Matahari selalu memberikan rasa hangat yang mampu mengusir dinginnya udara pagi. Sudah bulan Oktober lagi. Seharusnya sekarang sudah mulai musim hujan. Tapi nampaknya musim kemarau belum ingin beranjak pergi dari kawasan ini. Suhu udara masih seperti biasanya, dingin membekukan tulang ketika fajar datang dan panas di waktu siang. Untunglah kawasan ini memiliki banyak pohon rindang sehingga panasnya matahari musim kemarau tidak begitu menyengat.
Pagi. Seperti pagi lainnya di musim panas, Sinar melakukan ritual paginya. Mencari inspirasi untuk tugas kuliahnya dan objek untuk pekerjaan freelancenya. Inspirasinya selalu datang di pagi hari. Terlebih jika dia melakukan ritual favoritnya. Menikmati matahari terbit sambil minum secangkir kopi. Di pagi hari dia bisa merasakan sejuknya semilir angin yang menerpa dan menggugurkan daun mahoni di depannya. Hamparan bunga matahari yang sedang mekar turut memberikan suasana yang membuat hati Sinar menjadi damai. Dia merasa tempat di belakang restoran ini benar-benar tempat yang sempurna untuk melaksanakan ritual paginya. “Apakah yang lebih indah lagi dari pada menikmati terbitnya matahari pagi, merasakan semilir angin yang sejuk, melihat daun berguguran dan bunga matahari yang bermekaran?” batin Sinar dalam hati. Seketika itu dia merasa hidupnya sudah sempurna. Sketsa hasil inspirasinya juga sudah jadi. Matahari sudah mulai terang, mungkin sekarang sudah pukul 7 lebih. Sinar membereskan peralatannya dan memasuki restoran.
“Habis semedi ya Jeng? Hari ini dapat inspirasi apa?” sapa Berry yang merupakan dishwasher restoran itu.
“Nih lihat sendiri!” Sinar menyerahkan buku sketsanya pada Berry.
“Bukannya kamu ndak suka pantai, tapi kok mau ngelukis pantai sih?”
“Tugasnya seperti itu ya mau bagaimana lagi.” Ucap Sinar sambil mencuci cangkir bekas kopinya. “ Kamu tumben jam segini sudah sampai?
“Kan nanti ada rekrutmen karyawan baru Jeng.” Jawab Berry. Hari ini Berry mendapatkan tugas untuk mempersiapkan perlengkapan yang akan digunakan untuk proses seleksi koki baru. “Makanya kamu kalo nyari karyawan ndak usah yang terlalu ‘tinngi’ biar kita cepet dapet koki baru.”
“Aku belum ada yang cocok sama kandidat yang sudah melamar. Mengapa kalian tidak cari orang lain saja untuk menyeleksi mereka? Lagi pula aku bukan HRD di sini”
“Mau gimana lagi. Sebelum meninggal kan pak Yudhis udah berpesan agar kamu yang menyeleksi para karyawan.
Sebenarnya Sinar merasa senang menyeleksi calon karyawan karena dia dapat mencicipi hasil karya dari para koki itu. Menurutnya setiap koki memberikan hasil masakan yang menberikan pengalaman baru ketika memakannya. Meskipun menu dan resep yang dimasak sama, tapi setiap koki mampu menghasilkan rasa yang berbeda. Sinar merupakan orang yang memiliki rasa yang tajam terhadap seni dan juga makanan. Tidak ada orang lain yang memiliki rasa tajam terhadap makanan seperti Sinar. Selain itu Sinar mampu mengingat dengan jelas rasa masakan yang diciptakan oleh setiap koki. Dia juga bisa menjelaskan dengan gamblang kekurangan dari setiap masakan yaang dia makan.
Tapi Sinar merasa tidak enak harus terus menolak para calon koki yang melamar ke restoran itu. Meskipun dia tidak pernah melihat wajah para koki itu, tapi dia mampu membayangkan betapa kecewanya mereka dan pasti mereka menganggap bahwa makanan mereka tidak enak. Sinar menganggap semua masakan mereka enak, tapi itu belum bisa memenuhi standar yang dia harapkan. Belum ada yang cocok menurutnya. Sinar ingin merasakan hasil masakan sama seperti hasil masakan yang dibuat pak Yudhistira, koki sekaligus pemilik restoran ini yang dulu. Terkadang Sinar berharap pak Yudhistira masih hidup. Atau paling tidak dia sudah mendapatkan koki sebagai penggantinya sebelum meninggal. Dalam lubuk hati yang paling dalam Sinar merindukan masakan pak Yudhistira.
Pukul 09.00 para calon koki medapatkan pengarahan tentang masakan yang akan dibuat untuk seleksi hari ini. Mereka diminta untuk membuat Blackforest dan juga Moccacino. Bagi mereka hal ini tidak lah sulit apalagi mereka mendapatkan resepnya dari pihak restoran. Mereka mulai menakar bahan-bahan makanan dan membuat adonan sesuai di resep. Setelah adonan itu jadi, mereka memanggangnya di oven sesuai dengan suhu dan waktu yang tertera di resep. Selagi adonan itu dipanggang, calon koki itu membuat topping untuk Blackforest. Mereka memasukkan potongan coklat kedalam panci untuk ditim di atas air mendidih. Lalu mencetak lelehan coklat tersebut menjadi lembaran tipis. Mereka mengangkat adonan yang sudah matang dari oven dan menyiramkan lelehan cokelat tadi di atasnya. Setelah kue Blackforest matang, mereka membuat Moccacino secara manual. Kebanyakan dari koki itu adalah seorang koki dibidang Pastry. Sehingga mereka sudah terbiasa membuat hidangan seperti ini. Merekapun membuat Moccacino sesuai dengan yang tertera di resep. Mereka menakar kopi, coklat, dan susu. Ketika takaran tesebut dirasa sudah pas, barulah mereka menuangkan air kedalamnya.
Setelah mereka selesai membuat Blackforest dan Moccacino, para calon karyawan tadi meninnggalkan ruangan seleksi. Kelima calon karyawan tersebut berharap semoga masakan mereka sanggupp membuat mereka lolos menjadi koki di restoran ini. Ada perasaan harap-harap cemas di benak mereka. Dalam hati mereka juga penasaran mengapa mereka tidak diijinkan untuk ikut melihat proses penilaian para juri. Sambil menunggu proses penilaian Juri mereka berjalan-jalan di lingkungan restoran.
Sinar sedang mengirimkan hasil ritualnya tadi pagi kepada dosennya melalui email. Besar harapan Sinar agar dosennya menyetujui sketsanya sehingga dia bisa memulai untuk menuangkan hasil ritualnya tersebut ke dalam kanvas. Sinar bukan lah orang yang menyukai pantai sehingga dia agak kesulitan untuk menggambarkan keindahan pantai. Tiba-tiba ada staff HRD yang memanggilnya dan memintanya untuk mencicipi hasil karya calon karyawan tadi. Sinar merasa enggan. Mungkin sudah sepuluh kali dalam bulan ini Sinar harus menjadi juri para calon karyawan tersebut.
“Mengapa harus aku lagi.” Guman Sinar dalam hati. Dia memerhatikan semua kue dan Moccacino yang dibuat oleh para calon karyawan tadi.
Semua kue itu tampak menarik. Sinar mencoba kue dari peserta yang pertama. Kue ini terasa enak, tapi Sinar belum mendapatkan sesuatu yang bebeda dengan kue tersebut. Dia pun mencoba kue yang kedua. Sama seperti kue yang pertama, Sinar tidak menemukan sesuatu yag istimewa di kue kedua itu. Sinar mencoba kue dari peserta ketiga. Sinar merasa kue dari peserta ketiga ini berbeda dengan kue Black Forest yang pernah dia makan. Rasa manis dan pahitnya benar-benar bisa bercampur dengan pas. “Bagaimana bisa kue ini rasanya berbeda, padahal resep dan bahan yang digunakan sama?” Sinar mencicipi Moccacino peserta ketiga. Rasa kopi,susu dan coklatnya bisa menyatu dengan sempurna. Meski masih penasaran dengan kue dari peserta ketiga, namun Sinar harus mencicipi kue dari dua peserta lagi. Dia ingin berlaku adil dengan mencicipi semua kue dari setiap peserta. Kue dari peserta keempat maupun kelima juga enak, tapi tetap tidak ada sesuatu yang istimewa dari kedua kue tersebut. Sepertinya memang kue dari peserta ketiga yang memiliki keistimewaan tersendiri.
“Tolong panggil peserta ketiga!” pinta Sinar pada salah satu staff HRD. Dengan segera staff HRD itu memanggil peserta ketiga. Dan mengantarkanya kepada Sinar.
Sinar tampak terkejut ketika melihat peserta ketiga. Diapun menarik staff HRD ke pojok ruangan dan berbisik sesuatu pada staff HRD itu. Melihat tingkah kedua orang itu, peserta ketiga pun hanya bengong karena bingung.
“Apa itu benar peserta ketiganya?”
“Iya Jeng, emang kenapa sih?” staff HRD itu balik bertanya.
“Saya sangka peserta yang ketiga seumuran pak Yudhis, ternyata masih muda.”
“Emang kenapa kalo masih muda?”
“Saya berharapnya dapat koki baru yang seumuran pak Yudhis. Biar bisa dijodohkan dengan bu Ratna. Kasihan tuh bu Ratna, sampai sekarang belum bisa melupakan pak Yudhis.”
“Hahaha, dasar gila. Dari pada ngurusin bu Ratna kenapa kamu gak mengurusi urusan asmaramu sendiri. Kamu sendirikan kan masih jomblo..”
“Sudah tidak perlu dibahas. Kasihan tuh peserta ketiga dari tadi kelihatan bingung.” Sinar kembali ke peserta ketiga tadi. Lalu disusul oleh staff HRD. Sinar tidak suka urusan asmaranya dicampuri. Terutama oleh orang yag tidak terlalu akrab dengannya.
“Maaf lama menunggu. Saya sudah mecoba masakan anda dan saya cocok dengan rasanya. Tapi sebelum saya memutuskan anda diterima atau tidak, saya ingin anda mengikuti satu tes lagi. Mari ikut saya ke dapur. “ Sinar mengajak peserta ketiga ke dapur. Tak lupa dia berpesan pada staff HRD agar menyuruh peserta yang lain untuk pulang. Staff HRD itu memberika sebuah file kepada Sinar. Lalu dia pamit untuk memberikan informasi kepada peserta yang lain.
File itu berisi data diri peserta ketiga. Didata itu tertera nama Lintang Aruna. Lahir di Magelang pada tanggal 10 Juni 1986. Belum memiliki pengalaman kerja di tempat manapun Tempat tinggalnya agak jauh dari restoran ini. Dia harus menegendarai bus kota selama 30 menit dari rumahnya untuk sampai di restoran ini. Saat ini dia masih menempuh kuliah jurusan Tata Boga semester akhir di sebuah perguruan tinggi dimana Sinar juga sedang menempuh kuliah.
“Pak Lintang ternyata kuliah di universitas Multi Guna juga ya? Tapi kok sepertinya saya tidak pernah bertemu dengan Bapak”
“Jangan panggil saya Bapak. Saya jadi merasa tua dipanggil dengan sebutan seperti itu. Panggil saja Aruna. Sepertinya saya beberapa kali lihat ibu kok.”
“Jangan panggil saya Bu. Saya juga masih muda. Bahkan saya dua tahun lebih muda dari pada anda.”
“Lalu saya harus memangil anda siapa? Anda kan belum memperkenalkan diri.”
“Oh iya, nama saya Kartika Sinar. Panggil saja Sinar.”
Tanpa terasa mereka sudah memasuki dapur. Suasana dapur tak begitu sibuk karena jam makan siang sudah berakhir. Semua peralatan dapur tampak sudah tercuci bersih. Termasuk peralatan yang digunakan para peserta tadi. Para kru restoran tampak sedang istirahat sambil berbincang. Ada juga yang sedang beribadah. Suasana yang sungguh sangat berbeda saat Aruna memasak Black forest dan Moccacino tadi.
“Untuk tes selanjunya, aku minta kamu membuat Black Forest seperti tadi. Ukurannya dua kali lebih besar. Moccacinonya juga dua kali lebih banyak. Tapi kali ini kami tidak akan memberikan resepnya. Untuk semua bahan dan peralatannya kamu bisa minta pada kru dapur ini. Ada lagi yang ingin ditanyakan?” ungkap Sinar.
“Untuk pengerjaannya diberikan waktu berapa lama?”
“Terserah kamu. Yang saya utamakan kualitas rasa kuenya. Bukan seberapa cepat kamu bisa memasaknya. Kamu bisa memulai memasak sekarang kalau mau.”
Aruna meminta telur, gula, mentega, cokelat, tepung terigu untuk membuat black forest. Dia masih ingat apa saja bahan yang dibutuhkan dalam resep tadi. Aruna memisahkan putih telur dengan kuning telur. Mengocok mentega dan gula hingga mengembang lalu memasukkan kuning telur. Ia mengocok putih telur secara terpisah. Setelah itu ia memasukkan semua bahan tadi dan mengocoknya. Setelah semua bahan tadi tercampur dengan benar, Aruna memasukkannya ke dalam cetakan dan memanggangnya. Ia melelehkan beberapa batang coklat untuk toppinggnya. Ia menggunakan dark chocolatte tanpa tambahan bahan apapun. Aruna tampak sangat menikmati proses membuat kue black forest ini. Sambil menunggu adonan Black Forest matang, Aruna melelehkan beberapa batang cokelat untuk membuat Moccacino.
Dan kue pun matang, sesuai ukuran yang diinginkan. Dari segi bentuk dan aroma kue itu nampak sangat lezat. Moccacinonya pun tampak menggugah selera. Melihat bentuk kue yang nampak lezat langsung menggugah selera makan Sinar. Tanpa banyak basa basi dia pun lantas memotong kue itu menjadi 20 bagian. Dan langsung memakannya Tentu saja hal ini membuat kru restoran yang lain mengejeknya.
“Kamu seperti tidak pernah makan black forest saja Sinar” kata salah satu kru.
“Iya nih saking asyiknya makan sampai lupa bagi kue sama yang lain” balas kru lainnya.
Mendengar hal itu Sinar pun jadi malu. “Kalian coba saja sendiri kuenya. Enak banget loh.” Sinar memberikan isyarat pada kru yang lain agar ikut mencicipi kue tersebut. Kru restoran yang lain pun merasa kalo kue buatan Aruna memiliki rasa yang enak. Tapi kru itu tidak menemukan sesuatu yang istimewa di kue tersebut sehingga membuat Sinar sampai memilih Aruna sebagai pengganti pak Yudhis.
“Sebenarnya apa sih istimewanya kue ini sampai kamu bisa memilih dia sebagai koki baru?” tanya Berry.
“Menurutku kuenya lembut dan takaran antara gula dan dark choconya benar-benar pas dan sempurna. Kue ini sesuai untuk orang yang menyukai rasa manis maupun pahit. Dan meskipun kue ini lembut tapi dia memiliki kepadatan yang stabil. Cocok untuk dimakan sedikit demi sedikit dengan sendok atau pun dengan tangan langsung. Dan bagian yang paling spesial menurutku adalah pada bagian toppingnya. Aruna mampu membuat topping yang keras namun tetap sesuai dengan kelembutan kuenya.” Ungkap Sinar.
Mendengar pujian dari Sinar, Aruna hanya tersenyum. Sinar memang bukan orang pertama yang memuji masakan Aruna. Dia senang karena pujian dari Sinar berarti juga tanda bahwa dia diterima sebagai koki di restoran ini. Sebenarnya Aruna sudah sering melamar ke berbagai restoran di kota ini. Namun tak ada satupun restoran yang mau menerimanya dengan alasan dia belum memiliki pengalaman kerja, belum lulus sarjana, ataupun karena usianya yang sudah tua. Rata-rata restoran di kota ini merekrut karyawan baru yang belum mempunyai pengalaman kerja dengan umur antara 18 – 21 tahun.
“Selamat bergabung dengan kami Aruna.” Sinar menyalami Aruna dan diikuti oleh kru restoran lainnya. “Mulai besok pagi jam 9 kamu sudah bisa langsung bekerja disini. Semoga kita dapat membuat restoran ini menjadi lebih baik lagi. “
“Terima kasih untuk kesempatan yang telah kalian berikan. Saya berjanji akan menjadi partner kerja yang baik untuk kalian semua.” Lalu Aruna pun pamit untuk pulang.
Hari sudah menjelang sore ketika Aruna keluar dari restoran itu. Aruna mempercepat langkahnya menuju tempat perhentian bis. Sebenarnya letak pemberhentian bis itu hanya beberapa meter dari restoran. Dari kejauhan nampak bis datang. Aruna segera berlari menghampiri bis tersebut. Dia tak ingin tertinggal, karena bila dia tertinggal, dia harus menunggu selama 20 menit untuk bis berikutnya. Aruna sampai di tempat perhentian bis tepat ketika penumpang terakhir turun dari bis. Dia segera naik dan mengambil tempat duduk di samping jendela. Buspun melaju di jalan di antara pohon mahoni yang menggugurkan daunnya.
Matahari telah terbenam di balik bukit dan membuat kawasan tersebut menjadi gelap. Seorang pemuda terus menatap ke arah pintu masuk rumahnya. Dia gelisah menunggu Aruna pulang. Tadi dia menelepon Aruna dan bertanya apakah Aruna diterima di restoran itu atau tidak. Tetapi Aruna hanya menjawab bahwa dia akan cerita semuanya nanti ketika sampai di rumah. Pemuda itu merasa khawatir pada Aruna. Dia takut kalau Aruna ditolak lagi lalu putus asa dan terjun ke sungai. Pemuda itu kembali mellihat jam dindingnya. “Kenapa waktu berputar lama sekali ya. Satu menit terasa seperti satu jam.” Guman pemuda itu. Pemuda itu pun kembali menelepon Aruna tapi tak ada jawaban. Dia pun bertambah gelisah. Seperti induk ayam yang menunggu anaknya yang belum juga pulang. Karena bosan menunggu pemuda itu pun akhirnya memutuskan untuk jalan-jalan di taman saja. Ketika akan mengunci pagar rumah, tanpa dia sadari Aruna berdiri dibelakangnya dan mengagetkannya.
“Woyy, Dirga.. mau pergi kemana kau. Aku pulang kamu malah pergi.”
“Astaga Aru.. Kamu mau membunuhku ya. Datang tiba-tiba bikin jantung copot saja.” Kata Dirga sambil mengatur napasnya yang hampir habis karena kaget. “Gimana tadi diterima atau ditolak?’
“Cerita di dalam rumah aja yuk. Jangan di sini, banyak mata-mata!”
Di dalam rumah Aruna pun bercerita tentang seleksi kerjanya di restoran tadi. Mulai dari saat HRD menerangkan tentang proses seleksinya, saat dia membuat Blackforest dan Moccacino untuk tesnya, keliling bagian restoran dan melihat bannyak lukisan alam yang indah di dinding-dindingnya, saat dia bertemu Sinar, saat dia harus membuat Blackforest dan Moccacino dengan ukuran dua kalinya, sampai saat dia mengucapkan terima kasih karena sudah diterima di restoran itu. Semuanya Aruna ceritakan dengan penuh semangat sampai dia sendiri lupa untuk menyuapkan makanannya ke dalam mulut.
“Dari cerita kamu sepertinya restoran itu menarik ya. Kapan-kapan aku mau ke situ ah..”
“Boleh. Sekalian juga nanti ajak anak fotografi yang lain biar rame. “
“Good idea. Tapi nanti kamu ya yang traktir mereka.”
“Kalian kan udah sering makan kue percobaan ku gratis. Pokoknya kalau kamu mau makan di sana bayar sendiri.” Kata Aruna pura-pura marah.
“Ciye gitu aja marah.
“Hahaha.. ngomong-ngomong.. kamu kenal atau tahu mahasiswi bernama Sinar gak”
“Jurusan apa? Kayaknya gak penah tahu deh.”
“Aku juga gak tahu dia anak jurusan apa.”
“Coba tanya langsung ke orangnya. “
“Iya.” jawab Aruna sambil melahap makanannya.
Selesai makan malam, Dirga mengambil kameranya dan mengecek gambar yang tadi siang ia potret. Tema yang dia ambil kali ini adalah street photography. Dia mengambil gambar di kawasan Kota Lama Semarang. Pada abad 19-20 Masehi kawasan ini merupakan pusat perdagangan. Letaknya yang dekat dengan pelabuhan menjadikannya tempat yang strategis untuk berniaga. Kawasan Kota Lama Semarang disebut juga dengan Outstadt . Berada di sana seperti kembali ke masa silam. Banyak bangunan beraksen Kolonial Belanda . Gaya arsitektur Kolonial Belanda dipopulerkan oleh Daendels dan dikenal dengan sebutan Empire Style. Sebenarnya gaya Arsitektur Kolonial Belanda sendiri diadaptasi dari gaya Neo-klasik yang saat itu sedang melanda Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) dan disesuaikan dengan iklim maupun kearifan lokal Nusantara.
Bentuk bangunan di kawasan Kota Lama Semarang terlihat begitu megah. Dengan dinding yang tinggi dan bukaan jendela yang lebar. Terdapat deretan pilar bergaya Yunani yang menjulang ke atas serta dimensi bangunan yang sangat luas dan simetris. Namun sayangnya banyak dari bangunan tersebut yang tidak terawat sehingga berwarna kusam, mulai ditumbuhi tanaman dan bahkan ada yang mulai runtuh. Sebagian dari bangunan itu kini telah berubah fungsi misalnya Lawang Sewu yang dulu adalah tempat pemerintahan namun kini berubah menjadi museum. Sejak dulu Dirga selalu mengagumi Lawang Sewu. Karena itu lah dia memilih meninggalkan kampungnya di Klaten untuk kuliah di Semarang.
“Aruna, kamu udah tidur?” Tanya Dirga.
“Belum. Kenapa?”
“Tadi pagi aku di kampus ketemu seseorang dari masa lalu”
“Siapa?”
“Sahabatnya mantan”
“Selena?” Kata Aruna kaget hingga ia loncat dari tempat tidur. “Bukannya dia masih di Jerman ya?”
“Mungkin dia sedang liburan“ Dirga memasukkan foto dan kameranya ke dalam tas. Tadi pagi dia tidak terlalu fokus pada Selena karena dia sedang sibuk dan buru-buru ke tempat pemotretan. Tapi bercerita tentang Selena membuat dia ingat akan masa lalunya. Tak hanya Dirga yang jadi ingat masa lalu, Aruna pun teringat. Selena adalah sahabat dekat dari Adistya, adiknya Aruna sekaligus mantan pacar Dirga.
Kabar terakhir yang mereka tahu tentang Selena adalah saat dia berangkat ke Jerman untuk melanjutkan kuliahnya di bidang Bisnis dan Manajemen. Sejak saat itu mereka kehilangan kontak dengan Selena.
Suara burung hantu di luar menandakan hari sudah larut malam. Aruna pamit tidur pada Dirga karena besok pagi dia harus berangkat kerja. Dirga masih belum bisa tidur. Matanya sulit terpejam dan pikirannya masih mengembara tak tentu arah. Dia ingin agar pagi segera datang. Meski dia belum tahu, apa yang akan dia lakukan ketika pagi telah datang.
ns 172.69.58.198da2