Di tengah malam Bima bermimpi. Ia melihat Tiara menangis meraung-raung. Ia tampak memukul dan menghantamkan kepalanya ke tembok hingga berdarah.
Bima terbangun dan tersentak.
"Hahhhh! apa itu, kenapa Tiara nangis seperti itu, apa karena aku tak percaya ucapannya, duh gimana ini," Bima mulai cemas.
***
Di rumah Tiara. Ia tampak duduk sendiri di luar rumah karena tak bisa tidur. Paman Arif melihat itu lalu mendekatinya dan menyampirkan selimut ke tubuh keponakannya itu.
"Apa yang kamu lakukan larut malam begini Tiara?" tanya Arif.
"Oh Paman, aku nggak bisa tidur," sahut Tiara.
"Jangan kamu hiraukan perkataan Bibimu itu, dia kan memang seperti itu," ujar Arif.
"Iya Paman Tiara tau kok, Tiara udah hafal sifat Bibi," sahut Tiara.
"Uhuk uhuk uhuk." Arif tiba-tiba batuk.
"Apa penyakit Paman bertambah parah? datanglah ke rumah sakit biar aku memeriksa Paman ya?" pinta Tiara.
"Tidak usah, ini hanya batuk biasa, beberapa hari juga akan sembuh kok, kamu nggak perlu khawatir," ucap pria itu seraya tersenyum.
Tiara menggenggam tangan pria yang sudah di anggapnya sebagai ayah itu.
"Aku sudah menganggap Paman seperti Ayahku sendiri, jadi Paman nggak boleh sakit ya," pinta Tiara seraya tersenyum.
"Iya Tiara sayang, Paman tau itu," ucap Arif membalas senyumnya.
***
Di rumah sakit. Tiara sedang membersihkan ruangan. Sedangkan Bima sudah duduk di kursinya. Ia melihat Tiara hari itu tampak sedikit bengong.
"Ehemm, Tiara," panggilnya.
"Eh, iya Dokter," jawab Tiara yang masih mengelap beberapa barang.
"Apa kamu merasa sedih?" tanya Bima tiba-tiba.
"Sedih! maksudnya apa Dok?" Tiara masih belum mengerti.
"Tentang kemaren itu," ucap Bima seraya mengingatkan.
"Oh kemaren, anggap aja aku nggak pernah ngomong Dok, aku dah biasa kok," sahut Tiara datar.
"Tapi aku percaya kok," ujar Bima.
"Serius Dok." Tiara mulai tersenyum.
"Iya, iya, udah jangan di pikirin, kerja lagi sana," pinta Bima.
"Makasih ya Dok," ucap Tiara merasa senang.
Bima ikut tersenyum melihat wanita berambut hitam itu.
"Eh, ngapain aku ikut senyum." Bima mencoba mengubah mimik wajahnya lagi.
Beberapa saat kemudian.
"Eh Ra ayo ikut aku," ajak Bima.
"Mau ke mana Dok?"
"Udah ikut aja." Bima mengajak Tiara ke suatu tempat
Mereka berdua keluar dari ruangan.
Di lantai dua Tirta sedang berdiri di pinggir pagar. Aldi datang menghampiri.
"Eh Bro, kamu jangan bunuh diri ya, itu dosa Bro," celetuk Aldi seraya menahan tubuh Tirta.
Tirta menggeplak kepalanya.
"Bunuh diri kepalamu, dasar kamu ini," bentaknya.
"Aduh sakit, lah kukira kamu mau terjun Bro," ucap Aldi seraya menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.
"Hahhhhh nasip, padahal aku udah menang taruhan ehh malah kena potong gaji," ujar Tirta mengeluh.
"Nah, itu tuh yang namanya doa orang-orang yang tersakiti itu terkabul," pungkas Tirta.
"Hah tersakiti katamu, sini kamu, ku sakiti beneran ya." tirta mencekek leher Aldi menggunakan sikutnya.
"Sakit, sakit Ta, lepasin, eh lihat noh di sana!" Aldi menujuk ke lantai satu.
"Apa an sih Di." Tirta akhirnya melepaskan cekikan itu.
Mereka melihat Bima dan Tiara berjalan bersama.
"Apa kamu nggak ngerasa mereka jadi lebih deket satu sama lain?" tanya Aldi.
"Ehmmm, kurasa sih iya," sahut Tirta.
"Tapi aku belum pernah ngelihat Dokter Bima dekat sama cewek lain kecuali Dokter Intan," ujar Aldi.
"Semua orang kan bisa berubah cuyy," bantah Tirta.
"Ayo taruhan lagi!" ucap Aldi bersemangat.
"Apa lagi sih Di, seneng banget kalau taruhan," bantah Tirta.
"Biarin, ayo kita taruhan Dokter Bima bakal milih siapa? Dokter Intan atau Tiara?" jelasnya.
"Emangnya kamu bakal milih siapa?" tanya Tirta.
"Yang pasti aku bakal milih Dokter Intan dong," jawab Aldi.
"Kenapa emang?" tanya Tirta bingung.
"Karena denger-denger Tiara lagi deket dama dokter Reno," celetuk Aldi.
"Serius kamu?"
"Iya."
"Ahhh ogah ah, aku nggak mau kamu menang, bisa-bisa bulan ini aku nggak gajian," ujar Tirta n
"Ahhh ayolah Ta, kita taruhan yaaaaaa," rengek Aldi.
"Ogaaahhhhh!" Tirta pergi meninggalkan pria berkacamata itu.
"Ahhhh jahat kamu Ta!" Aldi merasa kesal.
Bima membawa Tiara ke sebuah ruangan. Itu ruangan pasien yang selama ini di rawat oleh Bima.
"Ayo masuk," pinta Bima.
"Ngapain kita ke sini dok?" tanya Tiara bingung.
"Coba kamu lihat, apa ada asap hitam di belakang pasien-pasien ini?" tanya Bima tanpa basa-basi.
"Hahh Dokter!" Tiara melonggo.
"Udah ikutin aja, daripada kemampuan kamu mubazir, kamu kan bisa cukup membantu," ujar Bima tersenyum kecil.
"Hemm, iya iya," sahut Tiara tak bisa menolak pria yang menjadi atasannya itu.
Tiara melihat satu per satu ke arah semua pasien itu. Tapi tak ada satupun yang di ikuti asap hitam. Lalu seorang Suster berjalan masuk ke ruangan itu. Tiara tampak terkejut.
"Gimana Ra, ada nggak?" tanya Bima penasaran.
"Dok, pasien-pasien itu tidak mempunyai asap hitam tapi ...," ucapan Tiara terhenti.
"Tapi apa?"
"Suster yang baru datang tadi punya asap hitam di belakang tubuhnya," jawab Tiara seraya menunjuk ke Suster yang sedang berjalan itu.
"Serius kamu!" tanya Bima.
Bima melihat Suster itu ingin pergi ke mana. Lalu suster itu mendatangi seorang pasien yang sedang di jenguk oleh suaminya. Pria itu tampak kesal menatap Suster itu dan tiba-tiba mengeluarkan pisau dari dalam jaketnya.
Bima segera berlari melindungi suster itu.
"Hiyaaaaaaaa!" pria itu berteriak dan mengayunkan pisau yang ia pegang hingga menusuk lengan Bima.
"Ouchhhhhhhh!" Bima menahan rasa sakit dan darah bercucuran dari lengannya.
"Penjaga cepat ke mari!" teriak Suster itu.
Pria itu tampak cemas dan khawatir. Lalu petugas datang dan membawa pria itu. Istrinya yang terbaring lemas ikut menangis melihat kejadian itu.
"Dokter gimana ini, ayo Dok ikut aku." Tiara panik dan segera membawa Bima pergi.
Di ruang perawatan. Bima berbaring dan Tiara menangis sambil mengobati lukanya.
"Eh Ra, kamu pikir aku sudah mati ya, kenapa nangisnya sampai kayak gitu," ujar Bima.
"Ini semua gara-gara aku Dok, kalau aku nggak bilang tentang asap hitam itu, Dokter nggak mungkin celaka kayak gini," isaknya.
"Haest kamu ini, ini kan cuman luka kecil, udah jangan nangis lah." Bima menghapus air mata yang berlinang di pipi Tiara.
Tiba-tiba suasana tampak hening dan mereka saling menatap. Suara detak jantung mereka beradu sangat cepat.
Mendadak Tirta datang menghancurkan moment itu.
"Dokter, Dok, apa kamu baik-baik saja?" tanya Tirta seraya berlari.
Tiara langsung pergi keluar dan menghapus air matanya. Bima segera kembali tampak tak terjadi apa-apa.
"Tiara, di mana Dokter Bima?" tanya Tirta padanya.
"Dia di dalam Dok," ucap Tiara merunduk tapi Tirta melihatnya menangis.
"Loh Ra kamu nangis ya?"
"Enggak kok cuman kena debu, aku ke toilet dulu Dok, tolong jaga Dokter Bima ya." Tiara segera pergi.
"Dokter Bima, kenapa bisa seperti ini?" Tirta bertanya padanya.
"Udah jangan berisik kamu, aku nggak papa kok, luka kecil juga!" bentaknya.
Di kamar mandi. Tiara membasuh wajahnya. Ia mengingat saat Bima mengusap air mata di pipinya. Entah kenapa ia langsung tersenyum.
"Ehhh kenapa aku ini, jantungku juga kenapa? kok aneh gini sih, ada yang nggak beres nih," gumam wanita itu seraya menghadap ke cermin.
ns 172.71.254.132da2