/story/56724/anak-kehilangan-hak-dan-orangtua-kehilangan-harapan/?load=0
Anak kehilangan hak dan Orangtua kehilangan Harapan | Penana
arrow_back
Anak kehilangan hak dan Orangtua kehilangan Harapan
more_vert share bookmark_border file_download
info_outline
format_color_text
toc
exposure_plus_1
Search stories, writers or societies
Continue ReadingClear All
What Others Are ReadingRefresh
X
Never miss what's happening on Penana!
G
Anak kehilangan hak dan Orangtua kehilangan Harapan
Serpihanberlian
Intro Table of Contents Comments (0)

Judul ini seperti sebuah dendam yang terbalaskan. Kesalahan-kesalahan yang diperbuat atas nama cinta justru mengandung, melahirkan, bahkan membesarkan racun. Niat yang baik belum lah tentu benar, sedangkan kebenaran sering kita abaikan. Ini adalah kata saya seorang anak yang "merindukan" orangtuanya. 

Saya pernah membaca postingan teman kuliah saya tentang orangtua. Menariknya dia tidak menceritakan seberapa cintanya kepada orangtua tetapi menyayangkan kegagalan orangtuanya. Menurut saya kegagalan orangtuanya tidak lebih gagal dari pada orangtua saya. Saya maklum secara pendidikan, religiousitas, dan lingkungan orangtua saya memang tidak ada apa-apanya.

Di situlah masalahnya, rendahnya hal tersebut membangun pemikiran yang kolot terhadap orangtua saya. Sejak saya kecil orangtua saya sangat bekerja keras sedang saya di rumah tanpa mereka. Untuk bertemu ibu saya hanya satu atau dua kali seminggu, apalagi bapak yang belum tentu sebulan sekali. Sebuah gunjingan pernah membuat ibu saya menangis dan terkenang dimemori saya hingga sekarang, tentang mereka yang meninggalkan saya untuk bekerja. Mereka dapat uang untuk membahagiakan saya. Padahal saya lebih bahagia jika mereka ada didekat saya dan memberi rasa aman. 

Saya sering dibully oleh teman saya waktu sekolah bahkan di dorong hingga berdarah - darah. Tidak ada yang mengajari saya untuk membela diri, saya hanya pasrah tanpa teman. Bolehkah saya marah kepada orangtua saya? Saya jarang sekali diajari membaca, bahkan berkomunikasi dengan lingkungan. Mereka selalu menyalahkan sekolah jika saya berbuat salah. "Kamu diajari apa waktu sekolah?!" Sekolah mengajari ilmu pengetahuan yang terlalu umum bagi saya, dan sedikit praktiknya. Apalagi soal adab yang seharusnya itu lebih banyak diajarkan orangtua. Begitu juga disekolah saya perhatikan ketika ada murid yang nakal kadang ada guru yang bilang, "nggak pernah diajari sopan santun ya sama orangtua mu?" Jadi siapa sebenarnya yang harus mendidik kita?

Waktu berlalu saya sudah dewasa, memasuki bangku kuliah bukan sebuah motivasi agar saya semangat menyelesaikannya tetapi justru harapan harapan tinggi dan khayalan berlebihan yang saya terima. Belum lagi, soal kebiasaan orangtua yang terlalu membangga banggakan saya. Seolah olah saya sangat hebat. Jujur saja saya mengamini semua itu dan berharap Allah akan mengabulkan. Tidak memungkiri saya juga merasa beban dengan semua harapan itu. Terlebih lagi ketika keadaan berbandinh terbalik dengan harapan mereka yang tinggal. Rasa gagal tentu menoreh luka dalam dada. Apa yang dilakukan orangtua saya. Bukan menyemangati tetapi semakin menuntut dan menyalahkan. Aku memang gagal tapi aku mau bangkit bukan selalu ditekan. Saya tinggal kesempatan satu semester saja untuk kuliah. Apakah harapan orangtua saya akan hilang atau terwujud saya pun tidak tahu. Sulitnya saya menyelesaikan kuliah dilandasi berbagai faktor dan bukan saya saja yang menentukan. Saya hanya berusaha dan berharap semoga Allah mengabulkan. Sekalipun saya kecewa dengan orangtua tetapi kebaikan mereka dan niat baik mereka sangat banyak dan mungkin saya tidak mampu membalasnya. Hanya ingin memberikan setitik kebahagiaan untuk mereka.

Maafkan saya yang belum bisa mewujudkan harapan. 

Show Comments
BOOKMARK
Total Reading Time:
toc Table of Contents
No tags yet.
bookmark_border Bookmark Start Reading >
×


Reset to default

X
×
×

Install this webapp for easier offline reading: tap and then Add to home screen.