Cinta sejati adalah sebuah perasaan yang saling mempercayai dari dalam dan luar manusia yang menjalani. Menjalani setiap gonjangan batu besar yang sering menghalangi langkah mereka menuju satu mimpi.
362Please respect copyright.PENANAYt4dhaUxkC
Keluarga yang harmonis yaitu keluarga yang saling memberi kebebasan dalam sesuatu yang positif. Kata - kata itu tak berlaku di hidup Tiara, dimana ia tak pernah mendapat kebebasan dalam melakukan sesuatu yang positif. Tiara jarang mendapat perhatian dari kedua orang tua namun ia banyak di kekang oleh mereka. Salah satunya pilih pertemanan yang satu kasta dengan keluarganya. Tiara di ijinkan berteman dengan orang - orang kaya atau anak orang kaya. Dirgha dan Dian tak menerima Tiara berteman dengan orang di bawah derajatnya. Sepenting itukah sebuah kasta.
"Gimana kuliah kamu, nak?" Ayah bertanya.
"Baik, Yah."
"Kamu berteman dengan anak sederajat dengan kita kan?"
"Iya, Ayah."
"Bagus."
Suasana malam ini mereka makan malam di rumah. Tak ada yang spesial, terasa hambar seperti biasa. Pertanyaan - pertanyaan tadi selalu terulang setiap makan malam di mulai. Tiara merasa jenuh di jejali pertanyaan yang sama. Namun setelah itu mereka menikmati makanam masing - masing.
"Tiara. Kamu bertemu anak miskin itu lagi?" tanya Bunda.
Suara sendok dan piring saling beradu keras, mengagetkan semua yang ada di sini, termasuk Dian. "Apa!!"
"Apa benar yang di katakan Bunda kamu?" suara Ayah sedikit meninggi. Tiara hanya membisu, kedua tangannya bergetar. Syok dengan pertanyaan Bunda dan Ayah.
"Jawab Tiara!"
"Apa kamu masih berhubungan dengan anak miskin itu?" tanyanya tegas.
"I...iya Yah."
Dirgha mendengus kesal, "Ayah udah bilangkan. Jauhi anak miskin tak bermoral itu! Dia sudah berani nantangin Ayah!!!"
Suasana semalin tegang dan panas dengan perdebatan anak dan Ayah mengunggulkan ego masing - masing.
"Tapi aku sayang sama Rangga, Yah." balasnya keras.
"Kamu berani melawan Ayah? Tau apa kamu tentang cinta. Ingat Tiara, dia itu miskin tak punya apa - apa buat kamu dan keluargamu. Hidup itu realistis, uang itu prioritas. Kamu bilang cinta? Cinta tidak bisa membuat kita kaya.
" Ayah kenapa sih. "mulai terisak, " selalu mementingkan kekayaan dari pada ketulusan. Cinta bukan uang, Yah. Rangga tulus mencintai Tiara. Tiara tau Rangga miskin materi tapi Rangga mempunyai hati yang baik dan bertanggung jawab."
"Gembel tetaplah gembel." sanggah Dirgha. "Sekarang dengerin kata Ayah. Kamu harus putusin anak itu atau kamu jangan anggap Ayah sebagai Ayah kamu."
"Tapi Ayah?"
"Enggak ada tapi - tapian!" potong Dirgha keras. "Pilih keluarga atau anak miskin itu."
Pilihan yang membuat Tiara dilema. Di satu sisi ia mencintai keluarganya namun di sisi lain ia juga mencintai Rangga. Tiara menangis sejadi - jadinya sambil kedua tangannya memegangi dada. Rasanya tak sanggup memilih satu di antara mereka. Tiara sayang mereka semua.
362Please respect copyright.PENANANL8HWvMHv7
©ReadEnjoy
362Please respect copyright.PENANAe9dPVviBhr
Hidup memang keras namun harus dapat menahan. Sekeras ombak yang menerjang Batu Karang yang berdiri kokoh jutaan tahun. Batu Karang selalu menahan amarah ombak secara terus menerus tanpa lelah dan mengeluh.
Kehidupan keluarga Rangga seperti Batu Karang. Di terpa berbagai ujian hidup bertahun - tahun selalu tetap bertahan dan berdiri kokoh. Hinaan dan cacian menerpa mereka di sambut dengan senyuman dan kesabaran. Mereka tak pernah mengeluh sama sekali kecuali adik Rangga, Melanie. Dia selalu menggerutu minta ini - itu, jika tidak di turuti, ia akan marah. Tapi untungnya ada Rangga yang bisa memberi Melanie pengertian. Setiap perkataan Rangga selalu di dengar, itu yang membuat Rangga sangat istimewa di keluarga ini.
Rangga baru saja pulang dari tempat kerjanya. Ia bekerja 'Cleaning Service' di sebuah perusahaan. Sebuah pekerjaan rendah kata orang, dengan predikatnya seorang Sarjana. Rangga tak memperdulikan itu karena pekerjaan apapun itu ia akan laksanakan asalkan halal. Rangga berfikir bekerja sebagai Cleaning Service itu sangat mulia, dimana saat ini kebanyakan orang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan.
Langit sudah memasuki fase gelap. Awan juga mulai termenung menandakan akan turun titik demi titik hujan. Keadaan rumah Rangga yang jauh dari kata mewah terlihat tenang. Ibu memasak di dapur di bantu oleh Fania. Rangga menggurat senyum melihat kekompakan mereka berdua, canda dan tawa mereka serta keisengan mereka satu sama lain. Betapa ia beruntung memiliki Ibu dan Adik seperti mereka.
"Rangga. Udah pulang sayang." sambut Ibu keluar dari dapur. Ibu menghampiri Rangga yang sedang berdiri memgamatinya dan Fania. Kebetulan dapur dan ruang keluarga menjadi satu tanpa ada pemisah apapun.
"Iya Bu." Rangga mendaratkan tangan Ibu ke keningnya.
"Gimana pekerjaanmu? Capek?"
Menghela nafas lalu tersenyum tergurat wajah letih, "lumayan sih Bu." Sesaat Rangga menatap salah satu pintu kamar. Ibu mengikuti arah pandangan Rangga dan mengerti, "Ayah kamu sedang istirahat. Tadi dia Ibu bawa ke Puskesmas karena Ayah tadi mengeluh kesakitan."
"Terus sekarang gimana keadaan Ayah?"
"Sudah baikan, kamu tenang saja." jawab Ibu tenang.
Rangga merangsek ke kamar Ayah, pintu tertutup rapat. Di depan pintu, Rangga sempat diam namun detik selanjutnya ia menggerakan engsel pintu dan membukanya lalu mendapati Ayah sedang tertidur pulas. Rangga mrnghampirinya, duduk di pinggiran kasur usang yang sudah tak layak pakai. Tangan Ayah di genggam, raut wajah menandai keprihatinan yang mendalam. Bukan keadaan yang memprihatianlkan tapi penyakit Ayah. Kehidupan keluarganya memang memprihatinkan namun ia bisa bertahan berangsung sedikit demi sedikit merubahnya. Tapi dengan keadaan Ayah seperti ini, Rangga merasa sedih. Penyakit yang bersarang di dalam tubuh Ayah semakin berkembang di tambah kurang bantuan medis karena tak ada biaya. Penyakit jantung merupakan penyakit orang kaya, begitu pikirnya dan sekarang menimpa orang miskin sepertinya. Penyakit memang kejam, menyerang tanpa pandang bulu.
"Aku harus merubahnya, aku harus bisa menggapai mimpiku. Demi keluarga aku akan mengorbankan apapun. Semua harus berubah. Aku tak bisa merubah takdir tapi aku bisa merubah nasib."
Rangga berdiri, mundur beberapa langkah. Dari belakang Ibu, Fania dan Melanie menghampiri Rangga. Mereka berdiri sejajar menuju pandangan yang sama. Suasana menjadi hening.
"Kita harus merubah semuanya. Kita harus bangkit. Kita tunjukkan kita bisa seperti mereka." buka Rangga.
Ibu, Fania dan Melanie mengerti dengan perkataan Rangga, meski terdengar insplisit mereka tahu apa maksud Rangga. Merubah kehidupan yang selama ini melekat di dalam diri mereka. Mengubah nasib agar menjadi lebih baik lagi. Keyakinan modal utama untuk mencapai sebuah tujuan yang hakiki.
362Please respect copyright.PENANAFXx3sTHtNi
©ReadEnjoy
362Please respect copyright.PENANAXa1sX2nVdQ
Satu minggu sudah Tiara menjalani masa - masa ospek yang menyenangkan. Sungguh menyenangkan bisa dibilang. Ospek saat ini berbeda dengan zaman dulu yang penuh dengan kegembelan yang hakiki, di tempa kegiatan di luar kampus, diarak untuk melakukan sesuatu yang gila. Tapi sekarang sudah berbeda, dimana sekarang masa ospek sesuai prosedur dari kampus. Baru satu minggu menjadi anak kuliah, Tiara sudah memiliki banyak teman. Salah satunya Melanie Sanjaya. Dari awal ospek mereka selalu bersama. Bahkan mereka cepat akrab seperti sahabat lama. Tiara mengetahui Melanie dari keluarga yang tidak mampu, namun tak menghalangi niatnya untuk berteman. Ayah dan Bunda selalu berpesan untuk pilih - pilih teman yang sederajat dengan kasta keluarganya. Tiara hanya 'mengiyakan' tapi dalam kenyataannya Tiara bebas berteman, tak peduli mereka kaya atau miskin. Yang terpenting baginya memiliki banyak teman itu menyenangkan. Satu hal yang masih mengganjal di dalam hati Tiara: Melanie selalu menolak jika Tiara ingin berkunjung ke rumahnya dengan alasan yang sama.
"Ayo dong. Sekali - kali main ke rumahmu." rajuk Tiara seraya menggoyang - goyangkan tubuh Melanie.
Melanie malah cengar - cengir, "kapan - kapan aja ya Ra. Rumahku lagi kurang kondusif."
Itu lagi.
Tiara selalu cemburut. Jawaban Melanie selalu sama: rumah yang kurang kondusif. Tiara masih bertanya - tanya: kenapa selalu begitu jawaban Melanie ketika ia ingin berkunjung rumahnya. Apa se-urgent itu sampai dibilang rumah Melanie kurang kondusif.
"Hey! Ngelamun aja." tegur Melanie. Tiara gelagapan tersedak minuman yang ia minum. Melanie merasa tanggung jawab mengusap - usap punggung Tiara.
"Ih. Kamu tuh ya selalu ngagetin aku. Sampai tersendak kan, perih lagi."
Melanie tertawa lamayan keras, "maaf neng cantik. Terlalu bersemangat."
"Masih penasaran dengan rumahku?" tanya Melanie tiba - tiba.
Mata Tiara berbinar, "masih..masih...masih. Kamu mau ngajak ke rumahmu kan?"
"Uy. Semangatnya anak ini." ucap Melanie sembari tertawa puas. "Sayangnya enggak."
Tiara memberut kembali tak bergairah..
"Ceileh Ra, cemberut lagi. Lucu deh aku liatnya kamu cemberut gitu." Melanie tertawa lebih gahar lagi. Tiara tambah bete. "Iya...iya nanti ke rumah ya."
Tiara geleng - geleng kepala," hari ini aku enggak bisa. Aku ada janji sama cowokku." Tiara sedikit kecewa. Ajakan Melanie untuk berkunjung ke rumahnya batal karena ia sudah ada janji bertemu dengan Rangga.
"Oh gak apa - apa, lain kali aja ya."
"Maaf."
Tiara dan Melanie mengakhiri obrolan ini. Suara bel masuk kuliah membubarkan diskusi kecil mereka. Satu hal yang unik di sini, Tiara gagal berkunjung ke rumah Melanie karena ia akan menemui Rangga, kakak Melanie. Begitu pun dengan Melanie, ia tak mengetahui kalau sahabatnya ini kekasih dari kakaknya.
362Please respect copyright.PENANAx0l5ioYQ89
©ReadEnjoy
362Please respect copyright.PENANAz8uXAHYlwE
Taman ini begitu banyak anak - anak yang dari raut wajah mereka menggambarkan kesenangan. Rangga duduk di bangku panjang dekat dengan jalan berbalok tak jauh dari anak - anak itu bermain. Sore semakin terang, langit berangsur memerah. Sunrise mulai bermain dengan langit. Dalam benak Rangga masih bertanya: ada apa Tiara mengajaknya ke taman ini. Tumben sekali. Sudah lama Tiara tak mengajaknya ke sini. Rangga memandang anak - anak itu lagi, mereka sudah berhamburan pergi karena langit sudah sore.
Suara detupan sepatu dengan aspal berbalok terdengar. Rangga melirik ke samping lalu mengguratkan senyum di wajah letihnya. Namun wajah Tiara terlihat datar bahkan ia tak kunjung mendekat. Rangga berdiri sambil mengernyitkan kening, heran dengan Tiara yang menjaga jarak dengannya. Terakhir bertemu, tak ada konflik diantara mereka. Sekarang seolah - olah ada suatu masalah. Rangga berjalan satu langkah, Tiara hanya bergeming. Suasana menjadi sunyi.
"Rangga..."
"Aku mau ngomong hal penting." suaranya datar, sedatar wajahnya.
"Iya, ada apa?"
Tiara menghela nafas panjang. Ia bingung bagaimana harus mengatakannya. Berat hati ini untuk mengungkapkan kata pahit. Syair - syair emosi menggelantung di hatinya. Sebuah emosi yang tak bisa ia ungkapkan dengan lugas.
"Tiara." panggil Rangga pelan.
"Maafin aku Rangga." hanya itu yang bisa terlontar dari mulut Tiara.
"Maaf." gumam Rangga tak mengerti. "Maksud kamu?"
Tiara memejamkan mata lalu dibuka, menatap Rangga dan meyakinkan diri. "Kita putus!"
Bagai ditampai badai dahsyat menjalar ke seluruh tubuh Rangga. Rangga menggeleng kepala cepat, "apa! putus? kamu bercanda kan?"
Tiara menggeleng cepat. "Liat mataku Rangga! Liat! Apa aku bermain - main dengan ucapanku!" keras sekali suara Tiara.
"Kenapa? Salah aku apa sama kamu? Terakhir kita ketemu kita masih baik - baik aja tapi sekarang kamu bilang putus." Rangga terpancing emosi.
Tiara terdiam, tak bisa membalasnya.
"Apa karena aku miskin sehingga kamu berpikir ulang tentang masa depan hubungan kita. Kamu berpikir denganku kamu enggak mempunyai masa depan. Apa kamu sekarang sepaham dengan Ayah dan Bunda kamu tentang aku yang tak mempunyai apa - apa dan kita beda kasta."
Rangga tersenyum sinis, "apa aku yang terlalu bodoh mengharapkan cinta dari anak orang kaya dan mengira akan menggrogoti hartanya."
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi kanan Rangga. Tiara lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan, wajah penyesalan telah menampar Rangga. Ia terlanjur emosi dengan perkataan Rangga.
Rangga sendiri masih memegang pipinya, "kamu telah berubah Tiara." hanya itu yang terucap sambil mengusap pipi yang memerah. Kini Tiara memandang Rangga, raut wajah Rangga menyiratkan kekecewaan dan kemarahan yang sangat mendalam. Apalagi hatinya, Tiara tahu semakin hancur tapi harus bagaimana lagi, ia tak punya pilihan lain selain keputusan ini. Tiara sudah di ultimatum oleh Ayah untuk memilih Rangga atau keluarganya. Pilihan yang sangat sulit yang membuat hatinya dilema. Dan ia tahu ia sekarang memilih keluarganya di banding apapun termasuk Rangga, kekasih yang sudah satu tahun mengisi relung hatinya.
Rangga juga merasa ini sangat klise, tak jelas dan hambar. Tiara tak mengatakan alasan dia memutuskan hubungan dengannya. Bukan jawaban yang didapat tapi sebuah tamparan keras untuk pertama kalinya didapat selama dalam kurun satu tahun. Selama setahun ini hubungan mereka sangat baik - baik saja. Mereka saling menutupi kekurangan satu sama lain. Tiara yang manja yang selalu tertutupi dengan kedewasaan Rangga yang sederhana. Namun kini semua itu tinggal kenangan, semua hancur karena mungkin Tiara frustasi dengan hubangan ini yang tak kunjung mendapat restu dari Ayah dan Bunda. Rangga menatap punggung Tiara berjalan menjauhinya, muncul satu tekad dalam benaknya: aku buktikan aku bisa seperti Ayah dan Bundamu ingin. Aku buktikan bisa seperti mereka dengan kasta yang lebih tinggi. Dan kamu Tiara, tunggu aku ya. Aku akan kembali untukmu. I m believe you are my true love.
ns18.189.188.157da2