
Di sudut jalan yang sepi, di sisi lain kota yang tampaknya sudah tak berpenghuni, terbaring seorang pria dengan mata yang membiru dan wajah yang pucat pasi, tatapan kosong terpaku pada koran lama 10 tahun lalu.
'Tragedi kecelakaan beruntun, 57 orang tewas...'
"Andaikan saja..." Pria itu bergumam pelan namun tak kuasa melanjutkan disusul dengan rintihan perih namun tidak ada air mata yang keluar.
Pria itu bernama Dean, dilahirkan di sebuah keluarga yang kaya, seorang anak sendok perak yang akan menjadi pewaris perusahaan raksasa, namun sebuah kecelakaan menewaskan ayah dan ibunya, meninggalkan Dean dan adiknya yang selamat namun harus terbaring lumpuh karena pendarahan otak.
Sungguh sebuah nasib malang, beberapa hari setelah kecelakaan, ekonomi pada saat itu memburuk bak terjun bebas yang membuat ratusan perusahaan bangkrut secara massal, termasuk perusahaan ayahnya yang tidak mampu bertahan karena tidak ada yang memimpin.
Dean yang saat itu berumur 15 tahun tidak tahu apa-apa, dalam semalam rumahnya yang dulu ramai tiba-tiba menjadi sepi karena pelayan dan penjaga semuanya kabur, meninggalkan Dean seorang diri.
Singkatnya, setelah 5 tahun lamanya Dean berhasil beradaptasi setelah mencoba berbagai pekerjaan walaupun pada awalnya dia sering dipecat karena tidak becus, namun ia terus belajar dan pada akhirnya dia berhasil bertahan menjadi karyawan tetap di sebuah pabrik.
Saat itu dia bekerja sebagai karyawan di sebuah pabrik serat karbon, kini anak manja itu harus berkeringat untuk menghasilkan uang karena biasanya dia selalu mendapatkan sesuatu tanpa harus berusaha.
Beberapa hari yang lalu, adiknya yang lumpuh itu tidak bisa bertahan akibat tidak mendapatkan penanganan pasca kecelakaan, adiknya meninggal setelah berjuang selama 5 tahun, namun anehnya Dean sama sekali tidak menyesal setelah mendukung biaya pengobatannya selama ini walaupun pada akhirnya itu sia-sia.
9 Tahun sudah dia lalui dengan bekerja keras, dia sudah lupa rasanya menjadi anak sendok perak dan mulai terbiasa dengan kehidupan barunya, namun nasib malang seolah tak berhenti menghampiri.
Dean didiagnosa mengidap penyakit paru-paru karena pekerjaannya yang berurusan dengan serat karbon, tubuhnya menjadi semakin kurus dan lemah hingga dia keluar dari pekerjaannya, uang asuransi yang ia dapatkan terbilang cukup kecil dan tidak cukup untuk membayar biaya obat yang sangat mahal, selama setengah tahun ia hanya membeli pain killer untuk meminimalkan rasa sakit.
Kini, pria itu hanya meratap sendirian di tempat sepi, mendulang kembali kenangannya saat ayah dan ibunya masih hidup, saat-saat yang menyenangkan bersama mereka.
Matahari sudah mulai meredupkan sinarnya, hari berganti dengan remang-remang cahaya rembulan yang indah dimalam yang masih muda.
Sreeek... Sreeek...
Terdengar samar-samar dari kejauhan suara benda yang diseret-seret, bayangannya tampak semakin mendekat ke arah dean terbaring, rupanya itu merupakan seorang anak kecil yang sedang menyeret karung besar dengan susah payah.
Kemudian bocah itu berhenti lalu menyenderkan punggungnya di tempat sampah persis disebelahnya dean, namun sepertinya ia tak menyadari bahwa ada orang lain disekitarnya.
"Di rumah ini sepertinya nyaman, nanti tidur disana aja deh." Bocah itu bergumam sembari menunjuk-nunjuk sebuah rumah terbengkalai di sebrang jalan.
Napasanya terengah-engah dan keringat mengucur dengan derasnya, namun anak itu nampaknya malah bersemangat karena menemukan tempat yang nyaman untuk tidur.
"Apa kau tidak takut?"
"Eh copot...copot...!"
Dean bertanya dengan pelan namun suaranya cukup menyeramkan apalagi saat malam hari dan ditempat sepi seperti ini.
Aaahhhh...!
Bocah itu menyeret pantatnya menjauh dari asal suara itu sembari mencerna apa yang terjadi, wajahnya menjadi pucat pasi dan ekspresinya seperti mau mengatakan 'apakah jantungku masih ditempatnya?'
Dengan terbata-bata dia bertanya dengan bola matanya yang melesat ke-kiri dan ke-kanan, sepertinya ia masih tidak tahu letak pasti suara tadi. "siapa disana? dimana kau?" Tanya bocah itu dengan raut wajah yang masih pucat.
Dengan sekuat tenaga Dean menggerakan tangannya yang lemah membuat suara pada koran yang jadi selimut.
Sreeek!
"Aku disini..." Ucapannya terdengar samar namun bocah itu langsung tahu lokasi Dean.
"Bocah, mendekatlah, temani aku untuk sebentar saja." Lanjut Dean dengan suara yang bergetar.
Bocah itu masih mengatur napasnya dan mencoba menenangkan dirinya, kemudian dengan pelan dia berjalan memutari Dean sembari matanya terus meneliti, bocah ini bisa berjalan santai di tempat gelap seperti ini jadi sebenarnya dia tidak takut namun ia cukup waspada.
"Jangan takut, aku hanyalah orang sekarat yang tak berbahaya." Ucap Dean meyakinkan Bocah itu untuk tidak terlalu waspada terhadapnya.
"Siapa kau? Dan kenapa kau bisa ada disini?" Tanya Bocah itu penasaran sembari duduk agak jauh dari Dean, dia benar-benar tidak menurunkan kewaspadaannya.
"Ah, ceritanya panjang, maukah kau mendengarnya?" Tanya Dean. Meskipun gelap, ia bisa melihat bocah itu mengangguk pelan, "namun sebelum itu, ambilah kotak ini, jangan dibuka sebelum matahari terbit besok." Sekali lagi Dean melihat bocah itu mengangguk pelan lalu dia menceritakan alur hidupnya pada bocah kecil itu.
Semakin lama ia bercerita, Bocah kecil itu mulai mendekat ke arahnya dan berbaring berbantalkan kotak yang dia berikan. Dean mulai berandai-andai jika saja adiknya masih hidup mungkin saat ini sudah sebesar bocah itu.
Semalam telah berlalu, matahari menjemur wajah kecil penuh debu Bocah itu, dia dengan malas bangun lalu menemukan seorang pria yang sudah dingin disebelahnya, orang yang sama yang bercerita tadi malam.
Dari raut wajahnya dia sama sekali tidak terkejut karena dijalanan sudah lumrah sekali ada orang mati seperti ini, namun cukup disesalkan bahwa bocah itu bahkan tidak tahu nama dari pria ini.
'Oh ya, kotak ini!' gumam bocah itu, perhatiannya tertuju pada kotak yang pria itu berikan padanya.
"I–ini, sebernanya dia ini siapa?' pikirnya sembari matanya terbuka lebar, isi dalam kotak itu terdapat uang senilai $3800 dolar dan sebuah kalung kayu persik.
Bocah itu duduk berlutut dan meraih tangan kurus Dean yang sudah dingin dan penuh luka, bocah itu mulai terenyuh didepan pria asing yang tidak dikenalnya.
"Paman, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, namun aku sungguh terkesan dengan kisahmu tadi malam, kau sudah membuka mataku akan dunia, aku tidak ingin punya penyesalan di masa depan, aku berjanji akan menjalani hidupku dengan sungguh-sungguh seperti dirimu. Paman,..."
Kata-katanya terhenti, Bocah itu membuka mulutnya namun tidak ada kata yang keluar.
Untuk rasa terimakasihnya, ia menguburkan Dean dengan layak, Dengan uang yang ditinggalkannya, bocah itu membeli peti mati dan pakaian bersih dan memakaikannya ke jasad Dean sebelum dia dibawa oleh beberapa orang untuk dimakamkan.
Tidak lupa juga dengan kalung persik yang juga diberikan kembali kepada jasad Dean, Bocah itu sedih bahwa dia tidak bisa memberikan apapun, jadi dia memberikan kembali kalung pemberian orang asing itu.
Setelah prosesi pemakaman selesai, Bocah itu berdiri diam cukup lama. Di momen keheningan itu, dia mengucapkan beberapa kalimat sebelum pergi.
"Tuan, aku belum sempat tahu namamu, namun ketahuilah namaku adalah Deon"
**
Di suatu tempat, hujan turun begitu derasnya, gemerlap cahaya petir mengungkap wajah pucat seorang pemuda yang terbaring kaku di tepi sungai, tubuhnya begitu kurus seperti tulang yang hanya dibalut kulit, ekspresi wajahnya terkuras tampak menahan sakit yang amat perih.
Langit tampak mendung di pagi itu, Kakek nelayan tua tampak menyeret jaring pagi-pagi buta, jalanan yang becek karena hujan semalam membuat langkah pendeknya semakin sulit. Tidak lama, kelopak matanya yang keriput terbuka sangat lebar, kakek tua begitu terkejut melihat seorang pemuda ringkih yang telentang pucat di tepi sungai.
Dia buru-buru menghampirinya hingga dia terpeleset dan terguling-guling, namun sepertinya mengetahui kondisi pemuda itu adalah yang terpenting jadi dia tidak terlalu memperdulikan kondisinya sendiri yang penuh dengan lumpur.
'Sepertinya dia masih bernapas, walaupun aku tidak yakin bocah ini akan selamat' pikirnya.
Kakek tua itu mencoba mengangkatnya namun dengan tubuhnya saat ini itu tidak memungkinkan, jadi dia memilih untuk menyeret pemuda itu ke tempat aman lalu pergi mencari pertolongan.
Beberapa menit setelah kakek itu pergi, pemuda itu membuka matanya, "Uh, dimana aku?"
ns18.188.250.166da2