
Setelah hampir lima tahun mengabdikan diri sebagai pegawai honorer di tengah hiruk pikuk ibukota Jakarta, akhirnya aku terangkat sebagai PNS di sebuah daerah di Banten. Aku ditempatkan bukan di ibu kota Provinsi tapi justru di tempatkan di daerah kabupaten yang agak sepi. Agak jauh dari ibu kota Provinsi membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan darat dengan mobil dari ibu kota Provinsi ke sana.
Minggu-minggu pertama terasa berat. Rasa rindu pada keluarga di Jakarta kadang menyeruak. Perlahan namun pasti, aku mulai beradaftasi dan mengenal karakter penduduk lokal yang ternyata sangat ramah dan terbuka pada pendatang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku berhasil menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan daerah baruku dan mulai menikmati tugasku di sini.
Masalah berikutnya adalah bagaimana mengisi waktu luang di akhir pekan. Di Jakarta, pilihan hiburan tersedia di setiap sudut kota. Namun di sini, aku masih meraba-raba aktivitas apa yang bisa kunikmati. Hingga suatu hari, Ridwan, seorang Satpam di kantorku, menawarkan sebuah kegiatan yang sama sekali belum pernah aku lakukan sebelumnya.
"Mas, besok kalau libur ikut saya memancing saja. Sungai di pinggir kampung saya surga bagi pemancing," ajaknya dengan antusias.
Tawaran yang entah mengapa membuat aku merasa tertarik. Mungkin ini kesempatanku untuk benar-benar merasakan kehidupan yang lebih dekat dengan alam. Tanpa pikir panjang, aku menerima ajakannya dan bahkan mempersiapkan diri dengan membeli dua set joran lengkap dengan peralatan memancing lainnya. Investasi yang cukup besar untuk seorang pemula sepertiku, tapi rasa penasaran mengalahkan pertimbangan logis.
Ketika hari Minggu yang ditunggu tiba, Ridwan yang sedang dapat jatah libur jaga kantor menjemputku dengan motor tuanya. Kami melaju meninggalkan pusat kota kabupaten menuju tepian sungai yang jernih dengan pepohonan rindang di sekitarnya. Pemandangan yang jarang kulihat selama bertahun-tahun terkurung di beton-beton Jakarta.
"Ini pertama kali saya memancing, Wan," Ucap aku dengan jujur saat mengeluarkan peralatan memancing yang masih mengkilap karena baru.
Ridwan tersenyum maklum. Dengan sabar, ia mulai mengajariku segala hal tentang memancing—mulai dari cara memasang umpan, memegang joran dengan benar, hingga teknik menarik joran saat ikan memakan umpan. Beberapa kali joranku tertarik ke air karena aku terlalu kaget saat ada ikan yang menyambar umpanku. Ridwan tertawa melihat tingkahku yang kikuk, tapi tetap membimbing dengan sabar.
Setelah beberapa jam, aku berhasil menangkap tiga ekor ikan ukuran sedang. Jauh dari tangkapan Ridwan yang sudah hampir memenuhi ember kecilnya. Namun dia menepuk pundakku dengan bangga.
"Untuk pemula, ini sudah sangat bagus. Bahkan ada pemancing berpengalaman yang pulang dengan tangan kosong," ujarnya memberi semangat. Pujian itu entah mengapa terasa sangat berarti, seolah aku telah menaklukkan sebuah tantangan besar.
Senja mulai turun, menyelimuti sungai dengan cahaya keemasan yang memantul di permukaan air. Kami memutuskan untuk berkemas pulang. Semua ikan tangkapanku kusodorkan kepada Ridwan.
"Kamu saja yang bawa, Wan Di kontrakanku bahkan tidak ada kompor," kataku sambil tertawa kecil.
Memang benar, sebagai bujangan yang terbiasa hidup praktis, aku tidak pernah memasak. Pagi, siang, dan malam, kedai atau warung menjadi tempat pelarianku untuk mengisi perut. Mendengar alasanku, Ridwan menggelengkan kepala.
"Kalau begitu, mampir saja ke rumah saya untuk makan malam. Istri saya pandai sekali memasak ikan bakar dengan bumbu daerah," ajaknya dengan tulus.
Awalnya aku menolak dengan berbagai alasan. Merasa tidak enak hati mengganggu waktu keluarganya di hari libur. Namun Ridwan terus mendesak, meyakinkanku bahwa keluarganya akan senang menerima tamu.
"Sudah jadi tradisi para pemancing untuk menikmati hasil tangkapan bersama-sama," jelasnya.
Setelah beberapa saat saling melontarkan penolakan dan desakan, akhirnya aku menyerah dan menerima ajakannya. Mungkin ini adalah bagian dari proses adaptasiku dengan kehidupan baru di daerah ini—belajar membuka diri pada keramahan penduduk lokal dan mulai membangun pertemanan yang lebih dalam dari sekadar rekan kerja.
Dalam perjalanan menuju rumah Ridwan, aku tersenyum pada diriku sendiri. Mungkin kepindahanku ke daerah yang tak pernah kuharapkan ini adalah berkah tersembunyi. Di sini, jauh dari keramaian Jakarta, aku menemukan ketenangan jiwa dan mulai belajar tentang kesederhanaan hidup yang justru memberikan kebahagiaan yang lebih autentik.
Rumah Ridwan adalah sebuah rumah papan sederhana, yang bisa disebut sebagai rumah panggung. Rumah itu terletak di tengah kebun getah yang luas, kebun yang konon merupakan warisan dari almarhum ayahnya. Saat aku tiba di rumah Ridwan satpam kantorku, mataku langsung tertarik pada seorang wanita yang sedang berdiri di depan pintu. Wanita itu mengenakan gamis yang membuatnya terlihat begitu anggun dan memesona. Pakaiannya itu tidak bisa menyembunyikan keindahan tubuhnya yang padat berisi, dengan sepasang buah dada yang montok dan pinggul yang menggairahkan. Sungguh, tubuh seperti itulah yang selalu menjadi idamanku.
Ridwan mempersilakan aku naik ke rumah. Aku pun melangkah masuk, tetapi wanita yang tadi berdiri di depan pintu sudah tidak terlihat lagi. Ridwan memintaku untuk menunggu sebentar karena dia ingin mandi terlebih dahulu. Aku duduk di depan pintu, menghisap rokok sambil membayangkan wanita yang baru saja kulihat tadi. Pikiranku melayang, mencoba mengingat setiap detail dari penampilannya yang memikat.
Beberapa saat kemudian, Salmah wanita yang tadi kulihat muncul dengan membawa baki berisi dua gelas teh. Dia berjalan kea rah kami dengan senyuman lembut, lalu meletakan gelas-gelas itu di meja.
"Mas Anwar, ini istri saya, Salmah," kata Ridwan memperkenalkan. Salmah hanya tersenyum kecil sebelum berbalik dan pergi meninggalkanku.
“Silahkan di minum tehnya!” Ucap Salmah dengan suara yang lembut.
Kami kemudian duduk sambil minum teh dan ngobrol ngalor ngidul. Tiba-tiba hujan deras turun.
“Bang, ajaklah Mas Anwar makan. Makanan sudah siap," suara Salmah terdengar dari belakang.
"Ayo, Mas Anwar. Kita makan," ujar Ridwan..
Saat Salmah menuangkan air, tanpa sengaja—atau mungkin disengaja—buah dadanya yang bulat menyentuh pipiku. Aku terkejut, tetapi Salmah terlihat begitu tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu jauh, tetapi suasana itu membuat hatiku berdebar-debar.
Bersambung
ns18.191.86.218da2