Hannah termangu di sofa empuk coklat tua yang di dudukinya. Matanya menyapu sekeliling ruangan yang bertembok abu – abu itu. Berkali – kali ia meyakinkan dirinya kalau shirtwaist beige yang dia pakai tidak terlalu mencolok untuk sebuah interview, pumps hitamnya juga tidak terlalu tinggi dan gak ngebuat dia terlihat kayak seorang stripper nyasar.
Get out from my mind nerves! geramnya dalam hati.
Baru saja Hannah ingin melayangkan pikiran kepada bunga di dalam vas yang bertengger teratur di atas meja yang hadapannya, tahu - tahu pintu ruangan terbuka diikuti bunyi ‘ngeeek’, lalu seorang bule kira – kira berumur 45 tahunan masuk. Perhatian Hannah 100% langsung teralih kepadanya.
“Ms. Alisha?” dia menyapa dengan nama belakang agar profesional.
Hannah mengangguk dan berdiri sementara laki – laki itu menghampirinya lalu menyodorkan tangannya, “Roby.” sambil mempekenalkan diri dengan casual ketika Hannah menyambut tangannya.
“Just Hannah please.”
Hannah kembali duduk ketika Mr. Roby memilih duduk berhadap – hadapan dengannya, “Sudah pernah dengar tentang perusahaan kami?” pertanyaan Mr. Roby yang ternyata sudah fasih berbahasa Indonesia itu membuat Hannah ingin bertanya balik, bapak pikir saya alien? Siapa yang gaktau Eva Prouds yang tokonya ada hampir di setiap mall di Endonesah. Tapi Hannah hanya bisa merealisasikan segala pikirannya itu dengan senyum plus anggukan kecil.
Menurut Wikipedia yang Hannah baca semalam, EVA Group adalah salah satu pabrik kayu terbesar di Indonesia. Setelah puluhan tahun menjadi supplier untuk pabrik – pabrik funiture di Indonesia, Malaysia, Thailand dan beberapa negara lain di Asia, di akhir tahun 2013 EVA Group membentuk anak perusahaan baru, yaitu EVA Prouds, dan me-launchingbrand funiture sendiri. Karena memiliki hutan penghasil kayu sendiri, EVA Prouds sanggup menciptakan konsep funiture dengan harga bersahabat, namun dengan kualitas ajegile hebat.
“Kebetulan user orangnya gak suka bertele – tele, kalo mungkin biasanya ada interview tahap pertama kedua di sini tidak. Jadi hari ini interview paling lambat 1 minggu hasilnya. Langsung kerja, masa prohibition 3 bulan, nanti baru di bicarakan lagi gimana – gimanannya setelah 3 bulan.”
“Untuk job desk, Hannah pasti sudah taulah, mengurusi kebutuhan dan keperluan user. Tapi mungkin ada sedikit tambahan, nanti akan saya jelaskan. Hhmm..Oh ya, kalau boleh tau, alasannya berhenti dari perkerjaan yang lama?”
“Oh..Atasan saya harus pindah dinas ke Belanda..”
Mr. Roby mengangguk tanda mengerti, “Kalau masalah gaji langsung straightforward aja ya...nah..gimana kalo dari Hannah duluan.” katanya sambil menutup kalimatnya dengan senyum simpul.
Hannah malah menatap Mr. Roby bingung, biasanya yang menentukan gaji adalah si boss, as long as itu masih di katakan layak –karena biasanya boss – boss yang menjadi majikannya dulu memberikan gaji yang lebih dari cukup- dia akan terima. Kayak waktu dia kerja sama salah satu diva Indonesia, gaji oke, uang jajan oke, setiap 6 bulan sekali gaji naek. Sayang banget setelah satu setengah tahun jadi jongos elit sang diva, Hannah harus terima pesangon (Ini nih yang di pake buat nambahin DP si imut putih susu Mazda 2), gara – gara sang diva kudu hengkang ke Prancis ikut suaminya yang notabene konglomerattt.
“Hmmm....” hanya dengungan itu yang keluar dari bibir Hannah.
Mr. Roby menunggu dengan tatapan lapang.
“Mungkin saya bisa referensi dari tempat kerja saya yang terakhir mungkin?” kata Hannah jujur akhirnya.
“Oke..Biar saya yang mulai, Hannah bisa nego kalau gak sesuai, nanti tinggal saya diskusikan dengan atasan saya.” Mr. Roby menarik selembar kertas folio dari dalam map kuningnya, melipatnya menjadi dua, lalu menarik pulpen yang dari tadi bergantung di sakunya. Ia menuliskan sesuatu di atas kertas itu sebelum menyodorkannya kepada Hannah.
Pandangan Hannah mendarat pada angka tujuh ratus lima puluh yang tertulis di atas kertas yang disodorkan Mr. Roby. Berapa maksudnya? Tujuh juta setengah? Tujuh tatua lima puluh ribu? Tujuh tatua lima puluh perak? Jidatnya otomatis mengkerut.
“Tujuh ratus limah puluh ribu?” lidahnya berucap pelan tanpa disuruh.
“Per day.” Sambung Mr. Roby tiba – tiba. “Gimana?”
Kepala Hannah terangkat, sekarang ia menatap Mr. Roby yang menatapnya balik menunggu jawaban. Namun ketika yang tunggu tidak juga bersuara, Mr. Roby ambil alih, “Kamu akan dibayar per kedatangan, dan akan di cairkan setiap bulannya. Biasanya Mr. Ganendra, user-nya.” Hannah mendengar nama Mr. Ganendra sengaja ditekankan oleh Mr. Roby, “Dia akan membutuhkan asistennya 5 hari dalam seminggu, dari jam 10 pagi sampai jam 9 malam. Kalo ternyata Mr. Ganendra memerlukan kamu lebih dari waktu yang di tentukan, nanti ada overtime lembur. 200.000 per hour. Oh ya...itu gaji pokoknya, di luar allowance, uang transport, dan perusahaan kami akan menjamin asuransi setelah 3 bulan prohibition..” Mr. Roby membalik kertas itu dan menuliskan sejumlah angka lagi pada bagian kosongnya, “Segini.” Katanya sambil lagi – lagi menyodorkan kertas itu kepada Hannah.
Hannah mengangguk – ngangguk tanda mengerti setelah yakin berhasil mengangkat matanya untuk di tidak terpaku pada yang barusan dibacanya dengan jelas. It’s just a couple hours longer working time with almost double salary. DEFINITELY TAKE IT!
Bayangan Hannah tentang kemakmuran yang akan di dapatnya langsung menari – nari di kepala.
Seandainya aja Mr. Roby menjelaskan ini semua melalui telepon, kayaknya Hannah sudah ngeces dari tadi. Sayangnya kejadian ini berlangsung face to face, Mr. Roby menyaksikannya bukan cuma secara audio tapi juga visual, jadi dia hanya bisa terpana untuk beberapa detik lalu harus kembali mengontrol ekspresinya. Padahal dalam hatinya dia pengen banget deng loncat – loncat.
“Gimana?” suara berat Mr. Roby menyeret Hannah dari lamunannya. “Hannah masih bisa nego atau perlu waktu untuk mikir dulu mungkin?”
Aturan agak jual mahal gitu ya tapi ini Hannah malahmenggeleng mantap, “Sudah cukup dan jelas-sudah cukup jelas.” dia menyengringai kayak Joker.
“Oh okay kalau begitu, is there any question?”
“I’m good. Thank you.” jawabnya dengan nada yang di atur sestabil mungkin.
Mr. Roby mengangguk, lalu mengangkat mapnya, dan berdiri. Hannah ikutan berdiri.
“Baik Hannah, saya rasa cukup, mudah – mudahan kita berjodoh. Pleasure to meet you.”
“Certainly. Pleasure to meet you.” Hannah tersenyum.
Amin
Amin
Amiiinn seamin – aminnya.
ns 172.70.178.69da2