-
info_outline 資料
-
toc 目錄
-
share 分享
-
format_color_text 介面設置
-
exposure_plus_1 推薦
-
打賞
-
report_problem 檢舉
-
account_circle 登入
ceritaku mungkin sangat klasik. Di dunia yg luas ini aku yakin banyak sekali cerita patah hati yang sama atau lebih dasyat dari yang telah aku alami.
Tidak tahu akan seperti apa jalan hidupku kelak, tapi di usia ini rasanya hidupku sudah begitu kelamnya tanpa harapan. Aku pun tidak mengira akan berjalan seluka ini.
Ini adalah kisahku...
sejak usia 2 atau 3 tahun aku sudah kenyang dengan bentakan bundaku yg bisa ngamuk sedemikian rupa karena aku tidak mau sikat gigi menjelang tidur. Aku sering kali tidak mengerti kenapa bundaku bisa segila itu berteriak padaku yg baru 2th. Tapi lagi lagi aku selalu memaafkannya dan setiap hari aku lupa akan kengerian hari hari itu, kami berdamai berpelukan dan bundaku pun membacakan buku buku yang berisi kisah kisah penuh cinta dan makna.
Bundaku sering bercerita betapa aku membuatnya stress dan repot sejak bayi, karena sering berteriak tanpa sebab. Hal itu berlanjut sampai usiaku 3bulan. Katanya bunda sampai kurus sekali dan ayah kurang tidur padahal esok paginya harus berjuang naik motor ke tempat kerja yang sangat jauh dan macet.
Rasanya tidak ada cerita indah tentangku dari mulut kedua orang tuaku. Tapi aku tidak mampu membenci keduanya, lagi lagi aku akan kembali dan merindukan pelukan mereka. Bagai koin dengan dua sisi, keduanya sering berganti peran dari protagonis yang manis dan antagonis yang sadis. Tidak segan bundaku memukulku tapi diiringi dengan tangisan kesedihan darinya. Dia selalu merasa gagal dan bingung.
Bundaku bukanlah seorang ibu muda, sebagai seorang ibu usianya sudah cukup di usia 30an tahun, tapi ternyata dia tidak pernah menjadi dewasa juga masih sering egois tapi aku sedikit banyak tahu begitu banyak luka yang dimilikinya, banyak kecewa yang ditelannya sementara tidak ada tempat dia bercerita.
Ibuku telah menjadi yatim piatu, tidak ada tempat dia untuk menangis dan dipeluk lagi. Begitu pun ayahku, dia lebih suka lari pada hal hal yang membuatnya melupakan keruwetan dalam rumah dengan berkutat bersama gadgetnya. Kurasa bagi keduanya aku dan adikku hanyalah beban yang harus mereka tanggung, dan membuat mereka pusing setiap harinya.
Ayahku tidak jauh berbeda dari bunda, dia tidak ingin melihat atau mendengar sesuatu yang tidak pada tempatnya atau sedikit saja kelalaian kami maka tidak sekalipun kurasa dia bicara dengan nada lembut. Dia akan menyeret kami dengan kasar. Satu dua pakaian ku telah robek karena kuatnya dia menarik kami keluar dari rumah.
Semalam... adikku diseretnya, ah dia baru juga berusia 6th. Karena sampah cup Plastik bekas minuman kemasan dia geletakan saja di lantai kamar. Maka luapan emosi ayah begitu besar. Ayah menariknya keluar dari kamar, sayangnya karena kesalahan adikku dia terjepit pintu tapi ayah tidak peduli masih saja ditariknya adikku. Bunda pun menengahi, alhasil keduanya bertengkar. Berakhir saling diam.
Hal hal semacam itu jadi makanan untukku sejak aku kecil. Apalah dayaku... kadang aku memilih diam tidak peduli. Kadang aku berusaha ikut melerai. Begitulah lukaku tidak pernah tersembuhkan.
Seringkali bunda berusaha menutupi lukaku dengan membuat memori memori indah...tapi aku melihatnya begitu semu. Itu hanya dunia lain yang diciptakannya untuk menutupi rasa bersalah juga mengobati luka batinnya sendiri. Tapi pelukannya selalu menenangkanku aku bisa menangis meluapkan emosiku dalam pelukannya.
Permasalahan keluarga ini tidak berhenti sampai di situ saja. Seperti kebanyakan keluarga lainnya, kami juga punya masalah keuangan. Tapi kalau ku pikir di lingkungan kami, seolah keluarga kami ini yang paling sulit.
Hari hari belakangan ini bundaku tidak lagi bisa sembunyikan betapa sulitnya keuangannya. Tabunganku telah dikurasnya untuk membantu membeli buku sekolah adikku. Sementara kebutuhan ku pun belum dibelinya. Sepatu ku telah sempit, pensil warnaku habis, hadiah jaket yang dijanjikannya belum juga ia beli. Bahkan tabungan recehku pun diambilnya untuk membeli bekal sekolah kami sehari hari.
Saat ini adikku pasti tengah kelaparan menungguku pulang, membawa catering yang bisa dibayar bulanan. Catering ini akan bunda bayar ketika ayah gajian.
Bahkan saat ini pun tumpukan pakaian belum dicuci, juga tumpukan piring. Bunda tidak lagi punya sabun cuci baju dan cuci piring. Token listrik pun hampir habis, hari ini kami was was karena mungkin listrik kami akan berbunyi.
Ibuku masih punya dua bungkus mie instant, sayangnya gas untuk memasaknya pun telah habis. Ku harap adikku sedikit lebih sabar menungguku.
Dari semua kekacauan itu ada satu hal lagi yang tidak masuk logikaku sama sekali. Aku masih terlalu kecil, aku tidak mengerti hubungan orang dewasa. Tapi secara tidak sengaja kami menemukan foto ayah bersama perempuan, tapi itu bukan bundaku. Ayah terlihat tersenyum tertawa dalam video video nya. Kami merasa hal itu sangat aneh. Siapa perempuan itu, kenapa ayah tidak seperti ayah kami. Kenapa ayah memeluk atau dipeluk perempuan lain.
Setelah bunda tahu hal itu, bunda menangis berhari hari dan tidak lagi bicara. Yang bisa dia lakukan hanya menangis, bahkan dia masih harus berangkat bekerja dengan tatapan kosong lalu menangis lagi. Hal itu berlangsung beberapa hari mungkin minggu. Ku pikir bundaku sudah menjadi gila.
Sekarang ini kalau ditanya apa aku mau melanjutkan sekolah di pesantren dengan tegas aku mengatakan iya, sebelumnya aku selalu menangis jika bunda menawarkan sekolah di pesantren. Akhirnya aku mencapai keputusan bulat itu. Kurasa karena aku tidak lagi bisa menahan rasa sakit yang bertumbuh dan terus menghantuiku juga menghancurkan perlahan.
Tapi kali ini bunda bertanya, mengapa tiba tiba aku ingin ke pesantren, betapa polosnya aku, ku jawab karena bunda dan ayahlah alasan aku setuju belajar di pesantren. Bunda pun mengajak ku berdiskusi, agar aku meluruskan niatku. Kami menangis bersama, bunda meminta maaf atas kekhilafannya juga khilaf ayah atas kata katanya yang melukai hatiku.
Satu pagi, dengan alasan harus menghadiri acara pagi karena pekerjaan ayah harus datang lebih pagi. Aku telah berusaha sebisaku untuk bergegas, tapi ayah mengatakan "Anak kayak kamu memang seharusnya sekolah di sekolah untuk anak anak terbelakang" kata kata itu merobek hatiku luar biasa. Tapi bunda berusaha menjelaskan padaku apa yang terjadi pada ayah sampai berkata begitu, dan bunda bilang agar aku berbagi apa saja yang mengganggu pikiranku, bunda tidak ingin aku menjadi gila.
Hidupku masih berlanjut dengan rasa seperti berjalan di atas pecahan kaca, energiku seolah habis sepanjang hari. Pagi ini aku diantar sekolah ayah, melihat bunda yang kami tinggal sendiri di rumah. Ayah tidak mengacuhkan keberadaannya karena amarah semalamnya tidaklah reda. Kami anak anak telah berusaha melupakan luka dan tangis kami semalam, tapi bagi ayah dan bunda ini akan jadi kisah panjang berikutnya. Kami akan melihat suasana perang dingin di rumah, yang membuat kami sulit bernapas.

每次催更後,作者都會收到通知!
smartphone100 → 催更