-=-=- Pre-Prolog -=-=-
Disini hujan salju lebat.
Gadis kecil berambut putih menatap langit melalui jendela, tapi sayangnya, butiran-butiran salju menghalangi pandangan. Dari dalam kastil besar, dia terus melihat keluar dengan penuh harap.
-=-=-
Salju... putih... indah.
Dia menggunakan tiupan hangatnya untuk membuat embun di kaca jendela. Dengan tangan kecilnya, dia mulai menulis.
Keluarga Enma
Nama keluarga dari mendiang ayahandanya, sekaligus menjadi kata yang dia pilih untuk dia pakai sebagai nama.
Kallen
Nama sang ayah. Gadis kecil itu menulisnya dengan lembut, tanpa kesalahan sedikitpun. Kenangan terus bergulir di pikirannya bahkan ketika dia selesai menulis kata ini.
Miuna
Ibu. Ibu yang sudah lama meninggal. Dia marah pada dirinya sendiri karena dia sudah lupa dengan wajah sang ibunda.
Hvel
Namanya sendiri, yang, entah mengapa terasa begitu salah. Tentu saja, dia lupa satu nama lagi.
Exeleion
Nama orang yang belum pernah dia temui, tapi menurut cerita sang ayah, orang ini adalah kakak laki-lakinya.
Setelah selesai, senyuman terukir di wajah Hvel. Dia terus melihat hasil tulisannya dengan penuh kebanggaan.
Ibu... Ayah... Ibu... Ayah...
Bagaikan sebuah doa, dia mengulang-ulang kata itu di pikirannya.
Kakak.
-=-=-
Dia melangkah keluar dari ruangan paling terkutuk di kastil besar itu.
Gadis kecil berambut putih, lurus dan panjang. Pakaiannya hanya kaus lengan pendek berwarna putih yang panjang bagian bawahnya mencapai lutut. Bercak darah ada di perban yang membalut kedua tangannya. Setiap langkah yang dia ambil terasa begitu menyakitkan. Wajahnya meringik menahan sakit, dan matanya yang masih berair sejak tadi menandakan bahwa dia baru saja dan masih menangis.
-=-=- Prolog -=-=-
Salju.
Putih dan indah. Seperti warna rambutnya. Dia suka salju, tapi dia benci ketika udara terlalu dingin. Turunnya hujan salju adalah hal biasa di musim dingin ini.
Setelah mengenakan jubah hitam favoritnya, gadis kecil itu keluar kamar. Dia hidup di kastil besar nan megah. Kamarnya sendiri adalah salah satu yang termewah, meski dia curiga kalau kamar orang lain juga sama mewahnya. Disambut beberapa pelayan yang dia kenali, gadis itu berjalan semi-menari menuruni tangga, menuju aula utama.
Hari ini adalah hari dimana dia diperbolehkan keluar kastil untuk mengemban satu misi penting. Dengan sikap formalnya, gadis itu berjalan pelan-pelan dan elegan, agar pria tua yang sedari tadi menunggunya tidak naik darah. Pria itu adalah pemimpin keluarga sekaligus pemilik kastil ini, yang dua-duanya bernama Wailwood.
"Mengerti?" pria tua itu bertanya setelah menjelaskan berbagai hal tentang misi gadis itu.
"Tentu, kakek.", balas si gadis sambil merendahkan kepalanya. Dia tidak terlalu mendengarkan penjelasan kakeknya karena dia sudah tahu apa yang harus dia lakukan.
Setelah serangkaian formalitas lagi, si kakek kembali ke ruangan pribadinya dan akhirnya gadis itu bisa keluar kastil.
Setelah sekian lama, kaki kecilnya kembali merasakan dinginnya salju. Dia mengenakan alas kaki, tentu saja, tapi salju yang tebal masih sempat-sempatnya menyentuh kakinya yang tidak terlindungi. Dinginnya agak mengganggu, tapi masih bisa dia tahan. Karena, akhirnya, seekor burung terbebas dari sangkarnya.
Tidak bebas seperti itu, karena secara harfiah dia keluar untuk melakukan misi. Ini kali ketiga. Dua kesempatan sebelumnya juga dia sudah pernah merasakan hebatnya dunia luar, walaupun dihantui oleh tugas yang dia emban.
-=-=-
Bulan purnama.
Sinarnya putih dan menenangkan. Di malam yang sunyi, dia mengagumi betapa indahnya benda bundar di angkasa itu.
Tergeletak di atas rumput, laki-laki itu tidak bisa memalingkan tatapannya dari si bulan. Tubuhnya dikelilingi sebuah lingkaran besar. Terbuat dari goresan pedang, jadi seharusnya tidak terlihat jelas. Lingkaran itu bersinar putih redup, begitupun dengan simbol-simbol magis yang terukir di dalamnya.
Belum, belum cukup.
Masih belum waktunya untuk bermalas-malasan. Dengan sisa-sisa semangat dan tenaga miliknya, dia berdiri lalu mengambil sebuah longbow yang tergeletak di tanah. Dari quiver yang juga tergeletak, dia mengambil dua anak panah dan langsung memosisikan diri untuk menembak.
Sasarannya adalah satu dari sekian banyak pohon yang sudah otaknya tandai, berjarak sekitar seratus meter dari tempatnya berdiri. Target itu ada diantara pepohonan lain, karena ini adalah hutan.
Tangan kirinya memengang longbow dengan kokoh, juga sebuah anak panah yang diselipkan diantara jari-jemarinya. Tangan kanannya sudah menarik tali bersama satu anak panah lain. Matanya terfokus pada sasaran, sambil terus merasakan angin dan menyesuaikan sudut menembak.
Belum cukup sampai disitu, sekarang giliran mulutnya yang bergumam sesuatu. Sebuah mantra sihir.
D—e -p—d.
Suara laki-laki itu sangat pelan sehingga tidak terlalu jelas apa yang dia ucapkan. Suara hewan dan binatang malam lain juga tidak membantu. Seperti burung hantu, misalnya.
Lalu, satu anak panah melesat. Dan kemudian, dengan jeda kurang dari dua detik, anak panah lainnya melesat. Keduanya saling mengikuti, yang kedua membuntuti yang pertama. Dua-duanya kena ke pohon yang dimaksud, mendarat dengan perbedaan beberapa inci. Tidak ada lingkaran merah berlapis-lapis seperti target memanah umumnya, tapi pohon berjarak seratus meter memang cukup kecil jika dilihat dari kejauhan.
ns 172.70.127.12da2