxnc8fQV
303Please respect copyright.PENANAqg148YAffc
303Please respect copyright.PENANAL5hgEtPYBM
303Please respect copyright.PENANAugiNf8iUPa
303Please respect copyright.PENANAugxW3o3mWP
303Please respect copyright.PENANAgUN8PgMKdr
303Please respect copyright.PENANAa9lZUZxyCx
303Please respect copyright.PENANA3yzBzjMg5n
303Please respect copyright.PENANAqVtftz8VSf
303Please respect copyright.PENANAeQKXPkGNAX
303Please respect copyright.PENANAOpWpKPFFnn
303Please respect copyright.PENANAUtIDlZ8ajw
303Please respect copyright.PENANANLrTQXKagu
303Please respect copyright.PENANANgKkSSKEtz
303Please respect copyright.PENANAky1Akjpxpw
303Please respect copyright.PENANAOBhLYYb2G2
303Please respect copyright.PENANAkb8oiV3dlq
303Please respect copyright.PENANAopmMaGRV1Y
303Please respect copyright.PENANAhmK2yE9grC
303Please respect copyright.PENANA2jD33Pxhgq
303Please respect copyright.PENANAvm55g71Qz2
303Please respect copyright.PENANAoy7gybANCy
303Please respect copyright.PENANAZwyDSt7pAk
303Please respect copyright.PENANA5UMzRfZtdR
303Please respect copyright.PENANAOwUmZLK2im
303Please respect copyright.PENANAB3eQALW5fZ
303Please respect copyright.PENANAQ1dzOWhwhQ
303Please respect copyright.PENANAO2t0pIcaK8
303Please respect copyright.PENANABIovuzzGpM
303Please respect copyright.PENANApRRLfVWany
303Please respect copyright.PENANAS1AcZrSl5P
303Please respect copyright.PENANAPTWyhl2DsH
303Please respect copyright.PENANAHaX4LPDXIL
303Please respect copyright.PENANAO4X2IsCSsi
303Please respect copyright.PENANATEgLzCdWpq
303Please respect copyright.PENANABYOU8vNdDe
303Please respect copyright.PENANAAP2hlnWivK
303Please respect copyright.PENANAxlIIP1H9Q4
303Please respect copyright.PENANARLv37Pyb5n
303Please respect copyright.PENANABE1Nh5ZyqE
303Please respect copyright.PENANAYfNB9zJbrz
303Please respect copyright.PENANAYfC1i9ldF8
303Please respect copyright.PENANAIGW8FSHhQs
303Please respect copyright.PENANA4ezuvdQaYI
303Please respect copyright.PENANAODJFhzA3Hd
303Please respect copyright.PENANAJUv1iDCZdj
303Please respect copyright.PENANAhyiE4fb9pl
303Please respect copyright.PENANAhHKb82R9id
303Please respect copyright.PENANAFlnVaqL4W3
303Please respect copyright.PENANA7PgEwQu9Th
303Please respect copyright.PENANAdpiEbt3ktP
303Please respect copyright.PENANAg5oObF1zPB
303Please respect copyright.PENANAD1KUftP5XD
303Please respect copyright.PENANA4GuI33Ja4V
303Please respect copyright.PENANAHBGQKzHG7f
303Please respect copyright.PENANAdRXfAyq7hw
303Please respect copyright.PENANA0oVG1818li
303Please respect copyright.PENANA8cpPRUl0EC
303Please respect copyright.PENANAaRWua5yIWq
303Please respect copyright.PENANAJ4GbM5hOGL
303Please respect copyright.PENANAVs89CPCslJ
303Please respect copyright.PENANAa1r260gYb7
303Please respect copyright.PENANAHZDrkjelAk
303Please respect copyright.PENANAJeFe8cRpmu
303Please respect copyright.PENANA8K1hZ7kvvX
303Please respect copyright.PENANA4pksheln3x
303Please respect copyright.PENANA85DxGLSb5s
303Please respect copyright.PENANAcfbFe1Sr0m
“Jika kau nanti membunuhku, itu sudah takdirku.”
ns3.129.209.49da2