Akan kupastikan aku mati di depan matamu, dasar ayah idiot!
Disinilah dia, di kota Ris Emerald. Berjalan membuntuti ayahnya, gadis remaja itu terus mengutuk ayahnya yang menurutnya sudah kehilangan akal sehat.
Ayahnya terobsesi dengan ritual sihir yang akan segera berlangsung di kota ini. Ritual yang konon bisa membangkitkan orang yang sudah lama mati. Tapi, apakah ayahnya tahu kalau ritual ini tentu menarik banyak orang bodoh seperti dirinya?
Kalaupun itu benar-benar bisa menghidupkan orang mati, tentubanyak Magus lain yang akan menginginkannya, dan, para Magus pasti rela bertarung satu sama lain dan membunuh siapapun yang menghalangi jalan mereka. Sekali lagi, gadis itu tekankan, kalau itu benar. Bertaruh nyawa untuk menghidupkan orang mati? Bodoh sekali mereka.
Termasuk ayah.
Yah... Lucia sudah berencana untuk mati disini, di depan mata ayah, agar ayahnya tahu, bagaimana rasa sakit ketikakehilangan orang terdekat. Luka di hati Lucia akibat kematian sang ibunda belum tertutup sepenuhnya, dan kini, ayahnya ingin menjatuhkan dirinya ke lubang neraka?
Tentu saja, keluarga Heraldet memang penuh dengan orang-orang bodoh.
Seharusnya, sebagai salah satu keluarga Magus, mereka tahu apa yang mungkin dan yang tidak mungkin dilakukan oleh sihir.
Menghidupkan orang mati? Memangnya kalian siapa? Tuhan? Dewa Kematian?
Lucia terus menggerutu di dalam pikirannya, sedangkan ayahanda telah membuka pintu sebuah rumah baru milik keluarga Heraldet. “Lucia, ayo masuk.”, ajak pria gila itu pelan.
-=-=-
“Lucia, tolong bukakan pintu.”, perintah pria yang menjadi ayahnya.
Masih belum pulih dari kekesalannya sore tadi, Lucia memberi ayahnya wajah yang kusut sebelum bergegas menyambut tamu.
“Selamat Siang.”, ucap suara datar tanpa keramahan sedikitpun. “Bisa bicara dengan tuan Heraldet?”
Siang? Sekarang sudah sore!
Lucia mencoba meredakan emosinya dengan menghela napas panjang, tapi sosok laki-laki dengan kain panjang hijau yang menutupi punggungnya itu tidak memedulikan dirinya. Laki-laki itu menatap Lucia tanpa rasa ketertarikan sedikitpun. Belum sempat Lucia membalas apa-apa, laki-laki itu menoleh, mengintip, ke ruangan dibalik Lucia.
“He, beliau didalam.”, ucapnya sambil menerobos masuk.
Orang gebl*k. Memangnya ini rumah siapa?
Tapi, Lucia terlambat untuk menahan dorongan pintu dari laki-laki --yang, jika dia tebak-- berusia dua puluh tahunan itu. Tentunya, tamu waras mana yang akan mendorong pintu untuk menerobos masuk?
Si jubah hijau kemudian masuk ke ruang tamu tanpa memedulikan wajah kesal Lucia. Sebelum kembali ke kamar untuk melampiaskan kekesalannya, Lucia sempat menguping percakapan dari ruang tamu.
“Selamat datang. Dimana rekan anda yang disebut-sebut ‘Rogue’ itu?”, ucap suara milik ayahnya.
“Saya kira kita disini bukan untuk membicarakan hal itu, tuan Heraldet.”, balas suara milik pria hijau tadi.
Ayah merekrut seseorang?
Kehilangan ketertarikan, Lucia pergi ke kamarnya yang terletak di lantai yang berbeda dari ruangan itu.
Ayah gila. Tidak adakah orang yang lebih baik daripada orang gebl*k itu?
-=-=-
Setelah kejadian yang begitu cepat, Exel tidak tahu harus memberi reaksi apa selain membalas senyuman Hvel.
Aku memiliki seorang adik.
Tentu saja, Exel sejak tadi mulai merasakan perasaan ‘memiliki’. Perasaan yang sama yang dia rasakan ketika Aeon masih hidup. Rasa memiliki keluarga. Setelah bertahun-tahun hidup ‘sendirian’, akhirnya dia kembali merasakan betapa pentingnya keberadaan dirinya bagi gadis yang berjalan di depannya itu. Begitupun sebaliknya.
Ternyata inilah alasan mengapa Hvel selalu tersenyum sejak bertemu dengannya. Sejujurnya, agak menyeramkan menerima senyuman dari orang yang baru pertama kali ditemui, bukan?
Artinya hanya satu, Exel memang sejak awal bukan orang asing bagi Hvel. Dan, entah mengapa, Exel membalas senyuman itu seolah dia telah mengenal Hvel.
Ada ‘sesuatu’ yang menghubungkan aku dengan adikku.
Gadis berambut putih itu terus berjalan sambil menari-nari dengan tangan dan kepalanya. Sesekali dia menoleh ke belakang untuk melihat kakak barunya. Senyuman di wajahnya itu sepertinya tidak bisa memudar.
“Kakak, cepat buka pintunya!”, seru Hvel dengan antusias.
Tersenyum kecil, Exel membuka kunci pintu rumah miliknya.
Hvel setuju untuk datang ke kediaman sederhana ini. Rumah biasa yang dimiliki oleh orang biasa. Ukurannya sedang, hanya sebatas memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan satu ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Exel akui, dia beruntung rumahnya punya dua kamar tidur. Kamar Hvel adalah yang dulunya digunakan oleh Aeon.
Yah, setelah masuk dia langsung meng-klaim satu kamar itu sebagai miliknya. Jangan bilang, kalau Hvel berniat tinggal disini?
Tentu saja dia tinggal. Seorang kakak harus melindungi adiknya, kan?
Exel sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan seorang kakak. Secara umum, ya dia tahu, tapi, teori dan praktik seringkali berbeda. Dan kemudian disinilah dia, berdiri di dapur sambil memasak makan malam untuk dua orang.
“Wah... apa yang kakak masak?”, tanya gadis kecil yang baru masuk ke dapur.
“Makan malam kita. Nasi, sup, ikan bakar--”
“--Harum sekali!”, seru suara yang terdengar begitu dekat.
Agak terganggu, Exel menoleh ke sumber suara. Gadis kecil yang berambut putih lurus, sama seperti ta-
Exel terkejut karena perubahan penampilan gadis itu. Jubah hitamnya kini sudah hilang, sehingga dia bisa melihat baju hitam lengan panjang dan rok hitam selutut yang gadis itu kenakan.
Apa dia menyukai warna hitam?
“Apa... apa ada yang salah?”, tanya Hvel sambil memperhatikan dirinya sendiri.
“Tidak, tidak ada.”, Exel lalu menolehkan kepalanya dan kembali fokus memasak.
Hvel berlari meninggalkan dapur. “Bohong~”, ucapnya sambil tertawa riang.
Setelah itu, Exel masih bisa mendengar derap langkah kakinya yang cepat, gadis itu benar-benar berlari di dalam rumah.
Aku harap dia menyukai masakanku.
Tiba-tiba Exel ingat kalau adik barunya itu bukan ‘orang biasa’. Mungkin dia punya selera makan setingkat dengan para bangsawan atau petinggi kerajaan. Yah, meskipun begitu, Exel yakin kalau dia akan memakan apapun yang dimasak... karena sepertinya, dia masih kegirangan setelah berhasil bertemu dengan orang yang dia cari.
Tersenyum, Exel melanjutkan pekerjaannya.
-=-=-
Sekuat apapun dia mencoba, Lucia masih belum bisa tidur.
Telinganya menangkap suara pintu yang terbuka, lalu kembali ditutup. Ada seseorang yang masuk ke rumah. Ayahnya? Bukan, karena dia seharusnya sudah ada di dalam. Lalu, tidak mungkin seorang pencuri. Di sekeliling rumahnya itu ada banyak jebakan magis yang akan memberi ledakkan kecil yang cukup untuk menjadi alarm anti-maling. Tunggu dulu, berarti yang masuk itu...
Penyihir?
Lucia bangkit dari tempat tidurnya, lalu bergegas keluar kamar. Dia mencoba mendeteksi Mana milik penyusup itu, tapi dia tidak merasakan ada siapapun lagi di rumah selain Mana milik ayahnya. Mungkin suara tadi hanya perasaannya saja, tapi bisa juga kalau penyusup itu seorang Magus profesional yang mampu menyembunyikan Mana mereka.
Gawat
Tidak ada suara apapun. Sepi, sepi sekali. Seolah, sebuah mantra penghilang suara sudah diaktifkan di ruang tengah.
Ayah!
Sekonyol apapun perilaku pria itu, dia tetap ayahnya, dan dia tetap patut untuk Lucia khawatirkan. Menuruni tangga, dia bergegas menuju satu ruangan yang menjadi ruangan terakhir dia melihat ayahnya.
Ketika dia menggeser pintu, hal pertama yang dia lihat bukan ayahnya, tetapi dua orang manusia bersenjata. Satu orang memegang sebilah pedang, sedangkan satunya lagi membawa dua di pinggulnya. Dibalik dua orang itu ada orang lain yang tergeletak. Sebuah tubuh. Dikelilingi oleh cairan aneh berwarna merah-- darah.
Dasar bodoh! Sudah ku-bilang...
Lucia menutup mulutnya agar dia tidak berteriak. Tapi itu percuma, dua pembunuh ayahnya itu sudah menyadari keberadaan dirinya. Ada noda darah di satu-satunya pedang yang dibawa lelaki yang berambut abu-abu.
Dia... dia...!
Lucia sudah mengira hal ini akan terjadi, tapi tetap saja matanya tidak bisa menahan tangis.
Orang yang berdiri di samping si pembunuh, kedua tangannya sedang menggenggam sebuah batu kerikil bercahaya merah yang terangnya menjadi satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini.
Lucia terpaksa berlutut karena kakinya tiba-tiba kehilangan kekuatannya.
Batu itu berisi Mana milik ayahnya, sekaligus menjadi sihir andalan ayahnya, yang, jika diaktifkan akan memancarkan cahaya merah sebelum akhirnya membuat ledakkan besar. Tapi, orang itu berusaha menahannya dan sepertinya berhasil.
“Waduh, masa aku harus membunuh seorang gadis”, keluh lelaki yang membunuh ayah Lucia.
“Jangan ganggu konsentrasiku, bisa-bisa batu ini meledak!”, balas orang yang satunya.
“Yah...”, seringai lelaki itu terlihat jelas. Dia kemudian mendekati Lucia dan bersiap memberikan serangan.
Gadis yang masih panik itu bahkan tidak mencoba menghindar. Matanya terus mengeluarkan air. Air mata yang tidak seharusnya keluar untuk orang bodoh seperti ayahnya.
Bunuh aku. Biarkan aku bertemu dengan ayah dan ibu.
Lucia menutup matanya, menerima apapun yang digoreskan sang takdir.
Setelah beberapa detik yang bagai selamanya itu, ternyata tidak terjadi apa-apa. Tidak ada rasa sakit, tidak terasa ada tubuhnya yang terluka, terpotong, atau sejenisnya. Lalu, suara besi yang terjatuh memaksanya untuk membuka mata.
Kenapa...? Kenapa aku tidak mati...?
Dua pria tadi terkapar, dan darah bercucuran dari tempat jantung mereka berada. Sedetik kemudian, sosok bayangan hitam berbentuk tubuh manusia muncul di samping kedua mayat tadi. Tiga, ditambah ayahnya.
Lucia bisa melihatnya dengan jelas karena ada sumber cahaya baru. Sebuah obor yang dipegang laki-laki berjubah hijau yang datang kesini sore tadi.
“Kita kurang beruntung, Rogue”, ucap laki-laki itu.
“Apa boleh buat.”, balas suara yang berasal dari bayangan hitam itu.
Kumohon... buat aku mati...
Laki-laki berjubah hijau itu memasuki ruangan, dan cahaya obor menerangi ruangan seutuhnya, tidak seperti sebelumnya yang cuma ‘mengintip’ dari luar ruangan.
“Gadis tadi?”, ucap laki-laki itu ketika dia menyadari keberadaan Lucia.
“Maaf Reinel, tapi aku tidak membunuh anak kecil.”, balas sesosok manusia berjubah hitam yang akhirnya bisa terlihat lebih jelas. Tetap saja, selain hidung dan mulutnya, seluruh tubuhnya tertutup warna hitam dari jubahnya.
Untuk apa... untuk apa aku tetap hidup...?
Si jubah hijau membalikkan badannya lalu keluar dari ruangan. ‘Orang’ yang satunya pun mengikuti dalam diam. Bersama itu, kegelapan kembali menghampiri Lucia.
“Rogue, kemasi barangmu. Kita pergi besok pagi.” Suara milik si jubah hijau itu menggema di rumah keluarga Heraldet.
“Apa karena kamu percaya kota ini membawa sial? Lupakan hal seperti itu Reinel, lebih baik kita menetap.”, balas suara orang yang satunya.
Sekarang sihir penghilang suara sudah lenyap, jadi percakapan mereka menggema ke telinga Lucia.
“Karena ada ritual gila itu lagi. Sepertinya dimulai besok.”
“Gila? Tanpa ritual itu, aku tidak akan bisa hidup kembali dan mengobrol denganmu.”
“Ah, aku lupa kau itu roh. Sudahlah, yang jelas kita pergi besok.”
Tangis sedu Lucia terhenti.
Hidup kembali? Roh?
Sihir dan hal diluar logika adalah makanan sehari-hari baginya, karena Lucia adalah seorang penyihir, Magus, atau apalah namanya itu. Dan sekarang, tiba-tiba pikiran gila ayahnya tertular padanya.
Yang mati bisa kembali hidup.
Setelah itu, Lucia menatap jasad ayahnya sekali lagi. Matanya pun kembali berair. Jauh di dalam hatinya, dia berjanji untuk memberi tubuh itu tempat yang layak dan penuh penghormatan.
Ayah... ayah bukan orang gila.
-=-=-
“Kakak, bulannya indah loh!”, seru sebuah suara yang begitu riang.
“Apa yang kamu lakukan? Diluar dingin, cepat masuk!”, balas suara lain dari dalam rumah.
Gadis berambut putih itu duduk di depan pintu masuk yang terbuka lebar. Dia masih tersenyum dengan senyuman yang sama seperti tadi siang, karena mimpinya benar-benar sudah jadi kenyataan. Untuk bertemu dengan sang kakak, dan...
Sekarang, aku sudah hidup bersama dengan kakak.
Belum sehari, tapi dia sudah merasa seperti hidup di dunia mimpi. Bulan sabit di langit pun seolah tersenyum padanya. Dia telah melalui banyak, banyak, hal untuk bisa sampai disini.
Hingga seembus angin membawa pergi senyuman Hvel.
Wailwood.
Kastil terkutuk itu. Sekaligus nama keluarga yang selalu membuat dirinya menderita. Tentu saja, anak-anak lain pun diperlakukan sama seperti dirinya, jadi, kebencian itu hanya layak diarahkan pada satu-satunya pemimpin keluarga itu.
--Anak kecil, tugasmu adalah memanggil roh terkuat yang sebelumnya pernah dimiliki Wailwood.
Itu adalah alasan kenapa dia bisa keluar dari kastil. Misi formal dari sang kakek. Tentu saja mencari dan hidup bersama sang kakak adalah misi pribadinya. Karena ingatan-ingatan itu, wajahnya berubah jadi murung.
Setelah memiliki ‘kehidupan’ baru yang luar biasa ini, Hvel pasti akan melakukan apapun untuk menjaganya.
Besok, akan kuamankan kakak.
“Aku datang, kakak.”, ucap gadis itu sambil memaksakan senyuman di wajahnya.
ns 172.69.59.198da2