Kejadian kemarin, membuatku paranoid. Depresiku pun semakin parah. Sampai-sampai aku ketakutan ketika ingin keluar rumah. Untuk menyamarkan identitasku, aku tak berani membawa motor sportku. Karena aku takut, orang yang kemarin melempar batu ke arah droneku mampu mengenaliku. Sekarang, setiap kali keluar rumah, aku membawa motor maticku. Dan mengubah penampilanku lebih feminin.
Ketika depresiku kambuh seperti ini, obat anti depresan pun tak cukup. Saking beratnya, aku selalu mengurung diri di dalam kamar. Meringkuk telanjang di bawah shower yang membuatku menggigil. Yang menekan perasaanku sampai terasa sesak. Dan aku terisak, dengan guyuran air menyamarkan air mataku.
Inginku menepis dorongan mengintipku, karena aku takut setiap kali aku tidur selalu terbangun karena mimpi buruk, bertemu dengan orang yang mengejar droneku.
"Ci... sarapan dulu, Ci! Asisten rumah tanggaku memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku.
Berulangkali ia mengetuk pintu kamarku. Tok tok tok, "Ci... Cici nggak apa-apa kan?
Aku mendengar ia berteriak histeris memanggil tukang kebunku. Meski di dalam kamar mandi, aku masih mendengar asisten rumah tanggaku menangis.
"Mas... tolong Mas! Nggak bisa dibuka pintunya."
Tok tok tok, "Ci... buka Ci! Ini saya, Hadi."
"Ayok dong Mas! Aku takut Cici kenapa-kenapa."
"Tenang, Rum. Jangan panik! Aku juga lagi mikir, gimana caranya pintunya kebuka."
Brak!!! Suara keras, seperti bangunan runtuh terdengar dari dalam kamarku. Seketika aku tersentak. Belum sempat keterkejutanku mereda, pintu kamar mandi tiba-tiba lepas dari engselnya. Tenyata Pak Hadi, tukang kebunku yang mendobrak pintu kamar mandiku.
"Ci... Cici nggak apa-apa?" Asisten rumah tanggaku memelukku, sambil mengusap rambutku yang basah. Kemudian menutupi tubuhku yang telanjang menggunakan handuk.
"Mas Hadi, keluar gih!"
"Eh... tapi?" Tukang kebunku tak bergeming. Ia menatapku dengan mata tak berkedip.
Aku tak peduli ia memandangku seperti itu, meski sekarang, ia tak hanya melihat rambutku yang tak berhijab. Namun, ia juga menatap tubuhku yang telanjang. Hanya handuk pendek berwarna putih yang menutupi tubuhku, itu pun tak mampu menutupi ketelanjanganku sepenuhnya. Kecuali dada dan selangkanganku yang tak mungkin terekspos karena aku duduk meringkuk, memeluk lututku. Namun, seandainya aku telanjang sempurna di depan kedua pegawaiku pun. Mungkin aku hanya bisa pasrah, karena depresiku membuatku tak berdaya.
Sekarang, asisten rumah tanggaku menuntunku ke dalam kamar, dengan handuk melintang, menutupi punggung, kedua bahuku sampai dadaku. Sedangkan bagian bawahku telanjang. Hanya telapak tanganku yang menutupi selangkanganku yang terbuka.
Tukang kebunku ikut menuntunku, kemudian asisten rumah tanggaku memberi isyarat agar ia keluar dari kamarku. Namun, ia tak bergeming, diam membeku. Sedangkan matanya tak berhenti menatapku.
"Aku disini aja, Rum. Takut Cici kenapa-kenapa."
"Ya udah, Mas Hadi kesitu dulu gih! Aku mau cari pakaian buat Cici!" Asisten rumah tanggaku mengambil pakaian di dalam lemari, sambil sesekali menatap sinis ke arah tukang kebunku.
Selanjutnya, ia menghanduki tubuhku menggunakan handuk yang menutupi sebagian tubuhku yang telanjang. Aku pun menyilangkan tanganku, yang sebelah kiri menutupi dadaku. Sedangkan yang kanan, menutupi selangkanganku.
"Pucat banget, muka Cici. Sini biar aku yang handukin, Rum!"
"Heh! Jangan macem-macem ya!" Asisten rumah tanggaku menatap tukang kebunku dengan mata melotot, sambil ia menghanduki rambutku yang basah.
"Aku cuma mau bantu, Rum." Tukang kebunku duduk di sampingku, sambil ujung matanya menatapku.
Usai menghanduki rambutku, asisten rumah tanggaku beralih menghanduki tubuhku bagian depan. Ia mengangkat tanganku yang menyilang ke dadaku. Aku menghela nafasku, berat. Ketika ia berhasil mengangkat tanganku yang menutupi dadaku, jantungku berdetak kencang. Dan aku pun menunduk, malu. Karena dadaku terbuka tanpa penutup apa pun.
Kemudian ia mengangkat tanganku yang menutupi selangkanganku. Namun, aku tak ingin mengangkat tanganku yang menutupi selangkanganku dengan menggelengkan kepalaku. Ia menghela nafasnya, sambil menggelengkan kepala.
"Matanya dijaga ya! Madep sana! Nggak sopan!" Asisten rumah tanggaku menatap tukang kebunku sinis.
Tukang kebunku tersenyum, salah tingkah sambil menggaruk kepalanya. Kemudian berbalik arah, memunggungiku.
Tubuhku merinding ketika asisten rumah tanggaku menghanduki tubuhku bagian bawah. Ia begitu telaten, namun usapannya justru memantik rasa gatal di selangkanganku. Kemudian aku menggigit bibir bawahku, menahan hasrat yang kian memuncak. Ketika ia akan membantuku mengenakan celana dalamku, aku menolak. Karena aku tak ingin, ia melihat selangkanganku yang mulai lembab.
"Icha pakai sendiri aja ya, Mbok?" Ia pun menurut, sambil menatapku, tersenyum.
Selesei memakai celana dalamku. Berikutnya, aku memakai braku yang berwarna hitam. Belum selesai aku mengenakan braku, asisten rumah tanggaku menawarkan diri untuk membantu.
"Sini Ci, biar Mbok bantu!" Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Kemudian, ia menangkupkan cup braku ke dadaku yang menggantung. Setelah itu, mengkaitkan kaitan braku yang berada di belakang.
Pak Hadi berbalik badan, lalu duduk di sampingku mengambil dress panjangku.
"Saya bantu ya, Ci?" Sekarang, tukang kebunku berbalik, menghadap ke arahku, sambil mengambil dress panjangku.
Aku memandang asisten rumah tanggaku dengan ujung mataku, berharap ia mengatakan sesuatu pada tukang kebunku namun ia tak mengerti isyarat mataku. Ketika tukang kebunku mengangkat tanganku untuk membantuku mengenakan dress panjangku.
Nafasku memburu, saat tukang kebunku menyentuh lengan bagian dalamku sampai ke lipatan ketiakku, menggunakan jarinya. Dengan mata terpejam, aku menggigit bibir bawahku sambil menahan perasaan aneh yang membuat dadaku semakin mengencang. "Cantik," ia bergumam. Dan aku membuka mataku, menatapnya. Tukang kebunku memasukkan jarinya ke dalam mulutnya, mengisapnya.
"Mas udah belum? Kalo udah, bikinin wedang jahe gih!" Tukang kebunku tersentak, kemudian pergi ke dapur. Selang beberapa menit, ia berlari tergopoh-gopoh sambil membawa wedang jahe di atas baki.
"Ini Rum!"
"Diminum dulu ya, Ci! Pelan-pelan panas!"
Setelah aku meneguk wedang jahe, hangatnya mulai menyebar. Tak hanya perasaanku yang kembali teduh, namun gejolak yang tak aku mengerti lambat laun memudar. Meski aku mulai menguasai diriku sendiri, namun depresiku tak sepenuhnya mereda. Setidaknya bebanku sedikit demi sedikit menguap. Bukan hanya, karena perasaan cemasku saja, melainkan perasaan aneh yang membuatku tenggelam. Sesekali ujung mataku, menatap asisten rumah tanggaku yang duduk di sampingku, kemudian ke arah tukang kebunku yang duduk di samping kananku sambil melingkarkan tangannya ke pundakku.
"Maaf, Pak!" Aku menepis tangan tukang kebunku. Dan ia pun menurunkan tangannya yang melingkar ke pundakku sambil tersenyum, salah tingkah.
Asisten rumah tanggaku sepertinya tahu, aku merasa tak nyaman karena sikap tukang kebunku. Ia pun berbisik ke telinga tukang kebunku. "Mas, jangan gitu napa? Jangan cari kesempatan deh!" Senyumku tersungging, karena aku masih mengendalikan situasi. Dan tak hanyut ke dalam depresiku yang membuatku tak berdaya.
"Ayok keluar!" Asisten rumah tanggaku menggandeng tangan tukang kebunku. "Cici Mbok tinggal nggak apa-apa kan?"
"Nggak apa-apa, Mbok."
"Ya udah, Mbok tinggal ya, Ci?"
"Iya, Mbok."
Sesudah mereka pergi, air mataku menetes. Teringat ketika aku sedang mengintip Pak Ahmad. Dan aku bercermin pada diriku sendiri, yang tak mau juga dilecehkan. Namun, aku justru melakukan sesuatu yang diriku sendiri tak menginginkan hal serupa terjadi padaku. Tak hanya itu, aku merasa memanfaatkan keluguan Pak Ahmad, demi hasrat di mataku yang tak mampu aku kendalikan. Rasa bersalah pun mulai menyelinap, sampai tangisku mulai meledak.
Dengan langkah gontai, aku berjalan ke balkon kamarku. Sekarang aku duduk di kursi, yang berada di balkon sambil menatap ke arah tamanku.
Aku melihat drone yang terbang dari atas ke bawah, turun rendah sampai di depan balkon kamarku. Suaranya berdesing, kameranya pun menyorot ke arahku.
"Siapa kamu?"
Drone itu kembali terbang ke atas, menjauh. Karena aku penasaran, sekarang aku mengambil drone VRku. Kemudian aku mengejar drone yang mengawasiku. Sebelum terbang semakin jauh. Aku pun mengejarnya, ketika semakin dekat. Betapa terkejutnya aku, menatap shoot kamera droneku. Karena melihat seseorang yang mengejar droneku kemarin. Tak hanya lewat layar, namun secara real time.
Sensasinya berbeda. Dari perasaan takut, sebab rasa bersalah sampai jantung yang berdetak kencang, karena seseorang yang mengejarku ternyata begitu tampan. Sekali lagi hasrat di mataku tak mampu membohongi diriku sendiri. Meski begitu, perasaan cemasku masih menyelimutiku. Ketika pria tampan di depanku bersiap menangkap droneku menggunakan net gun.
Jantungku berdetak kencang, saat net gun mulai ditembakkan. Untung saja, aku mampu menghindar dengan menerbangkan droneku terbang ke atas.
Orang itu berteriak. "Hei, bocah tukang ngintip, nggak usah kabur! Cha tunggu!" Ia pun ikut menerbangkan dronenya mengejarku, setelah droneku kembali ke balkon. Ponselku berdering,
Saat aku menatap layar ponselku, ternyata nomor tak dikenal. Akhirnya aku abaikan saja telepon itu. Namun, ponselku terus berdering. Menyebalkan sih, sangat mengganggu. Dengan perasaan kesal, aku angkat panggilan telepon itu.
"Halo, siapa ini?"
"Hei nona cantik..."
"Apa sih, nggak jelas banget. Aku tutup ya?"
"Ya udah, aku nggak mau basa-basi. Kenalin, aku Imron yang ngejar drone kamu kemarin."
Karena panik, aku matikan panggilan teleponku. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu kaca geserku. Dari mana ia tahu nomor teleponku? Apakah ia meretasku?
Mataku tak lepas menatap layar PCku yang menyala. Ada yang aneh? Aku pun menatap layar. Apa ini? Kursor di layar PCku bergerak sendiri, kemudian muncul tampilan webcam.
"Hei, Cha. Kamu nggak perlu takut!"
Mataku terbelalak, seketika aku mengambil maskerku untuk menutupi sebagian wajahku.
"Haha, percuma kamu pakai masker, Cha. Aku udah lihat wajahmu sama rambutmu."
Dengan buru-buru aku memakai hijab bergoku sambil terisak.
"Bang, jangan giniin aku dong! hiks, hiks."
"Ukhty nakal sih. Masak orang kencing dishoot..."
"Aku khilaf Bang! Tolong, jangan giniin aku!"
"Haha, aku nggak bakal lepasin kamu, Cha." Layar webcam pun mati.
Kenapa jadi seperti ini sih? Aku menyesal mengawasinya kemarin. Sekarang aku mengempaskan tubuhku ke atas ranjang, terlentang.
****
Setelah kejadian tadi siang, perasaanku semakin kacau. Bukannya depresiku semakin membaik, justru sekarang semakin parah karena putusasaku mulai muncul. Dan sekarang aku hanya bisa menerima nasib, karena aku tak mampu berbuat apa-apa.
Meski aku sedang tak baik-baik saja, namun aku tak ingin terlihat terpuruk. Aku pun duduk di depan meja riasku, kemudian aku memoles lingkaran hitam di mataku. Di depan cermin, aku tersenyum. Menyemangati diriku sendiri. Kamu baik-baik aja Cha, kamu cewek kuat. Semangat!
Selanjutnya, aku turun ke lantai bawah. Karena siang ini, aku ingin pergi ke rumah Pak Ahmad. Dengan outfit serba hitam, aku mengendarai motor maticku yang serba hitam pula.
Satpam rumahku membukakan gerbang. Dan aku pun mengangguk sambil tersenyum.
"Siang Pak."
"Siang juga Ci."
Usai melewati gerbang, jantungku berdetak kencang. Berulangkali aku menatap ke arah kaca spion. Karena aku merasa Imron sedang membuntutiku dari belakang. Aku gelengkan kepalaku, agar aku tak perlu takut menghadapi masalahku.
Namun, tetap saja paranoidku tak sepenuhnya bisa aku redam. Ketika aku keluar dari gerbang kompleksku. Perasaanku tak enak, tiba-tiba seseorang mengendarai motor berwarna putih seperti motor sportku menyalipku.
Deg, deg, apa itu Imron? Air mataku, tanpa aku sengaja menetes. Ketika aku memacu motorku melambat, pengendara motor di depanku ikut melambat.
Ya Allah, tolong aku!
Pengendara motor di depanku kembali memacu motornya kencang. Dan jarak kita semakin jauh. Sekarang aku bisa bernafas lega, setidaknya untuk sesaat.
Sesampainya di tikungan menuju rumah Pak Ahmad, aku melambat. Melewati depan Masjid, kemudian berbelok ke arah jembatan.
Ketika melewati jembatan, bunyi deritan kaitan besi terdengar. Tak hanya kelelawar yang berterbangan. Biawak di bawah jembatan yang keruh penuh sampah juga berlarian.
Setelah sampai di rumah Pak Ahmad, rumahnya begitu sepi yang menandakan ia belum pulang. Dan saat aku ingin menghubunginya, aku lupa kemarin tak menyimpan kontak ponselnya. Terpaksa aku harus menunggu ia sampai pulang.
Awan hitam mengepul di atas sana, udara pun semakin menggigit. Dalam kondisi memeluk bahuku di atas kursi, aku mengusap-usap bahuku agar dinginnya udara siang ini berkurang. Bahkan pakaian berlapis yang aku kenakan, tak mampu meredam. Sekarang aku menggigil sendirian, hanya di temani hujan yang mulai turun.
Tirai hujan, berwarna putih mulai menutupi. Dan aroma sampah mulai menyebar. Aku pun menatap hujan dengan menyunggingkan senyumku. Bukankah di bawah hujan, depresiku bisa aku redam? Mataku terpejam, menikmati suasana yang menyejukkan hatiku.
Sewaktu aku membuka mataku, aku menatap anak-anak berlarian, tersenyum lepas. Sesekali mereka melambaikan tangannya, mengajakku ikut bermain. Aku menggelengkan kepalaku, namun Rina dengan basah kuyup berlari ke arahku. Menarik tanganku, mengajakku bermain bersama teman-temannya.
Karena aku tak mampu menolak, permintaan anak-anak. Pada akhirnya, aku pun ikut bermain dengan mereka. Kita pun berlari, melompat bersama. Aku tak peduli pakaianku basah karena hujan turun semakin deras. Sampai dressku yang basah kuyup melekat, menampakkan lekukan tubuhku. Begitu juga garis-garis wajahku, karena cadarku yang basah.
"Kak..." Rina berbisik.
"Iya Rin?" Aku menunduk, dengan posisi tubuhku sejajar dengan Rina. Dan Rina berbisik ke telingaku.
"Kakak cantik... aku bisa lihat wajah Kakak."
"Iya kah? Terima kasih ya."
"Iya Kak, sama-sama."
Di saat aku sedang bermain dengan anak-anak. Berlari, kejar-kejaran, sampai kita melompat bersama. Aku melihat Pak Ahmad mendorong gerobaknya. Melihatnya, hatiku menghangat. Kemudian, aku berlari untuk membantunya mendorong gerobak.
"Pak, biar Icha bantu!" Aku mendorong gerobak sampah semampuku.
"Udah, jangan Cha, Bapak bisa kok!"
Anak-anak mendekat, mereka ikut mendorong gerobak sampah. Namun, gerobak sampah tak kunjung bergerak. Dan ternyata ban gerobak sampah terselip cukup dalam.
"Ayo Kak! Satu, dua, tiga!" Teriak anak-anak bersamaan.
Akhirnya ban gerobak sampah berhasil, keluar dari kubangan. "Yeay, berhasil!" Rina beteriak kegirangan, disusul dengan teman-temannya.
"Terima kasih ya, Rin. Terima kasih ya anak-anak."
"Sama-sama, Kak!" Mereka menjawab bersamaan.
"Terima kasih ya, Cha!"
"Sama-sama, Pak. Ini berkat anak-anak juga kok Pak."
"Iya, berkat Icha juga." Pak Ahmad tersenyum menatapku. "Ayok masuk! Pasti Icha kedinginan, baju basah kayak gitu!"
"Kakak masuk dulu ya?"
"Iya Kak..." Sebelum aku masuk ke dalam rumah, mereka satu persatu bersalaman denganku. Sambil mengecup punggung tanganku. Menatap mereka, aku tersenyum haru. "Daa, Kakak cantik!" Rina melambaikan tangan ke arahku. Dan teman-temannya pun ikut melambaikan tangan.
Aku menggigil sambil memeluk bahuku. Dengan ujung mataku, melihat Pak Ahmad sedang menatapku.
"Kamu kedinginan Cha?"
"Iya, Pak."
"Kamu harus ganti baju lho, Cha. Kalo nggak, kamu bisa sakit!"
"Tapi Icha, nggak bawa ganti, Pak. Em, boleh nggak Icha pinjem kemeja Bapak yang lengan panjang? Kalo ada celana panjang juga, Icha pinjem ya Pak!"
"Trus hijab Icha gimana? Bapak nggak punya kain buat hijab."
"Nggak apa-apa, Pak." Aku membelakangi Pak Ahmad sambil melepas hijabku yang basah, kemudian aku melepas cadarku. Selanjutnya, aku mengambil masker dari tas selempangku sebagai ganti cadarku.
Sewaktu aku membalik badanku, sempat terdiam, membeku. Menatap Pak Ahmad yang melepas kaosnya yang basah. Untuk kedua kalinya, aku menatapnya, telanjang dada. Jantungku berdesir, berulangkali aku mengulum bibir bawahku. Karena Pak Ahmad tersenyum ke arahku, aku memalingkan wajahku sambil menunduk, malu.
Dengan ujung mataku, aku menatap Pak Ahmad. Ia mendekatiku sambil membawa kemeja warna hitam dan celana panjang berwarna serupa.
"Ini kemeja sama celana panjangnya, Cha."
Aku mengangkat wajahku. Jarak kita begitu dekat, sampai embusan nafas kita beradu.
"Cha..." Pak membuyarkan lamunanku.
"Eh, iya Pak. Maaf. Oh iya, buat jemur ini dimana ya Pak?"
"Di dapur bisa, di kamar mandi juga bisa."
"Ya udah, Icha jemur di kamar mandi aja ya Pak! Sekalian ganti baju."
Sekarang berjalan ke kamar mandi, yang letaknya terpisah. Di belakang rumah.
"Oh, iya Cha. Ini pakai payungnya! Diluar masih ujan."
"Iya Pak."
Sesampainya di kamar mandi, aku melepas kain yang masih tersisa, menutupi auratku. Dari handshock, celamis, kaos kaki, tanktop, bra, celana dalam dan dress panjangku.
Ketika aku sepenuhnya telanjang, kulitku meremang karena dinginnya hujan dan udara malam. Buru-buru, aku mengenakan kemeja berwarna hitam. Namun tentu saja tanpa dalaman, karena braku pun ikut basah. Dan tak mungkin aku memakainya. Aku beruntung memakai kemeja berwarna hitam. Meskipun aku tak memakai dalaman, siluet putingku tak begitu terlihat.
Kemudian, aku mengenakan celana panjang kain, berwarna hitam serupa. Sekali lagi tanpa dalaman. Karena celana dalamku basah. Terpaksa, aku hanya mengenakan celana panjang saja. Sebenarnya kurang nyaman tak mengenakan dalaman seperti ini. Namun, karena tak ada opsi lain. Pada akhirnya, tak ada jalan lain, daripada aku telanjang.
Hujan semakin deras. Dengan sedikit berlari, aku masuk ke dalam rumah.
"Ujannya deras banget Pak." Aku menaruh payung di dapur, dalam posisi terbuka. Karena payung masih dalam kondisi basah.
"Iya Cha, Icha neduh aja dulu ya! Nggak buru-buru pulang kan?" tanya Pak Ahmad, sambil menggoreng sesuatu di wajan.
"Emm... wangi banget, pasti enak. Bapak masak apa nih?" Aku mendekati Pak Ahmad, kemudian bediri di sampingnya.
"Nasi goreng, Icha suka nggak?"
"Suka sih Pak, Icha boleh nyicip nggak Pak?" Setelah mengambil sendok, aku menyendok nasi goreng di wajan.
"Boleh banget. Bapak bikin nasi goreng buat Icha. Enak nggak.?"
Aku menyingkap maskerku ke atas menutup hidungku. Kemudian mulai mencicipi nasi goreng buatan Pak Ahmad. "Enak banget Pak. Bapak pinter masak juga ya? Kenapa Bapak nggak jualan nasi goreng?"
Pak Ahmad mengembuskan nafas, berat. "Bapak pernah jualan nasi goreng, setelah kena razia satpol PP. Bapak mutusin berhenti jualan."
"Jahat banget sih mereka."
"Ya mau bagaimana lagi, Cha. Nasib orang kecil dimana pun sama aja."
Saat Pak Ahmad menceritakan pengalaman pahitnya, aku pun ikut bersedih. Terbersit, untuk memberi modal untuk berjualan nasi goreng.
"Nanti kalo rumah Bapak udah direnovasi, Bapak mau nggak jualan lagi? Icha bakal modalin Bapak."
"Cha, Bapak terima kasih banget, Icha udah baik banget sama Bapak. Tapi untuk kali ini, Bapak lebih milih mulung aja daripada jualan nasi goreng." Pak Ahmad memegang telapak tanganku, sambil menepuk-nepuknya.
"Ya udah, Icha nggak maksa kok. Tapi kao Bapak butuh bantuan Icha. Bilang ya! Icha siap bantu Bapak! Dan jangan sungkan-sungkan, Icha kan anak Bapak sekarang. Iya kan?"
Pak Ahmad mengusap air matanya. "Terima kasih, ya Cha. Bapak nggak tau mesti bilang apalagi."
"Udah jangan nangis!" Aku mengusap air matanya. "Sini biar Icha bantuin! Bapak tunggu di depan ya!" Sekarang aku menyiapkan dua piring, satu untukku. Satu untuk papaku. Papaku? Aku pun tersenyum di balik maskerku.
Sekarang aku membawa dua porsi nasi goreng ke depan.
"Ini Pak!"
"Terima kasih ya!"
Di saat aku akan membuka maskerku, Pak Ahmad mencegahku.
"Kok dilepas Cha?" Pak Ahmad menegurku.
“Hehe, susah Pak, makan pakai masker gini,” ucapku sambil tersenyum manis, menatap Pak Ahmad.
Sambil makan, kita membahas banyak hal. Dari masalah tukang, kuli sampai membahas makanan favorit Pak Ahmad.
"Tukang sama kulinya, biar Icha yang cariin ya Pak!"
"Bapak ngikut Icha aja."
"Sip. Oh iya, Icha lupa. Buat ajarin Bapak cara pakai hpnya."
"Udah kok, Cha. Kemarin Rina kemari, trus Bapak minta tolong Rina buat ajarin."
"Wah baik banget Rina. Ya udah Icha minta nomor Bapak ya! Pinjem dulu Pak hpnya!" Aku pun mengetik nama dan nomorku di daftar telepon. "Ini Pak!"
Selesei menyimpan kontakku ke ponsel Pak Ahmad. Aku menatap ke luar rumah, sepertinya hujan tak akan reda dalam waktu dekat. Ketika aku menoleh, Pak Ahmad mengernyitkan dahinya. Sepertinya ia tahu, aku sedang gelisah.
"Icha nggak bawa jas ujan ya?"
"Nggak Pak," jawabku sambil menggeleng.
"Nginep disini nggak apa-apa kan?"
Aku tak langsung menjawab, karena sedikit ragu-ragu. Namun, akhirnya aku putuskan menginap saja.
"Emm, nggak apa-apa Pak."
Sekarang aku duduk, sambil menekuk lututku. Sambil mengusap-usap bahuku karena udara yang dingin. Ketika menggigil, Pak Ahmad menyelimutiku dari belakang. Aku pun menoleh ke belakang sambil tersenyum.
"Makasih ya, Pak!" Ia tak menjawabku, hanya tersenyum saja.
Malam pun semakin larut, aku tidur di atas kasur lipat bersama Pak Ahmad. Dengan dibatasi guling yang berada di tengah.
Ketika perasaanku kembali cemas, Pak Ahmad mengagetkanku.
"Nggak bisa tidur Cha?"
"Eh... Iya Pak!"
"Maaf ya, kalo Icha nggak nyaman!"
“Eh, enggak kok, Pak. Icha lagi banyak pikiran aja,” ucapku berbohong.
"Mikirin apa? Boleh lho curhat ke Bapak!"
"Emm gimana ya, Pak. Icha nggak bisa cerita, maaf ya."
"Oh, nggak apa-apa. Kalo ada masalah, Icha curhat ke Bapak!" Pak Ahmad tidur miring ke arahku.
"Iya, Pak. Terima kasih ya..." Aku pun tidur miring, menatap Pak Ahmad. Ya meski terhalang guling.
"Sama-sama. Ya udah Icha tidur ya! Bapak juga tidur nih!" Sekarang Pak Ahmad tidur membelakangiku.
"Iya Pak..." Aku pun tidur terlentang, sambil memejamkan mataku. Berusaha terlelap sambil menarik selimutku, kemudian aku membelakangi Pak Ahmad.
Meski aku memejamkan mata, aku belum sepenuhnya terlelap. Aku merasakan Pak Ahmad memeluk tubuhku. Namun, aku tak menepisnya. Justru menarik tangannya agar memelukku lebih erat. Begitu hangat, begitu nyaman.
Pada waktu aku membuka mata. Ternyata aku sedang bermimpi. Aku menoleh ke samping, Pak Ahmad masih terlelap, tidur membelakangiku. Sadar itu hanya mimpi, aku menghela nafasku. Kemudian, aku menarik selimutku ke atas. Dan aku pun kembali memejamkan mataku.144Please respect copyright.PENANAzw17d5Pznd
Bersambung.
ns216.73.216.113da2