Namaku adalah Spicy Trasmoz. Aku perempuan berambut hitam pendek yang masih berumur 15 tahun. Aku tidak begitu tinggi, tapi juga tidak terlalu pendek. Kehidupan sekolahku bisa dibilang biasa-biasa saja. Aku punya teman-teman yang selalu mendukungku dan guru-guru yang membantu meningkatkan prestasiku.
Tapi kehidupan yang biasa saja hanya ada di sekolah. Keluargaku tidak bisa dihitung biasa, itu karena sebelum aku masuk SMA, masalah besar menimpa kami. Ibuku seorang pekerja kantoran, saat ini hanya ibu yang bekerja untuk menghidupi keluarga. Ibu berangkat pagi sebelum aku bangun dan pulang disaat aku sudah tertidur lelap. Kami memang jarang bertemu, tapi ibu selalu menyempatkan waktu untuk membuatkanku sarapan pagi.
Di rumah, aku hanya tinggal bersama ibu. Aku punya kakak laki-laki yang 2 tahun lebih tua dariku, tapi dia meninggal terbunuh tahun lalu. Ayahku berada di penjara karena kasus pembunuhan. Tahun lalu setelah kakakku dibunuh, ayah membawa pulang 3 potongan kepala untuk ditunjukkan padaku dan ibu. Ketiga potongan kepala itu adalah milik orang-orang yang telah membunuh kakakku. Ayah memanfaatkan polisi yang mencari pelaku pembunuh kakakku dan memutuskan untuk membunuh mereka sebelum polisi bertindak. Akibatnya, tidak ada dari kami yang mengetahui alasan mereka membunuh kakakku. Ayah akhirnya harus ditahan di penjara dan ada kemungkinan akan dijatuhkan hukuman mati.
Setahun kemudian, aku masuk SMA. Berita mengenai keluargaku sudah menyebar di dalam sekolah pada hari pertama. Agar tidak mendapat rasa sakit yang lebih dalam, Ibu menyarankanku untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan mengenai masa laluku. Beberapa bulan kemudian, orang-orang mulai bosan membicarakanku dan aku mulai mendapat kehidupan yang normal. Aku juga akhirnya memiliki teman-teman yang bisa kupercaya.
“Spicy, kau melamun lagi,” River mencubit pipi kananku untuk membuyarkan lamunanku.
Aku mengeluh kesakitan hingga River melepaskan cubitannya. Aku memegang pipiku berharap pipiku tidak memerah.
“Sakit,” keluhku dan River hanya membalasnya dengan tawa kecil.
River adalah teman sekelasku sekaligus teman baikku. Dia cowok pertama yang mengajakku bicara di kelas. Saat beberapa orang mengerumuniku dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang ayahku, River menarikku menjauh dari mereka. Setelah itu, wali kelas kami memberitahuku bahwa River menyarankan pada anak-anak di kelas agar tidak membahas tentang keluargaku. River melakukannya agar aku bisa merasa nyaman walau hanya di dalam kelas.
“Ayo pulang,” ajak River.
Aku menarik tas ranselku lalu mengikuti River keluar dari kelas. Di gerbang sekolah, 2 temanku yang lain sudah menunggu sejak tadi.
“Kalian lama sekali,” protes Nana.
Nana adalah temanku sejak masih di sekolah dasar. Rumah kami juga bersebelahan, jadi aku tidak selalu sendirian saat di rumah. Di sebelah Nana, seorang cowok tinggi berambut pirang langsung merangkul bahu River.
“Tobi, hari ini matahari sudah terlalu panas, kamu jangan buat tambah panas,” kata River yang berusaha lepas dari Tobi.
Tobi adalah sahabat River yang kebetulan sekelas dengan Nana. Tampan, kaya, dan populer adalah kesan pertamaku saat pertama kali mengenalnya. Yang membuatnya lebih sempurna lagi yaitu Tobi adalah anak dari Wali Kota.
Hari ini kami berencana menonton film di rumah Tobi. Tapi sebelum itu, aku harus mengunjungi seseorang. Di tengah perjalanan pulang, aku memisahkan diri dari mereka.
“Aku akan ke rumahmu setelah ini, jangan menonton tanpaku, ya,” kataku lalu meninggalkan mereka.
Sepulang sekolah, hal pertama yang selalu kulakukan adalah mengunjungi ayahku di rumah tahanan. Aku berlari secepat mungkin, tas ranselku berguncang seirama dengan debaran jantungku. Kalau saja masa lalu tidak menghantuiku, mungkin aku sudah bergabung dengan klub lari di sekolah. Walaupun orang-orang sudah berhenti membicarakanku, aku yakin beberapa dari mereka masih penasaran dengan keluargaku.
Tiba-tiba sesuatu di depanku kembali membuyarkan lamunanku. Aku mendadak menghentikan kakiku yang hampir menginjak seekor kucing hitam. Aku mengatur napasku yang tidak beraturan lalu berjongkok. Kucing hitam itu terbaring di tanah, aku beberapa kali mencoleknya tetapi tidak ada respon sama sekali. Aku mengangkat kucing itu dan tidak menemukan luka sedikitpun. Aneh, aku yakin dia mati, mungkin dia diracun.
Kalau tidak salah ada mitos kalau kucing punya 9 nyawa. Kalau mitos itu benar, kucing ini mungkin sudah menghabiskan seluruh nyawanya dan lupa menghitung yang terakhir. Manusia hanya punya 1 nyawa, tidak ada yang tahu kapan nyawa itu akan lenyap, tapi ada juga yang bisa mempertahankannya hingga bertahun-tahun.
Aku berdiri lalu mengangkat kaki kiriku melewati kucing itu, aku tidak ingin buang-buang waktu menguburnya. Nanti juga akan ada orang baik yang menguburnya.
Kalau kakakku punya 9 nyawa, mungkin hari itu dia tidak akan terbunuh. Ayah juga tidak akan masuk penjara dan ibu tidak perlu terlalu sibuk bekerja hingga larut malam.
“Hey, kucing.” Aku berbalik dan kembali menemui bangkai kucing itu, “kalau aku menguburmu, apa untungnya untukku?”
Aku tahu kucing itu tidak akan menjawabku. Aku ingat ada plastik bekas bungkus roti dalam tasku. Tanganku mencari-cari plastik itu dan akhirnya menemukannya. Saat itu aku sadar kalau plastik itu terlalu kecil dan hanya muat di kepalanya.
Aku mengubur kucing itu di bawah pohon dekat dari tempat aku menemukannya. Awalnya aku berniat menggali tanah itu dengan tanganku, tapi niatku terselamatkan oleh sekop kecil yang bersandar di tembok rumah sebelah. Aku harap si pemilik rumah tidak melihatku mengubur kucing di pohon rumahnya.
Saat aku merasa sudah menggali cukup dalam, sekop yang kupegang menyentuh sesuatu di dalam tanah, lalu bau busuk mulai menyebar di udara. Tanpa perlu kugali lagi, aku tahu itu adalah bangkai kucing dan dari telinga yang sudah lepas dari tubuhnya aku yakin kucing itu sudah lama sekali dikubur. Karena tidak tahan dengan baunya, aku meletakkan kucing yang kutemukan diatas bangkai kucing itu lalu segera menguburnya dengan tanah.
Saat kupikir harus mencuci tanganku, tiba-tiba langit menjadi gelap. Matahari yang tadinya membuatku bermandikan keringat, kini tertutupi awan gelap. Gerimis yang turun membuatku harus berlari ke rumah tahanan.
Aku berlari melewati perumahan dan hampir tiba di jalan raya. Aku berlari melewati orang-orang yang mencari tempat berteduh. Hujan semakin deras hingga membuat mataku tidak bisa melihat ke depan. Aku terus berlari tanpa memperdulikan bajuku yang sudah basah. Saat lenganku menggosok mataku yang tertusuk tetesan hujan, kakiku telah menginjak zebra cross. Aku lupa melihat rambu lalu lintas dan sudah terlambat untuk kembali. Suara klakson panjang berdengung di telinga kananku bersamaan dengan cahaya lampu yang menyilaukan mataku.
ns3.17.173.69da2