Manusia tak pernah tahu, apa yang ada di sana dan apa yang terjadi di sana. Bahkan, kadang beberapa dari mereka tidak mempercayainya.
…
…
…
Kak Lisa…
Ia pergi begitu pagi bahkan sebelum mentari keluar dari bawah batas horizon. Namun dari apa yang terlihat, matanya begitu bersemangat dan senang. Mulutnya tersenyum sembari menjawab orang yang meneleponnya lewat telepon genggam yang ia tempelkan pada telinga. Senyum yang hangat dengan tambahan helaian syal merah yang membalut leher bersama mantel biru tua dan celana ketat namun tebal bewarna hitam. Kepala pirang itu tidak ia tutup dengan apapun, namun bawahannya mungkin sudah cukup untuk menghangatkannya dari suhu dibawah 200 pagi itu.
Jelas, ia menerima telepon dari editornya yang semalam bilang ‘naskahmu akan segera di muat oleh perusahaan kami.’ begitu.
Kalimat yang berisi beberapa kata cukup untuk membungakan hatinya. Selaku penulis, sejak Mama sakit Kak Lisa harus sementara hiatus dari dunia novelis, hingga akhirnya ia pergi. Jelas jika dalam waktu lama kakak tidak menulis atau memikirkan materi, maka bakatnya akan sedikit berkarat.
Dan masih teringat pada benang ingatan, ketika Kak Lisa ambruk dari kursinya di tengah malam. Ia agak terlewat mengasah bakatnya. Ketika menyentuhnya dengan telapak tangan, entah suhu di jidat putih itu dapat dihitung oleh termometer atau tidak. Panas, hanya itu yang diketahui. Saat itu musim dingin namun tubuhnya sama sekali tidak dingin, bahkan panasnya tidak dapat dibilang demam biasa.
Bekerja berbulan-bulan membuatnya anemia.
Namun, jerih payahnya sudah selesai. Pagi ini ia akan mengambil hasilnya. Juga, tanpa ia sadar senyuman kecil mengantar kepergiannya. Senyuman seorang adik yang umurnya tiga tahun lebih muda.
Tilung!
Bunyi khas aplikasi berbalas pesan via internet atau chatting. Untuk yang ini, cukup tersohor dengan logo hijau berbentuk balon percakapan bundar yang di dalamnya terkurung batang telepon. Di dalamnya, terdapat pesan dari seorang teman. Seorang teman yang begitu baik hingga pangkatnya telah berubah menjadi sahabat.
Untuk isi chat-nya ;
-------
Cecil : Cynthia hari ini kelas libur, kau ada rencana?
Cynthia : Hmm…
Cecil : Ada kedai baru yang buka di dekat mall. Kedai es-krim.
Cynthia : Tapi hari ini dingin lho.
Cecil : Kan disampingnya ada kedai Mie Bu Rina.
Cynthia : Tapi…
Cecil : ?
Cynthia : Aku ingin mengajak Kak Lisa, boleh?
Cecil : Hmm… Aku mencium bau-bau mencurigakan di sekitar sini.
Cynthia : Hah…
Cecil : Hari ini toh…
Cynthia : Tenang, nanti aku berikan naskahnya. Nanti tolong bantu idenya untuk bagian kedua. OK!
Cecil : Memang kau yakin dia akan segera pulang? Lie Savage adalah penulis yang hebat bukan. Bagaimana dengan tahun-tahun yang lalu ketika ia menghampiri editor.
Cynthia : …
Cecil : Kita bisa pergi nanti malam. Tugas untuk besok sudah kau kerjakan bukan?
Cynthia : Cecilia, bukankah seharusnya itu menjadi pertanyaanku?
Cecil : Jangan remehkan diriku!!!
Cynthia : Oke oke… Tapi kau tidak keberatan jika sebelum pulang untuk menemaniku ke tempat Mama kan?
Cecil : Tak apa.
…
…
Cecil : Cynthia?
Cynthia : Ah, untuk yang tadi, sepertinya tidak jadi. Kemarin aku sudah kesana.
Cecil : Oh…
Ok!
SIAP BOSS!!!
-------
Mama…
...
Ah, sudahlah.
Pakaian apa yang bagus untuk hari ini?
Butuh waktu cukup lama untuk mengobrak-abrik lemari setinggi dua meter. Beberapa pakaian berserakan hingga akhirnya ada yang beruntung untuk dipilih hari ini.
Mantel merah terang, celana hitam, dan syal hitam untuk penghangat. Nampak kebalikan dari Kak Lisa, namun pakaian ini cukup feminim untuk seorang wanita. Dan keuntungan untuk musim dingin bermantel adalah, tak perlu memakai tas karena kantung yang ada di dalam mantel cukup dalam.
Setelahnya, ketika melihat keluar jendela, sepertinya pukul tujuh mengubah pemandangan. Langit biru terang dengan awan mengepul di beberapa tempat, namun bukan sesuatu yang pantas dikhawatirkan. Dalam ponsel, suhu sudah naik empat derajat. Suhunya tak akan naik begitu banyak nampaknya di musim dingin.
Mau bagaimana lagi?
Sekarang waktunya keluar dan menyapa hari.
-----Space-----
Untuk sekarang suhu tidak begitu dingin. Karena mantel sih. Memang benar di musim ini suhu tidak dapat diprediksi sehingga mantel yang tidak begitu besar adalah pilihan yang tepat. Pakaian dalam kaos dapat digunakan untuk berjaga-jaga nanti ketika suhu berubah drastis. Mungkin.
“Aku yakin itu tidak akan terjadi.”
Cecil!? Padahal rumahnya lebih jauh tapi ia sampai ke perempatan lebih dahulu. Dan, kaos merah lengan panjang dengan rok hitam pendek ber-stocking hitam. Apa dia tidak kedinginan? Dan, apa dia meramalku tadi?
“Kakakmu, kulihat dia sedang berjalan dengan lelaki di depan kedai kopi. Ia lelaki yang nampaknya agak sedikit tua.”
“Heh!?” Sedikit penasaran terhadap perkataan Cecil. Meskipun Kak Lisa memang sering berjalan dengan lelaki tua karena-
“Pria itu berjenggot putih dengan kacamata hitam yang bulat, tidak cocok dengan wajahnya.”
“Ooh…” Untung dia melanjutkan kalimatnya.
“Kau mengenal dia?”
Mengangguk dan menghela napas. “Pak Norman. Ia adalah editor Kak Lisa. Ia memang tua dan sebenarnya ia begitu mencintai Nyonya Susan, istrinya. Jadi aku tak begitu khawatir. Toh dia orang yang terbuka.”
“Terasa ganjil.”
“Apanya?”
“Kau tahu seperti apa kakakmu, kan? Aneh rasanya orang seperti dia bisa dekat dengan orang-orang seperti itu.” Ekspresi bingung memenuhi wajahnya.
“Kakak orangnya baik, kok. Hanya kalau tidak diajak bicara duluan, ia akan diam tidak bicara satu kata pun. Dan, dia tidak suka bicara di tempat umum, jadi dia pasti memesan ruang VIP untuk bicara, tentunya kedap suara.”
Wajahnya terlihat semakin bingung. Sebenarnya cukup meyakinkan melihat dari ekspresi Cecil yang kelihatannya memikirkan hal aneh, namun memang rata-rata itu yang akan terjadi jika seorang lelaki tua membawa gadis berumur dua puluhan ke tempat sepi. Tapi Kak Lisa yang mengajaknya.
“Kurasa aku tak ingin mencampuri urusan keluargamu lebih jauh.” Ujarnya menyerah.
“Hah… Jadi pergi?” Sebuah pertanyaan kecil untuk mengakhiri percakapan aneh itu.
Ekspresinya berubah lagi. Riangnya kembali.
“Siap!”
Akhirnya.
Sembari berjalan di trotoar, terlihat Cecil begitu riang. Mengingatkan pada Kak Lisa tadi pagi, entah apa yang terjadi pada Cecil pagi ini? Dan, hal itu sudah jelas mengalihkan perhatian.
“Ada apa, Cynthia?” Tersadar diawasi.
“Kau terlihat senang?” Pony kemerahan itu tak dapat menutupi matanya yang bersinar-sinar.
“Kau tahu…” Merogoh kantung dalam tas feminimnya yang bewarna merah muda. Ia mengeluarkan beberapa lembar kertas persegi panjang dari kantongnya. Ada banyak sekali huruf di kertas itu, namun yang jelas ada gambar semangkuk mie yang nampak lezat.
“Apa itu?”
Dia tersenyum. “Hehehe… Papa, entah kebetulan atau apa, dia memberikanku beberapa voucher di Kedai Mie Bu Rina.”
“Wah!!!” Agak terkejut karena sepertinya dompet yang dibawa ini akan terjaga isinya.
“Makan sampai puas?” Tanya Cecil.
“Makan sampai puas!” Menimbalinya dengan ucapan yang sama, namun bernada berbeda.
Kembali berjalan dengan senyum menghias wajah. Begitu riang pagi itu, agak berbeda dengan suhunya namun tak begitu mengapa. Hari yang begitu indah, plus keberuntungan yang melimpah antara Kak Lisa, Cecil, dan mie. Kini, yang terpikirkan hanya mie apa yang akan dimakan dengan voucher sebanyak belasan lembar.
“Beruntung aku tidak makan tadi. Hehe.”
“Kau benar, Cynthia. Aku juga belum makan apa-apa tadi pagi.”
Melewati perempatan ke tiga dan akhirnya berbelok ke kiri melewati patung Aquarius yang besar, mermaid dengan gentong airnya. Tubuh yang berdiri tegak memakai tunik. Ia nampak begitu Dewi dan ekspresinya sangat nyata. Patung yang begitu cantik. Di sisi lain, beberapa bangunan nampak mulai beraktivitas bahkan sebelum waktu menunjuk angka delapan.
“Kenapa mereka begitu antusias, Cecil?”
“Entahlah. Tapi dengar-dengar orang lebih mudah lapar di saat musim dingin. Jadi mungkin itu alasan mereka membuka kedai lebih awal. Atau, karena sebentar lagi perayaan?”
“Mungkin kau benar.” Kemudian memandang pertigaan di depan mereka. “ Cecil lihat! Belokan terakhir.” Berlari dengan sekuat tenaga!
Antusias semakin tinggi melihat belum ada antrian di kedai mie itu. Jaraknya memang masih sekitar seratus meter lebih. Namun dari belokan ini dapat dilihat kedai itu masih sepi belum ada yang menjamah.
Tunggu apa lagi? Langsung masuk dan memesan!
Berjalan beberapa meter setelah melewati kuburan besar. Tempat yang begitu luas untuk hamparan batu nisan. Sekaligus, sepertinya itu tempat yang sepi untuk lahan seluas empat hektar. Juga…
Wanita itu masih disana.
“Bahkan setelah lulus SMA…”
Mata Cecil ikut melihat seorang wanita yang tengah membersihkan dedaunan di kuburan itu. Wanita itu menyapu lahan luas, sendirian. Sama seperti bertahun-tahun yang lalu.
“Ayolah Cynthia, kau tak perlu memperhatikannya. Si-” Cecil nampak berpikir. Alisnya berkerut. “Eh! Kok aku lupa namanya ya. Padahal kalau tidak salah dia sekelas dengan kita. Champ, Sam, Dam, atau Tam.” Ya… bagian akhirnya dia benar.
Namun mata tak mungkin lepas dari pemandangan yang terus menerus selama belasan tahun itu. Seorang wanita berambut hitam yang begitu panjang hingga harus dikuncir. Mengenakan jaket hitam dan celana hitam seperti menyatu dengan atasannya.
“Cynthia kenapa kau berhenti?”
Dan, pemandangan sabit yang selalu dalam keadaan berdiri terbalik di dekatnya membuat terlihat seperti Grim Reaper atau hanya cosplayer-nya. Mungkin awal-awal membuatnya terlihat menarik. Namun wanita bernama Tam itu terlalu jauh untuk didekati. Ia seperti memasang jarak dari orang-orang. Entah penampilannya, atau mungkin cara bicaranya. Padahal suaranya bagus.
“Cynthia!”
Meskipun, Pak Roh yang seorang wali kota nampaknya dekat dengannya. Rumahnya memang disamping kuburan ini. Kakak juga nampaknya mengenal Tam. Tapi hanya sebatas kenal. Ada beberapa yang lain juga sebenarnya…
“Cynthia!!!” Cecil berteriak seperti hendak merusak telinga orang.
“Eh! Kenapa tadi?”
“Kau bengong melihat dia.” Menunjuk Wanita Kuburan. “Memang kau suka sama wanita?”
…
…Loading…
…
“Aku masih normal!!!” Sedikit mengeraskan suara karena merasa diledek. Memang begitu Cecil orangnya, riang dan sedikit jahil.
“Bahkan kau tidak konsen dengan apa yang kukatakan. Ayo pergi! Kedainya sudah dekat.”
…
“Kau percaya kan kalau aku masih normal?”
“Kau malah membuatku takut jika menanyakan hal itu.”
Berjalan menuju kedai yang dekat itu, namun rasanya masa menjadi lambat. Apa yang aku pikirkan? Bayangan kuburan tadi masih ada dalam benak. Hal itu selalu membekas jika melewatinya. Aneh dan kenapa?
Setidaknya…
Kedai itu meski terlihat masih sepi namun kenyatannya sudah buka. Dan nampaknya Bu Rina sedang menata meja.
“Bibi! Kedainya sudah buka?” Cecil bertanya begitu sambil memasuki kedai dengan keseluruhan sisi yang terbuat dari kayu.
“Kalau menu mungkin baru beberapa bahan yang sudah sampai. Hari ini porsi yang kita masak agak sedikit banyak, jadi mobilnya harus bolak-balik. Dan, Cecil!” Menatap Cecil dengan tatapan yang agak kesal. Mata hitamnya menakutkan ketika menatap Cecil. Melihatnya dari luar sudah cukup untuk merasakan hawa yang mengerikan itu.
“Ada apa, Bibi?” Cecil nampak ketakutan.
“Harus berapa kali kubilang untuk tidak memanggilku BIBI!!! Dan kenapa kau membawa sepatumu masuk? Kan sudah ada sandal selop yang disiapkan untuk pelanggan!”
Ya… Karena Cecil selalu dimarahi ketika masuk ke dalam kedai ini, jadinya sekalipun tak pernah terlupakan untuk mengganti sepatu dengan sandal yang sudah disiapkan dalam rak.
“Maafkan aku Bi- Nyonya Rina.” Cecil segera melepas sandalnya dan pergi ke tempat duduk paling pojok.
“Cecil, masak kau lupa terus dengan sandal selop.” Juga panggilan nyonya.
Cecil masih terdiam karena tatapan menusuk tadi masih terbayang di angannya yang penuh imajinasi kejam.
“Awas sampai kau lupa lagi!” Bu Rina ternyata masih memandanginya, toh.
Seorang lelaki datang dan nampaknya membawakan kertas. Aneh, biasanya buku menu, tapi kali ini… Dan baru pertama kali dia terlihat berada di tempat ini. Lelaki berambut putih memakai kacamata bingkai merah yang kontras dengan warna rambutnya.
“Maafkan ibu, ya. Dia memang tempramen orangnya.”
Oh… “Anda anaknya Bu Rina, toh.”
Dia beralih dari tatapannya pada Cecil. “Ya, panggil saja Thomas.” Senyumnya manis.
“Namaku Cynthia. Lunar Cynthia.”
“Ohh… Ibu sering menceritakanmu.” Ujarnya.
“Benarkah?”
“Ia sering bilang ‘kenapa gadis manis seperti Cynthia punya sahabat berandalan seperti dia!?’ begitu.” Ah! Cecil toh. Dia cukup terkenal.
“Maaf, karena baru beberapa bahan yang datang jadi aku menulis menu yang ada dengan tulisan tangan. Maaf kalau tulisannya buruk atau salah huruf.” Menyodorkan kertas menu yang ia bawa.
Buruk bagaimana? Tulisan latin ini seperti font vladimir script di komputer. Tapi, ya… memang tulisan ini agak sulit dibaca, apalagi untuk…
“Pesan Dark Pool ukuran Jumbo. Boleh kubayar pakai voucher, kan?” Kok dia lancar bacanya? Dan lagi, apa Dark Pool cocok untuk menamai sebuah mie? Apa itu Dark Pool? Kok aku baru dengar.
“Pssst!” Mengkode. “Menu apa itu Cecil? Darkhole?” Sampai salah mengucapkannya.
“Dark Pool Cynthia. Ini adalah mie yang paling enak kesukaan ku.” Dia tadi menghapal, toh. Dan, kapan dia makan mie yang seperti itu?
“Kelembutan dan rasa unik dari kuahnya akan membuatmu berdebar. Kekuatan dari kaldu unik yang membuat gabungan antara daging-daging itu akan membuat bertekuk lutut atas hebatnya karunia Dew-”
“Lebih tepatnya, ini adalah mie dengan kuah hitam. Rasanya agak pedas karena lada dan bumbu rahasia yang membuat kuahnya bewarna hitam. Tapi tenang saja, ini bukan tinta gurita, kok.” Thomas memotongnya.
“Begitulah.” Begitu apanya, Cecil!? Penjelasanmu tidak ada yang benar!
“Karena air dan bumbu bekunya sudah ada, mungkin hanya butuh sepuluh menit untuk menghidangkannya. Jadi tunggu sebentar, ya. Untuk minumnya? Kusarankan jeruk untuk mengurangi pedasnya.” Dia ramah.
“Memang voucher ini berlaku untuk minuman?” Tanya Cecil.
“Yang ini gratis, kok. Masih pagi. Paling nanti kalian akan beli es-krim di kedai samping, kan. Jadi sebaiknya minuman yang tidak terlalu manis untuk melembutkan pedas, tapi makanan pedas memang cocok agar kalian merasa gerah dan menikmati es-krimnya dengan lebih nikmat.” Bahkan dia berpikir sampai sejauh itu. Apa ini? Dia seperti sedang membaca pikiran. “Atau kalian ingin minum yang manis? Kudengar minuman manis akan memperkuat sensasi pedas.”
“Tidak, tidak perlu. Terimakasih Thomas. Aku dan Cecil juga nampaknya akan beli sedikit lebih banyak. Mumpung kuliah libur hari ini dan ada voucher yang berlaku sampai lusa. Vouchernya agak banyak, jadi rencananya kami habiskan hari ini atau membungkus beberapa.”
“Oh, begitu. Baiklah. Tunggu sebentar ya.” Ia tersenyum dan pergi menuju dapur. Padahal karyawan baru namun keterampilannya sudah sebegitunya. Mungkin karena dia anak Bu Rina. Dan, pagi-pagi ia sudah kelihatan berkeringat. Ia pasti bekerja keras. Padahal musim dingin seharusnya jarang orang berkeringat.
Sambil menunggu, Cecil memainkan ponsel pintarnya. Nampaknya dia sibuk. Kalau begitu, sepertinya lebih nikmat jika menunggu di kursi kayu depan sambil merasa dan menikmati udara pagi di luar. Entahlah, hampir jam sembilan namun udara masih dingin, bahkan turun menjadi dibawah 20.
“Mungkin akan turun salju.” Ujar Bu Rina. Ia mendekat dan ikut duduk, mungkin bangku-bangku sudah rapih.
Untuk menanggapi ucapannya tadi. “Mungkin saja. Kadang-kadang, desember memang indah jika turun salju.”
“Kau lihat.” Menunjuk orang-orang yang membuka kedai atau tokonya. “Semua nampak antusias untuk merayakannya. Entah tahun baru, ulang tahun kota, atau yang lain.” Ujar Bu Rina.
Pemandangannya memang terlihat kondusif namun begitu tenang. “Namanya juga setahun sekali.”
“Ya…” Bu Rina berhenti bicara. Ia ikut memandangi pagi itu. Pagi yang tenang dan belum begitu ramai. Mungkin karena dingin, orang-orang lebih memilih meramaikan tempat ini ketika jadwal makan siang. Sedikit mobil yang lalu-lalang juga untuk manusi-
“Tam?”
Wanita itu tidak membawa sabitnya. Baru kali ini terlihat ia berjalan keluar dari kuburan selain sekolah. Apa yang ia lakukan. Dan, ia mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam…
“Tam mau beli bunga sepertinya.” Ujar Bu Rina.
“Beli bunga?”
“Ya… Ketika ada kuburan baru, selama beberapa hari akan ia taburi bunga di kuburan itu.”
“Apa dia yang menggali kubur?”
“Ya.”
“Dia yang membersihkannya?”
“Ya.”
“Apakah dia digaj-”
“Kau tertarik dengan Tam?” Mata Bu Rina melihat dengan aneh. Dan entah kenapa…
“Ti ti tidak kok!” Perasaan malu terasa. “Jika melihat orang semuda dia tidak kuliah dan bekerja berada di kuburan seperti itu, aneh rasanya…”
“Dia kerja, kok.”
“Heh?” Membingungkan.
“Dia kerja di Universitas Cochlea, lho.” Orang yang tiap hari di kuburan ternyata, bekerja juga. Gali kubur juga kerja, sih. Tapi… Ya, tahulah. Dan…
“Eh! Itu tempat kuliah ku.”
“Heh?” Tiba-tiba Bu Rina nampak sedikit bingung. “Aneh sekali. Orang yang bekerja sebagai teknisi internet dan perangkat di universitas itu adalah teman satu SMA, tapi kau tidak mengenalnya.”
“…” Bu Rina nampak mengenalnya dengan baik. membingungkan.
“Kupikir karena kau satu SMA, kau mengenalnya. Ternyata tidak toh… Sama seperti yang lain. Aku juga hanya tahu sedikit, sih.” Sudah kuduga.
Ya. Nampaknya Tam sama seperti wanita-wanita lainnya. Ia bekerja dan pernah mengalami masa SMA. Hanya, karena setitik hal yang berbeda ketimbang orang lain…
Semua orang menganggapnya tidak ada. Hampir semua orang…
…
“Kak Cynthia, ya.” Tiba-tiba Thomas muncul dari dalam kedai. “Mie sudah siap. Aku tambahkan jus jeruk satu teko karena melihat temanmu… nampaknya…” Nadanya semakin suram.
Penasaran dan mencoba melihatnya. Nampaknya memang ada hal yang akan terjadi pada Cecil. Wajahnya benar-benar merah seperti orang demam. Tubuhnya gemetaran dengan lidah yang menjulur keluar sembari bernapas cepat seperti orang lari, atau anjing.
“Nampaknya temanmu akan segera…” Ujar Bu Rina dengan nada turun yang menyedihkan.
Merinding melihatnya. Apa yang kedai ini masukkan kedalam mie itu?
“Kakak ingin ganti menu?” Terdengar suara Thomas yang menyarankan.
“Sepertinya, aku tidak ingin yang bewarna gelap…”
---------Continued---------
ns 172.70.179.96da2