
******
Bab 6 :
72Please respect copyright.PENANA0xtOwECVfh
DEON membukakan pintu apartemennya, membiarkan Talitha masuk terlebih dahulu. Kepala Talitha pusing bukan main. Dunianya serasa berputar. Tubuhnya tak mau diajak kompromi; dia tak sanggup berdiri dengan benar.
Sebenarnya, Talitha terkejut bukan main saat mendengar Deon mengajaknya pergi ke apartemen pria itu. Namun, Talitha sudah terlalu malas untuk menjawab. Dia kedinginan dan gemetar. Talitha sempat kagum ketika melihat mewahnya unit apartemen Deon, tetapi dia tak seberisik biasanya karena dia sedang tidak enak badan.
Talitha berusaha untuk berjalan meskipun agak terhuyung. Ini terjadi karena yang ia rasakan kini bukan hanya kedinginan lagi, melainkan juga sakit kepala yang luar biasa. Tadi saat Deon menginterupsinya untuk menyuruhnya masuk, Talitha mengangguk dan ingin melewati tubuh Deon yang ada di depan pintu, tetapi ia terhuyung.
Tubuh Talitha akhirnya menyerah; ia nyaris saja terjatuh. Spontan mata Deon membulat dan ia menangkap tubuh Talitha. Kepala Talitha akhirnya bersandar pada dada bidang Deon.
Kedua alis mata Deon kini menyatu. Ia menatap Talitha dengan khawatir. Dilihatnya Talitha mulai memejamkan mata; Talitha mengernyitkan dahi seolah sedang menahan sakit kepala. Wajah gadis itu pucat.
"Apa yang terjadi dengan kamu, Talitha?!" tanya Deon. Dengan cepat, ia memegang kedua lengan Talitha, memeganginya agar tidak jatuh. Ia akhirnya tersadar bahwa suhu tubuh Talitha ternyata sangat tinggi. Deon mendengkus.
"Sial, Talitha, kamu demam! Kenapa kamu diam saja?!" teriak Deon. Ia kemudian dengan cepat merangkul Talitha; ia menuntun Talitha masuk ke kamarnya sembari mengumpat.
Pria itu mendudukkan Talitha di ranjangnya, lalu ia menghampiri lemari pakaiannya yang berukuran besar. Ia mengambil sebuah handuk putih dan memberikannya kepada Talitha. Dengan lesu, Talitha mulai melihat ke arahnya.
Gadis itu menghela napas. "Aku nggak apa-apa, Deon."
"Kamu masih sanggup menyelaku, bahkan saat kamu lagi demam tinggi kayak gitu? Kamu luar biasa," komentar Deon. Talitha mengernyitkan dahinya.
Namun, tiba-tiba Deon mengangkat tubuh Talitha dan membuat gadis itu berdiri. Dia menuntun Talitha lagi untuk pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. "Mandi dan keramas rambut kamu dengan air hangat. Aku akan mencarikan kamu baju ganti," perintahnya singkat.
Talitha berdecak. "Daripada kamu jadi sulit begini, lebih baik—"
"JANGAN MEMBANTAHKU!" bentak Deon.
Mata Talitha membeliak. Untuk yang kesekian kalinya, dia dibentak oleh Deon. Dia sungguh tak mengerti mengapa dia terjebak dengan pria seperti Deon. Mengapa bisa ada benang merah yang menghubungkannya dengan Deon? Bagaimana mungkin Tuhan memutuskan untuk mempertemukan mereka berdua?
Itu bukan pertemuan klise, melainkan pertemuan yang aneh. Suatu ikatan yang tak tahu akan menuntun mereka berdua sampai mana. Setelah menggaruk kepalanya yang sesungguhnya tak gatal, akhirnya Talitha menutup pintu kamar mandi itu ketika punggung tegap Deon meninggalkannya. Entah apa yang dilakukan oleh Deon karena yang dapat Talitha dengar adalah Deon menelepon seseorang dan memerintah orang tersebut dengan kesal. Entah apa yang membuatnya begitu kesal.
Tak lama kemudian, ketika Talitha sedang memakai handuk (sudah selesai mandi), pintu kamar mandi di belakangnya diketuk oleh seseorang. Talitha tahu itu adalah Deon dan dia refleks mendekat ke pintu itu tanpa membukanya.
Setelah itu, terdengarlah suara Deon yang agak redam. "Ini baju ganti kamu."
Talitha mengernyitkan dahi dan ia menggaruk kepalanya lagi. Ia harus membuka pintunya atau tidak?
Namun, jika tidak dibuka...
"Talitha, buka pintunya," pinta Deon dengan lembut meski helaan napas Deon agak terdengar di telinga Talitha. Talitha jadi bingung sendiri.
"I—iya, bentar," jawab Talitha pada akhirnya. Gadis itu membuka pintu kamar mandi dan menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Dia ingat bahwa tubuhnya sekarang hanya mengenakan handuk.
Begitu dia menatap Deon, dia mendapati pria itu melihatnya dengan mata yang agak menyipit. Deon sudah berganti pakaian; pria itu memakai kaus polo dan celana jeans pendek. Pria itu lalu memberikan sebuah kotak padanya dan dia meraih kotak itu seraya menyatukan alis.
"Cepat ganti baju kamu. Habis itu makan dan minum obat," perintah Deon.
Talitha menganga. Gadis itu sebetulnya ingin bertanya mengapa dia harus berada di apartemen Deon seolah tak ada orang di rumahnya yang bisa mengurusinya. Namun, tatapan tajam Deon membuatnya berdecak kesal dan memilih untuk masuk kembali ke kamar mandi.
Talitha lantas membuka kotak itu. Betapa terkejutnya dia tatkala mendapati bahwa di dalam kotak itu ada satu setel piama dan…satu setel dalaman? Dalaman juga ada?! Buset!
Ini semua baru. Kapan Deon mempersiapkannya? Apa sewaktu dia marah-marah di telepon tadi? Luar biasa. Benar-benar membuat Talitha jadi menggeleng sendiri, tak habis pikir. Siapa yang dia suruh untuk membeli barang-barang seperti ini? Meski dipenuhi dengan berbagai pertanyaan di otaknya, Talitha akhirnya memutuskan untuk memakai pakaian itu tanpa peduli apa pun. Soalnya, kepalanya masih pusing.
Setelah selesai berpakaian, Talitha keluar dari kamar mandi sambil membawa handuk putih yang Deon berikan tadi. Gadis itu tak melihat keberadaan Deon. Ke mana dia?
Baru saja Talitha ingin berbalik, mendadak ia mendengar suara berat Deon memenuhi ruangan. Deon ternyata baru masuk ke kamar itu.
"Duduklah. Kamu harus makan," ujar Deon. Di tangan Deon sudah ada nampan yang berisi semangkuk sup dan nasi. Ada juga teh hangat di nampan itu.
Talitha terdiam. Walau ia tak seharusnya memikirkan soal ini sekarang, tetapi...apa Deon membuatkan bubur itu? Atau tidak?
"Duduk sekarang, Talitha.”
Talitha membelalakkan mata. Gadis itu tersadar dan langsung duduk di pinggiran ranjang. Sesungguhnya, dia tak selera makan karena kepalanya pusing. Namun, Deon dan segala perintahnya itu telah ada di depan Talitha, duduk di depan Talitha dan menaruh nampan itu di atas nakas.
"Makan, sedikit aja nggak apa-apa. Supaya kamu bisa minum obat." Deon berkata dengan lembut. Talitha sedikit tertegun.
Sungguh menawan sekali Deon dengan suara lembutnya itu. Ini agak mengejutkan, sebenarnya. Mengapa Deon harus bertransformasi menjadi yang orang sekeji itu, padahal Deon bisa bersikap selembut ini? Ini begitu disayangkan. Deon adalah orang yang benar-benar lembut seandainya semua masa lalunya tak terus menghantuinya.
Talitha akhirnya mengangguk. Entah mengapa sulit sekali mau membantah Deon saat Deon berbicara dengan lembut seperti itu. Tanpa bisa Talitha kira, Deon mulai menyuapinya. Pria itu menyuapinya dengan sabar, sedikit demi sedikit.
Sosok Deon mendadak berubah 180 derajat. Deon yang ada di depannya ini adalah Deon yang penuh kasih. Sungguh kasihan. Dia adalah pria yang baik, hanya saja hatinya rapuh hingga dia membangun temboknya sendiri secara paksa.
"Kenapa kamu suapin aku?" tanya Talitha pelan. Napasnya terasa hangat. Itu membuatnya sadar bahwa dia benar-benar sedang demam tinggi.
Deon bernapas samar. Ia meniup nasi hangat yang sudah ada potongan wortelnya itu.
"Kalau aku biarkan, mungkin kamu nggak bakal mau makan,” kata Deon sembari menyuapi Talitha lagi. Talitha membuka mulutnya, menerima makanan itu.
Talitha ingin melihat Deon berubah. Entah mengapa ia ingin melihat pria itu berubah. Namun, ia tak tahu bagaimana caranya. Lagi pula, ia tak memiliki hubungan yang serius dengan Deon. Hubungan asli, tetapi tanpa cinta? Sama saja bukan hubungan.
"Minum obat kamu sekarang," perintah Deon singkat setelah makanan dan minuman Talitha habis. Pria itu memberikan obat kepada Talitha dan Talitha meminumnya tanpa ada bantahan.
Talitha langsung berbaring begitu ia selesai minum obat. Ia sungguh tak tahan, kepalanya pusing sekali. Tubuhnya lemah karena sedang demam. Ia tak mau tahu tentang apa pun lagi dan langsung berbaring tanpa persetujuan ataupun perintah dari Deon. Deon menghela napas, kemudian menutupi tubuh Talitha dengan selimut tebal yang ada di ranjangnya itu. Pria itu mulai duduk di kursi yang ada di samping ranjang, kursi yang ia persiapkan ketika Talitha mandi.
Diperhatikannya Talitha dengan saksama hingga ia mendengar napas Talitha berembus dengan teratur. Gadis itu sudah tertidur. Deon melihat jam dinding dan ternyata hari sudah hampir malam. Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel.
Matanya menyipit; ia mencari asal bunyi ponsel itu hingga akhirnya ia sadar bahwa bunyi ponsel itu berasal dari dalam tas Talitha yang terletak di sofa kamarnya. Deon berdiri dan menghampiri tas itu. Setelah Deon membuka tas itu, ia meraih ponsel tersebut dan mengernyitkan dahi. Ia bisa membuka kunci ponsel itu dengan mudah karena tak ada password atau pattern yang melindunginya. Deon melihat ada tiga pesan masuk. Tanpa berpikir dua kali, pria itu pun membuka ketiga pesan itu.
72Please respect copyright.PENANAqrncrjK800
From: Kak Alfa
Malem, Ita ;)
72Please respect copyright.PENANA3g30dwuWuO
From: Basuki Nana Dalem
Ta, lo udah nyampe? Minta jemput Bang Gavin aja deh cyin, biar lo cepet sampe. Busnya kan lamaa
72Please respect copyright.PENANAd9XXA1ARQZ
From: Bang Gavin
Dek, lo kok belum nyampe rumah? Lo ke mana? Hujan nih! Udah tau badan gak kuat dingin, masih aja pulang lambat! Gue juga baru nyampe nih dan Mama nyariin elo. Lo kejebak hujan apa gimana?
72Please respect copyright.PENANAhk1c0MWs8z
Baru saja Deon selesai membaca pesan terakhir itu—dan ternyata pesan itulah yang baru sampai tadi—ponsel Talitha mendadak berbunyi, menandakan ada sebuah panggilan yang masuk. Deon mengernyitkan dahinya tatkala menatap layar ponsel itu.
Bang Gavin calling...
Deon mengangkat panggilan itu, lalu menempelkan ponsel tersebut di telinganya.
Setelah itu, terdengarlah suara Gavin yang sedang dalam mode ibu-ibu cerewetnya. "Dek, lo di mana?! Biar gue jemput. Sekarang udah malem tau nggak? Hujan lagi! Aduh, punya adek kok kelayapan terus."
Deon mulai menjawab Gavin dengan suara rendahnya. "Dia aman sama saya, Pak Gavin. Saya tadi udah jemput dia dan sekarang dia ada di apartemen saya."
Gavin kontan terdiam. Meski bunyi gemerusuktetap terdengar dari seberang sana, Gavin hanya diam. Dia tengah mematung di seberang sana. Gavin terdiam selama beberapa detik, bahkan suara napasnya tak terdengar.
Setelah itu, dengan gagap Gavin menjawab, "I—ini...Pak Deon?"
Deon bernapas samar. "Iya, Pak Gavin. Ini saya. Talitha lagi sama saya."
"A—" Kata-kata Gavin terputus hingga Deon mulai mendengar bunyi gemerusuk lagi. Namun, agaknya kali ini bunyi itu tercipta karena ponsel Gavin diambil orang lain. Setelah itu, mendadak terdengar suara seorang wanita paruh baya.
Deon mengernyitkan dahinya ketika mendengar wanita itu berteriak.
"Siapa kamu?!! Ke mana kamu bawa anak saya?!! Bawa dia pulang!!! Siapa kamu? Apa yang udah kamu lakuin ke anak saya?!!!"
Deon mengerjap.
"Ma...udah, Ma. Itu bosnya Gavin. Udah, Ma." Terdengar suara Gavin samar; Gavin agaknya tengah membujuk wanita paruh baya itu.
Setelah itu, terdengar helaan napas berat. "Kamu ini satu, Vin. Kenapa kamu nggak bilang sama Mama kalo adek kamu—"
"Ma, aku aja baru tau kalo Ita pacaran sama Pak Bos dan aku juga belum sempet minta penjelasan dari Ita..."
Deon hanya mendengarkan mereka berdua.
Setelah itu, Deon angkat bicara, "Maaf, Bu. Saya belum beritahu ibu dan juga ayahnya Talitha dengan baik. Saya minta maaf. Saya nggak macam-macam sama Talitha. Saya cuma ngerawat dia karena dia lagi demam."
Terdengar mama Talitha mulai mendengkus.
"Astaga. Itu anak emang ada-ada aja kelakuannya..."
Mendengar komentar mama Talitha terhadap anak gadisnya sendiri, Deon lantas tersenyum tipis dan menunduk. Deon mulai rileks; ia memasukkan sebelah tangannya ke saku celana pendeknya.
Lagi-lagi Mama Talitha terdengar menghela napas. "Ya udah. Maafkan saya, ya, Pak Direktur. Saya betul-betul minta maaf karena udah ngebentak Bapak sembarangan tanpa tau alasan Bapak."
Deon mengangguk meski dia tahu mamanya Talitha takkan bisa melihatnya.
Mamanya Talitha berbicara lagi, "Tolong jaga anak saya, ya, Pak, sampai Bapak ngantar dia pulang nanti. Em… Nanti sekalian Bapak mampir ke rumah, ya... Ngobrol-ngobrol sama calon menantu, kan, enak..." Mama Talitha tertawa.
Mata Deon melebar. Namun, beberapa detik kemudian…ekspresi wajah pria itu jadi lembut. Betapa harmonisnya keluarga Talitha. Betapa hangatnya sikap mama Talitha...dan hati Deon jadi terasa perih. Tak pernah ada seorang ibu yang bersukacita ingin mengobrol dengannya. Tak pernah ada sosok ibu yang memberinya perhatian ataupun omelan seperti itu sejak dia kecil.
Begitu dia sadar akan hal itu, air matanya jatuh.
Ada lembing yang seolah menohok dadanya hingga dadanya terasa sesak. Deon mendongak dan menghela napas. Membiarkan air mata itu jatuh, lalu tanpa sadar rahangnya mengeras. Ia butuh melampiaskan seluruh kekecewaannya. Namun, ia menahan semua itu karena ia ingat bahwa ia sedang bertelepon.
"Pak Direktur?" panggil mama Talitha di seberang sana dengan heran karena Deon tak bersuara sedari tadi. Hal itulah yang sontak membuat Deon langsung mengusap air matanya. Deon mengerjap, kemudian pria itu tersenyum. "Iya. Mama nggak perlu manggil aku dengan sopan gitu. Panggil aku Deon aja, Ma."
Oh astaga. Bibir Deon agk bergetar tatkala menyebutkan kata 'Mama' itu. Ia tak pernah memanggil seseorang seperti itu lagi sejak 21 tahun yang lalu. Ia merasa marah tiap kali ia mendengar panggilan 'Mama' dan kali ini mama Talitha membuatnya mengucapkan kata 'Mama' itu dengan nelangsa. Ia yakin bahwa mama Talitha adalah seorang wanita yang cerewet, tetapi penuh dengan kasih sayang. Seorang wanita yang mungkin juga punya kepribadian yang unik seperti Talitha. Berdiri tegak untuk keluarganya. Memberi kehangatan untuk keluarganya. Tanpa Deon sadari, Deon bersikap biasa saja seolah ia sudah menjadi bagian dari keluarga Talitha. ‘Memiliki’ keluarga yang harmonis...membuat seluruh beban di hati Deon seakan menghilang. Ia merasa bagai manusia yang terlahir kembali.
Sementara itu, di seberang sana mamanya Talitha tertawa kencang. Wanita itu jadi tersipu karena Deon terdengar begitu imut saat berbicara seperti itu padanya. "Aduh... Iya, Deon. Akhirnya, Mama bakal punya menantu… Hahaha! Si Gavin sama Ita menjomblo terus soalnya. Mama kira Mama dulunya ada salah apa gitu, sampe anak-anak Mama nggak laku... Wahahaha."
Terdengar Gavin mulai protes kepada mamanya. Namun, secara mengejutkan…Deon justru tertawa lepas. Pria itu tertawa terbahak-bahak di telepon. Seumur hidupnya, dia tak pernah benar-benar merasa senang seperti ini.
"Nanti aku ke sana, Ma, sambil nganterin Talitha. Nggak kok, Ma, Mama nggak ada salah. Aku juga nggak pernah punya pasangan sebelum ketemu sama Talitha."
Mama Talitha berteriak histeris, "Aaah, senengnyaa! Talitha beruntung banget punya kamu. Ya udah, ntar jangan lupa ke sini, ya, Sayang. Papanya Talitha juga mau kenalan sama pacar Talitha, tuh, katanya."
Deon terkekeh.
"Ya udah. Tidur jangan macem-macem, ya. Kalian belum nikah soalnya. Si kunyuk satu itu juga masih kuliah," lanjut mama Talitha.
Tak ayal, Deon kembali tertawa terbahak-bahak. Mendengar Talitha diejek begitu oleh keluarganya sendiri…sungguh menggelikan baginya.
"Iya, Ma," jawab Deon santai.
"Ya udah. Mama tutup dulu teleponnya. Jagain Ita, ya, menantu kesayangan Mama."
Mata Deon membulat. Menantu kesayangan?
Deon padahal belum bertemu keluarga Talitha dan sudah dibilang menantu kesayangan. Apa karena mamanya Talitha baru merasa punya calon menantu? Ah, tetapi tak mungkin langsung dibilang menantu kesayangan juga kalau hanya itu alasannya. Meskipun dia dan Talitha tidak berpacaran seperti seharusnya, Talitha telah membawa banyak hal baru untuknya. Ia sering kali tersenyum palsu, tetapi akhir-akhir ini dia mulai tertawa. Sejak bertemu dengan Talitha, ia menyadari betapa bahagianya menampilkan semua ekspresi itu tanpa kepalsuan. Mengobrol dengan Gavin waktu itu saja sudah membuatnya tertawa lepas. Sekarang, dengan mama Talitha juga begitu.
Meskipun ia tak tahu bagaimana cara mencintai orang lain seperti seharusnya... Meskipun ia tak tahu mengapa dia begitu ingin Talitha berada di sisinya untuk membantunya... Meskipun ia hanya tahu bagaimana cara mempertahankan miliknya... Meskipun ia bertemu dan mengurung Talitha di genggamannya dengan cara yang tak logis... Talitha harus tetap bersamanya, tak boleh hilang darinya, barang sedetik pun dan dalam keadaan apa pun.
"Iya, Ma," ujar Deon sebelum sambungan telepon itu akhirnya terputus.
72Please respect copyright.PENANAQFu055rPnm
******72Please respect copyright.PENANAHE4DPNj1oB
72Please respect copyright.PENANAZFjAkVFUwq
Talitha terbangun dan menemukan dirinya terbaring di ranjang Deon. Ia menyipitkan matanya karena silau; gorden jendela kamar Deon terbuka dan sinar mentari langsung menerangi kamar. Talitha lantas memegang tenggorokannya yang terasa kering.
Ah...dia ingat. Dia demam semalam.
72Please respect copyright.PENANAYn9LmDSWv3
"Sudah bangun?"
72Please respect copyright.PENANAHarw6ge9k1
Talitha menoleh ke asal suara. Matanya—yang semula malas terbuka—kini jadi membulat sempurna begitu mendapati Deon di sana, berdiri dengan shirtless di pintu kamar. Talitha langsung terduduk.
Talitha menatap Deon tanpa berkedip. Ia menatap Deon dari atas ke bawah dan tanpa sadar dia berdecak kagum sendiri, kegirangan seperti monyet. Deon menyatukan alisnya.
"WIDIH MAK... Seksinya ckckck... Maknyos euy..."
Tanpa punya urat malu, Talitha bertepuk tangan sendiri. Dia tergelak dan matanya masih menatap otot-otot di tubuh maskulin Deon dengan antusias.
"Pantesan kamu dikatain mamamu jomblo terus," ujar Deon sembari menyipitkan matanya. "Ternyata mata kamu selalu lapar."
Talitha mendadak melongo.
"Oi—kok kamu tau kalo Mama aku suka ngatain aku gitu?! Wah, jangan-jangan—"
"Mama kamu nelepon semalam. Dia nanyain kamu,” jawab Deon santai.
Mata Talitha kontan terbelalak, dia langsung beranjak turun dari kasurnya dan berdiri. Gadis itu terbirit-birit mengambil ponselnya yang ternyata ada di sofa. Sambil memeriksa ponselnya, gadis itu pun berbicara dengan cemas, "Terus kamu bilang gimana?! Dia marahin kamu nggak?!! Lagian, kok kamu main angkat-angkat aja, sih!! Ntar kita diinteroga—"
"Mama kamu udah tau kalau kita pacaran, Talitha. Nanti aku bakal nganterin kamu sekalian kenalan sama orangtua kamu."
Mata Talitha memelotot lagi. Mulutnya menganga. Tubuhnya mematung.
"Oi—Deon, kok kita jadi kayak pacaran serius gini toh? Ah, udah, deh, nggak usah. Ntar aku pulang sendiri aja dan jelasin semuanya ke Mama—"
“—dan kamu mau bilang kalau kita pacaran bohongan? Terus kamu mau jelasin ke abang kamu dan semuanya kalau kamu terpaksa menjadi milikku karena kebohongan kalian?" ujar Deon sarkastis. Deon memiringkan kepalanya ke sisi dan tatapannya jadi tajam.
Lidah Talitha mendadak kelu. Ah...iya. Bisa berabe urusannya. Meskipun Talitha tak sepenuhnya salah, pasti yang dihajar oleh mamanya adalah Talitha juga.
Lagi pula, Deon memberinya pilihan yang sulit. Ah, ini memang gila. Dari awal semua ini memang gila.
Talitha memijit keningnya. Ini benar-benar memusingkan.
Setelah itu, Talitha mulai merasa ada langkah kaki yang mendekatinya. Begitu ia sadar, dahinya mendadak dipegang oleh seseorang. Talitha mendongak dan mendapati Deon di sana. Pria itu tengah memegang dahi Talitha.
"Panas kamu udah turun. Ayo sarapan dan—" ucapan Deon terputus dan ia melihat ke bawah, ke otot perutnya.
Di sana ada tangan Talitha yang tengah meraba otot perutnya itu dengan antusias.
Deon menatap Talitha dan wajah gadis itu dipenuhi dengan rasa kagum. Talitha bahkan nyaris mengeluarkan air liurnya.
Deon mengernyitkan dahinya tipis. "Tangan kamu, Talitha. Perasaanku tadi kamu lagi pusing mikirin apa kata mama kamu. Sekarang otak kamu malah ganti jalur."
Talitha mendadak ngakak. "Gila, ya, Deon, pantesan aja Basuki nge-fans berat sama kamu! Hahahah! Ternyata aslinya lebih seksi!! Aduh, kayaknya aku beruntung, nih,bisa nggrepe-grepe kamu duluan bhahahah!!"
Deon memejamkan matanya, menghela napas, lalu membuka matanya lagi. "Aku nggak pernah ketemu perempuan segila kamu," komentar Deon, ia menyentil dahi Talitha. "dan aku nggak ngerti apa itu nggrepe-grepe atau apalah itu."
Talitha tambah tertawa bak kesetanan. "Halaaaah, polos amat, sih? Kita sesama jomblo harus tau istilah-istilah itu seenggaknya."
"Aku sama kamu udah nggak jomblo lagi, setahuku," ujar Deon. Kini dia sudah mengerti apa itu jomblo.
Talitha menganga. Ini orang...ternyata memang serius menganggap Talitha sebagai pacarnya.
"Jangan sekali-kali kamu SMS-an sama si Alfa-Alfa sialan itu lagi atau kamu akan tahu akibatnya."
Talitha mendadak terkesiap. Bagai tersambar petir, tubuh Talitha menegang.
"Maksud kamu...Kak Alfa?" tanya Talitha.
"Aku nggak suka lihat milikku diusik orang lain dan kamu yang paling tau itu, Sayang." Deon tersenyum manis, tetapi mengapa terasa agak…sarkastis?
Talitha mengernyitkan dahi, matanya nyalang, dan ia mulai mengomel.
"Hah? ‘Sayang’?!! Udah, deh, Deon, kamu itu kayaknya punya dua kepribadian, ya? Ganteng, tapi gilanya nggak ketulungan. Lagian, nih, ya, aku emang selalu SMS-an sama Kak Alfa dalam setahun terakhir ini. Meskipun jomblo gini, aku ada deket juga sama kakak tingkat dari fakultas lain. Kamu aja yang baru nongol langsung marah-marah nggak jelas," ujar Talitha sembari berdecak.
Mata Deon langsung menyipit tajam. Talitha yang menyadari itu hanya mendengkus dan bersikap cuek. "Udah, deh, jangan marah-marah. Lagian, kita ini—“
"Jangan pernah SMS-an atau berhubungan apa pun lagi sama dia. Aku udah hapus nomor dia dari ponsel kamu. Jangan dekat-dekat sama laki-laki lain, Talitha!! Aku nggak suka itu dan sekali aku bilang jangan, maka jangan pernah kamu lakukan. Atau aku bakal ngelakuin sesuatu ke abang-abang kamu."
Talitha menggeram. Emosinya naik sampai ke ubun-ubun. "BISA NGGAK, SIH, JANGAN SANGKUTIN APA PUN KE ABANG-ABANGKU? SEKARANG KAMU IKUT NGANCEM BANG REVAN?! KAMU INI SINTING, YA?! DIA NGGAK ADA HUBUNGANNYA!!”
"Apa salahnya sinting kalau untuk mempertahankan pacar sendiri? Mungkin aku bakal berhenti pakai ancaman-ancaman kayak gitu kalau kita udah saling mencintai," ujar Deon dengan angkuh; tatapan matanya mengintimidasi Talitha.
"Enak aja kamu!!" teriak Talitha. “Ini maksa aku ceritanya? Oh, kalo gitu aku juga bakal terus maksa kamu. Sampe kamu muak," sinisnya.
Deon mendengkus. "Selama kamu nggak dekat dengan laki-laki lain, aku nggak bakal muak sampai kapan pun. Mudah bagiku untuk menyingkirkan laki-laki sialan itu," ujar Deon sembari memegang dagu Talitha. Tatapan matanya mengerikan. Kalimatnya terasa begitu menusuk dan melukai Talitha dari dalam secara perlahan.
Merasa kesal, Talitha lantas mendorong tubuh shirtless Deon dengan kuat.
"Udah ah!! Males aku ngeladeni kamu!!" teriak Talitha sembari berjalan ke kamar mandi dengan tergesa-gesa. Lebih baik dia mandi daripada harus berdebat dengan Deon.
72Please respect copyright.PENANAn3CBwLAnPg
******
72Please respect copyright.PENANAjdd0x4VwRp
"Ma, Ita pulang."
Talitha mengetuk pintu rumahnya sambil harap-harap cemas. Ia tak tahu apa yang akan terjadi. Ia pun tak yakin dengan apa yang akan Deon katakan nanti. Deon itu selalu mengancamnya dan setelah semua yang terjadi, ia tak percaya kalau Deon akan berbaik hati. Pasti bakal ada gebrakan baru, nih.
Deon bahkan membuat Talitha sampai tidak kuliah hari ini. Alasannya simple. Menurutnya, Talitha harus izin karena belum sembuh total. Dia mengamuk ketika Talitha memaksa untuk kuliah. Satu hal lagi: dia ingin menemui orangtua Talitha hari ini juga. Bukannya bekerja, dia malah ingin berkunjung ke rumah Talitha.
Entahlah Gavin kerja atau tidak.
Tak lama kemudian, pintu rumah itu terbuka. Terlihatlah sosok mama Talitha di sana. Wanita paruh baya itu menatap Talitha, kemudian dia melihat seorang pria supertampan yang berdiri di samping Talitha.
Mama Talitha kontan menganga. Wajah mamanya itu langsung berseri-seri; ia terlihat sangat antusias. Takjub bukan main tatkala melihat sosok lelaki itu.
Itu pasti calon menantunya sekaligus direktur utama Abraham Groups, tempat di mana anak sulungnya bekerja. Mama Talitha jelas langsung tercengang; matanya tak berkedip.
Pria itu tampan. Luar biasa tampan.
"Halo, Ma," sapa Deon dengan ramah, pria itu kini bersalaman dengan mama Talitha dan dia langsung mencium punggung tangan mama Talitha dengan sopan. Deon tampak begitu tulus saat melakukan itu. Dia seolah benar-benar sedang bertemu dengan ibu mertuanya.
Talitha sampai heran sendiri saat melihat kelakuannya.
Is he exhibiting two distinct and separate identities or something?
Talitha tak mengerti.
"Ayo masuk, Sayang. Ayo, Ta, ke belakang gih sana. Siapin minuman buat Deon. Aduuhhh, calon menantu Mama ganteng banget, sih," puji Mama Talitha sembari menepuk-nepuk rahang Deon yang terlihat sangat tajam dan tegas.
Talitha mencibir. "Yeee ileh, ketemu menantu malah lupa sama anak. Ini, nih, Mama yang aneh."
Mama Talitha langsung tertawa terbahak-bahak. Kalau Deon…
Wah? Pria itu terkekeh.
"Welehh... Ketawa lagi dia. Emang seneng banget liat aku menderita," komentar Talitha. Setelah menggeleng singkat, Talitha pun masuk ke rumahnya dan langsung pergi ke dapur. Dia mulai mendengar mamanya mengajak Deon masuk ke rumah.
"Pa! Gavin! Ini, nih, Deonnya udah dateng," teriak mama Talitha kencang; ia terdengar sangat bahagia. Lho, bentar, bentar. Papanya tak masuk kerja?! GAVIN JUGA?!
Memangnya tak takut dipecat oleh Deon? Maksud Talitha, Gavin itu, kan…jelas tahu kalau yang datang itu bosnya!! Dia cari mati atau bagaimana, sih?!
Talitha membawa teko yang berisi sirop serta beberapa gelas ke ruang tamu. Ia juga membawa bolu coklat yang ada di dalam kulkas dan kue-kue kering yang selalu mamanya simpan di lemari makan.
Di dalam perjalanannya menuju ke ruang tamu, Talitha bertemu dengan Gavin. Mata Talitha langsung memelotot, lalu ia berbisik dengan kesal kepada abangnya.
"Bang, lo kok gak kerja, sih?! Yang dateng itu Deon, Bang! Dirut elo!! Lo cari mati?!"
Gavin menghela napas; ia langsung mendekati Talitha dan membisikkan sesuatu ke telinga Talitha. "Gue juga mau kerja, tapi Pak Deon alias pacar lo, tuh, Dek, yang ngelarang gue kerja. Dia bilang dia pengin ketemu sama semua orang yang ada di rumah kita. Widih, serius, lo kayak mau dipinang aja! Jangan-jangan lo udah ngapa-ngapain sama dia, ya? Ngaku! Hebat bener lo baru kenal udah bisa—"
“Kamvret, Bang, jangan ngomong gitu ngapa, sih?!! Asem, nggak mungkinlah gue ngapa-ngapain sama dia! Omongan lo nggak jelas banget sumpah!" bisik Talitha, dia tampak marah. "Terus—apa? Kapan dia ngelarang lo kerja?!"
Gavin mendengkus dan mengedikkan bahunya. "Tadi pagi dia nelepon gue dan wiih—dia nggak manggil gue pake 'Pak Gavin' lagi. Dia manggil gue Abang! Sialan, kaget gue serius."
Spontan saja Talitha tertawa bak kesetanan. Gavin bahkan sampai harus menutup mulut adiknya itu dengan paksa.
"SERIUS LO?!" teriak Talitha. "ASTAGA HAHAHAH!!"
Gavin menjewer telinga Talitha dan menutup mulut adiknya itu lagi.
"Ita, sst!! Kamvret, jangan keras-keras ngapa, sih, Dek?! Ntar kedengeran sama Deon! Kalo kedengeran, bisa jadi dia pecat gue beneran dan dia mutusin elo!"
Talitha tertawa lagi. "Nah, elo juga udah manggil dia pake 'Deon' hahaha!! Emang tumpeh-tumpeh kalian nih... Nggak tanggung-tanggung lagi. Gue nggak tau mau ngomong apa," ujar Talitha seraya menggeleng.
"Ya habisnya walaupun dia bos gue, dia bakalan jadi adek ipar gue juga, 'kan? Apa salahnya gue juga manggil dia dengan namanya?" Gavin kembali mengedikkan bahu.
Talitha menganga. Sialan nih Abang, pikirnya. Andaikan abangnya itu tahu kalau ia dan Deon bukanlah pasangan yang akan memiliki‘happy ending’ seperti itu, soalnya mereka hanya berpura-pura pacaran.
Akhirnya, Talitha dan Gavin mulai berjalan bersama dan sampai di ruang tamu. Papa Talitha sudah duduk di sana dan sudah mengobrol santai dengan Deon.
Gavin duduk di sofa kecil sendirian. Talitha meletakkan minuman dan kue-kue yang ia bawa itu ke atas meja, lalu ia mendapati bahwa mama dan papanya tengah menatapnya dengan bangga.
Ah... Iya, deh, iya. Mungkin mereka kira Talitha memang membuktikan omongannya—Talitha pernah bilang kalau dia nanti bakal dapat cowok yang ganteng—padahal ini kasusnya beda.
Talitha kemudian langsung menatao Deon. Tatapan lembut Deon itu seolah mengatakan, "Duduk di sampingku, Sayang."
Wanjeeeer! Gak gitu juga kali Bambang!!
Sial. Seberapa besar Deon telah menarik perhatian kedua orangtua Talitha?
Berdecak pelan, Talitha akhirnya menyerah dan duduk di samping pria itu.
Papa Talitha mulai berbicara kembali, "Jadi…udah berapa lama kamu kenal sama Ita, Deon? Papa nggak nyangka kalo Ita dapet pacar yang sempurna kayak kamu."
Deon terkekeh. Pemandangan yang paling menawan dan mampu melelehkan seantero jagat. "Baru akhir-akhir ini, Pa, tapi Talitha sejak awal udah bisa narik perhatianku. Dia bisa ngebuat aku jadi langsung bergantung sama dia. Aku jadi ngerasa ada yang aneh kalau nggak sama dia."
Waduh, Mak, hoeeek! Bergantung pada Talitha si cewek stress yang tak tahu malu ini?
Talitha merinding, perutnya jadi mual sendiri. Apa-apaan yang sedang pria posesif itu katakan?! Wah, itu Deon kayaknya lagi kesurupan. Pasti karena kebanyakan akting drama romantis, nih, makanya dia jadi terbiasa mengucapkan kalimat-kalimat manis!
Namun, mama Talitha justru terpesona. Mamanya dengan teganya malah terpesona oleh kalimat romantis Deon. Wanita paruh baya itu bahkan sampai menepuk pundak suaminya karena salah tingkah saat melihat sikap Deon. Deon benar-benar menarik hati.
Papa Talitha lantas tertawa terbahak-bahak; ia tampak bahagia bukan main. Ia seolah baru saja menyaksikan sebuah kejadian yang seharusnya takkan terjadi dalam seribu tahun.
Ya, ya, ya. Talitha tak menjomblo lagi itu adalah kabar gembira yang hanya datang satu mileniumsekali. Ha.
"Jadi, gimana ceritanya kamu bisa datang ke Indonesia, Deon?" tanya Papa Talitha lagi.
Kini Deon mulai memeluk pinggang Talitha dengan posesif. Membuat Talitha lantas mengernyitkan dahinya. Akan tetapi, hal itu membuat mama Talitha jadi senang bukan main.
Sementara itu, Gavin sedari tadi hanya melongo. Buset dah, ini dia lagi menyaksikan apa, sih, sebenarnya?! Selain itu, ada hal buruk lagi.
Dia dilangkahi oleh adiknya, coy.
Talitha memang benar-benar kurang ajar.
Deon tertawa renyah. Wajahnya tampak berseri-seri. "Um… Sejak kecil aku udah jadi model di Taiwan, Pa. Terus waktu umur belasan sampai terakhir kali sebelum datang ke sini, aku sempet beberapa kali main drama," ujar Deon, dia terlihat agak canggung tatkala menceritakan hal itu. "Aku dipanggil ke Indonesia karena Papaku sakit. Papa minta aku buat nggantiin dia sebagai direktur utama Abraham Groups."
Papa Talitha melebarkan matanya, ekspresi wajahnya mulai serius. "Papa kamu sakit?"
"Iya, Pa. Papaku sakit jantung. Sekarang masih belum pulih total,” jawab Deon sembari tersenyum tipis.
Baik Gavin, Talitha, maupun Mama dan Papa Talitha, semuanya kaget mendengar bahwa papa Deon ternyata menderita sakit jantung.
"Kamu harus banyak bersabar, ya, Deon," ujar Mama Talitha. "Kami akan bantu kamu sebisa kami kalau kamu perlu bantuan. Semoga papa kamu cepet sembuh, ya, Sayang. Kami siap bantu kamu kapan pun."
"Kami ada di sini, Deon. Kami udah nganggap kamu sebagai keluarga kami juga sekarang. Papa harap hubungan kamu sama Ita baik-baik aja sampai kalian ke pelaminan," ujar Papa Talitha.
Gavin mengangguk.
Mata Talitha kontan membeliak. "Papa apa-apaan, sih?!! Deon ini baru dateng ke sini, lho, Pa, dan hubungan kami juga belum lama! Pelaminan apa—"
"Iya, Pa. Pasti. Aku bakal jaga Talitha sampai kapan pun. Aku bisa mastiin kalau Talitha adalah calon istriku karena aku punya rencana untuk ngelamar dia dalam waktu dekat."
Talitha kontan menganga. Mama Talitha, Papa Talitha, dan Gavin juga langsung menganga.
"Kamu setuju, ‘kan, Sayang?" bisik Deon dengan lirih di telinga Talitha; pria itu tersenyum seraya membelai kepala Talitha.
HAH? APA-APAAN INI?!! []
72Please respect copyright.PENANAZyz5wiU5ZK