
Part #2
Sinar matahari senja membanjiri kafe kecil itu, kafe yang sama yang biasa menjadi tempat belajar Reza dan Yuni. Langit berubah menjadi mahakarya oranye yang indah sementara suasana hati keduanya masih acuh tak acuh.
"Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan tapi biar jelas, ini bukan masalah pribadi," begitu Yuni memulai percakapan yang dipenuhi lebih dari dua puluh menit keheningan.
Reza berusaha mengangguk dan tersenyum kembali. "Silakan, tanyakan saja," balasnya.
"Jika aku membawa perasaanku sedikit lebih jauh, jangan khawatir Reza, maksudku, apakah kamu tidak takut? Ini hanya... kita sangat bertolak belakang," begitu Yuni menempatkan hal itu dengan cara yang sederhana.
Jawaban yang dia cari tidak akan datang dengan mudah. Ini adalah jenis percakapan yang aku harapkan terjadi dengan orang-orang di sekitarku jika aku berada di posisi Reza. Kebenarannya, dia ingin segalanya berubah, berada lebih dekat dengan tanda kebebasan tetapi percakapan terasa sepihak.
"Aku ngerti, Yun," ia menjawab pelan. "Dan aku juga memikirkan itu. Tapi untuk saat ini, aku nyaman bersamamu. Kamu nggak pernah mengganggu kepercayaanku. Kamu justru membuat aku lebih sadar mengenai pentingnya memiliki prinsip."
Yuni hanya tersenyum kecil, namun matanya tidak tenang. "Aku juga merasa nyaman bersamamu. Namun… aku juga merasa tidak aman. Aku anak tunggal, Za. Mama dan Papa sangat aktif di gereja. Mereka tidak pernah secara blak-blakan melarang aku bergaul, tapi kita tahu apa yang mereka harapkan."
Reza mengambil napas dalam. "Orang tuaku juga tergolong konservatif. Apalagi mengenai soal agama. Tetapi identitas ku tidak siap surut. Muntun, dan semenaraemunisi dizzy, aku juga belum tahu harus bagaimana."
Kali ini bukan karena silang posisi. Bukan karena canggung, karena mereka tahu, mulai dari hari ini, hubungan ini bukan lagi sekadar perasaan. Ada tawanan tinggi yang mulai jelas terlihat.dan mereka bertempat di dua sisi yang berkebalikan satu sama lain.
Pada keesokan harinya, Reza terkuak untuk pertama kalinya berada sendirian di masjid kampus seusai menunaikan puasa Maghrib. Untuk memandangi langit, ia juga melihat dari tangga luar. Dalam hati, ia sepertinya menduga:
"Mengapa aku merasa egois mencintai Yuni namun tidak ingin mengubah kepercayaan yang aku anut?"
Di sisi lain, Yuni sedang duduk santai diruanganya menghisap Alkitab mini sembari melirik foto keluarga yang terletak di atas meja. Dalam deras hati, ada kalimat yang muncul:
"Apakah terdapat cacat logika jika mencintai seseorang yang dinilai damai, walau jalur yang ada berbeda?”
540Please respect copyright.PENANAQc1WeJ59mv
Akhir Chapter 2540Please respect copyright.PENANALcoPAfbx9a
Reza dan Yuni sama-sama belum punya jawaban, tapi mereka sadar: cinta mereka bukan cinta yang bebas. Itu cinta yang akan diuji oleh nilai, keluarga, dan iman. Dan mungkin... oleh waktu juga.