Prolog
Ada momen dalam hidup yang nggak pernah benar-benar hilang. Bukan karena kita nggak mau melupakan, tapi karena kenangan itu sudah jadi bagian dari kita—seperti goresan di kayu yang nggak bisa dihapus meski waktu terus berjalan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjMa9HmVOuW
Desi Wulandari. Nama itu selalu muncul di sudut hati Havis, meski bertahun-tahun berlalu. Kenangan mereka dulu, dari rebahan bareng sambil nonton TV, ngerjain tugas kuliah sambil saling goda, sampai momen-momen kecil penuh tawa—semuanya seperti potongan puzzle yang nggak pernah lengkap lagi.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡND3jQVcZYm
Tapi cinta nggak pernah sekadar manis. Di balik tawa dan harapan, ada luka, ada perpisahan, dan ada keputusan yang terlalu berat untuk diambil. Havis masih ingat bagaimana ia berdiri di depan pintu rumah Desi, menatap wajah ayahnya yang dingin dan tak ramah. "Akhiri semuanya," kata itu seperti palu yang menghancurkan impian Havis untuk membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1Dm2CEvsxz
Namun, hidup nggak pernah berhenti di satu titik. Waktu terus berjalan, dan meski hati pernah terluka, Havis tahu satu hal: dia harus berdamai dengan masa lalu.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6sV5I4T9yA
Tapi, siapa sangka, tiga tahun lalu, nama Desi kembali muncul di hidupnya. Bukan untuk membawa kabar bahagia, tapi dengan cerita penuh air mata dan luka yang baru. Hidup Desi diuji, dan di tengah kekacauan itu, ia memilih untuk kembali ke satu orang yang pernah ia percayai—Havis.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡOXu8IVBoiR
Dan di sinilah semua dimulai kembali.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4HU2bgCHld
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡl3tRuJzMZb
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzfZUaELPKl
Bab 3: Ketika Waktu Mulai Menjauhkan
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGQ5BlC9nlM
Hubungan Havis dan Desi masih bertahan setelah penolakan ayah Desi. Tapi keduanya tahu, ada sesuatu yang berubah. Ketegangan itu terasa seperti dinding tak terlihat yang makin lama makin tebal di antara mereka.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrVUs6FESAr
Hari-hari yang dulu penuh tawa kini terasa lebih sunyi. Tugas kuliah, pekerjaan, dan rutinitas mereka masing-masing mulai mengambil alih waktu yang dulu mereka habiskan bersama. Intensitas pertemuan menurun drastis. Mereka masih saling BBM, tapi obrolannya nggak lagi sepanjang dulu. Kadang hanya pertanyaan standar: “Udah makan?” atau “Tugas lo udah selesai?”
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡisUIsF8CNo
Havis berusaha untuk tetap seperti biasa. Dia mencoba bikin obrolan tetap hidup, mengirim lelucon receh seperti dulu, tapi respon Desi seringkali cuma pendek. Bukan karena dia nggak peduli, tapi karena dia sendiri terlihat kelelahan oleh situasi.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ3LqbdHgydU
Suatu sore, Havis memutuskan untuk berkunjung ke rumah Desi tanpa memberi tahu. Dia rindu momen-momen mereka dulu, saat semuanya terasa ringan. Tapi yang menyambutnya bukan Desi, melainkan ayahnya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsMqgiy5xyQ
"Ada apa lagi kamu ke sini?" suara ayah Desi tegas, dingin, seperti palu yang memukul hati Havis.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡCeqMnnbrGH
"Saya cuma mau ketemu Desi, Pak. Nggak lebih," jawab Havis dengan suara yang mencoba tetap tenang.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwQfv3n3AoJ
Ayah Desi memandang Havis lama, lalu menggeleng. "Kamu nggak perlu terus datang. Saya sudah bilang, akhiri semuanya."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ81nSPCzhLw
Havis tidak membalas. Dia hanya menunduk, berbalik, dan melangkah pergi. Di tengah jalan, dia berpapasan dengan Desi yang baru pulang dari tempat les.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ37aypI9MWO
"Vis, kamu ngapain ke sini?" tanya Desi, terlihat terkejut tapi juga bingung.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡKdfnitlEwy
"Rindu," jawab Havis singkat, senyumnya tipis. "Tapi kayaknya gue nggak boleh ke sini lagi."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSMJpilBfMk
Desi menatapnya, dan untuk pertama kalinya Havis melihat rasa bersalah di wajah Desi. "Maaf, Vis. Aku beneran nggak tahu harus gimana," katanya pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡSuVSORusVk
Havis hanya mengangguk, menahan semua rasa kecewa di dadanya. "Gue cuma pengen lo tahu kalau gue masih ada di sini," katanya sebelum pergi.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvBg8GnF5Xa
Setelah itu, hubungan mereka benar-benar mulai terasa berbeda. Bukan hanya waktu yang makin terbatas, tapi juga energi untuk mempertahankan semuanya. Malam-malam mereka yang dulu penuh cerita kini berganti dengan jeda panjang.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡuqHU1hjj3V
Sampai suatu malam, Havis mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡr6leVoEUEb
"Des," katanya lewat BBM, "kita masih kayak dulu nggak sih?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIaNCrIQ1ky
Butuh beberapa menit sebelum Desi membalas. "Maksud kamu apa, Vis?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡnpqbGU4KLF
"Lo nggak ngerasa kalau kita makin jauh? Gue ngerasa kayak ada yang hilang dari kita."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHiOgyEQvON
Pesan itu diikuti oleh keheningan yang panjang. Desi akhirnya membalas, "Aku juga ngerasa gitu, Vis. Tapi aku nggak tahu harus gimana. Aku capek sama semuanya."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGRyIf8wOOs
Havis terdiam lama membaca pesan itu. Kata-kata Desi menusuk hatinya. Bukan karena dia marah, tapi karena dia tahu Desi juga merasa sama rapuhnya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRzi00wYeH9
"Kalau lo capek, apa artinya gue di hidup lo sekarang?" tanya Havis akhirnya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡtKxiDUrazJ
Desi hanya menjawab, "Aku nggak tahu."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8pyfaKPOiP
Dan seperti itu, semuanya perlahan memudar. Hari demi hari berlalu tanpa pesan, tanpa pertemuan. Sampai akhirnya, tanpa ada kata resmi, hubungan mereka benar-benar berhenti.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡV8soronyLh
Setahun kemudian, saat rasa rindu mengalahkan egonya, Havis mencoba mencari Desi lagi. Dia bertanya ke teman-teman lama mereka, mencoba menemukan cara untuk menghubungi Desi. Tapi yang dia temukan justru sebuah fakta yang menghancurkannya lebih dalam.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡeXm43XIN72
Desi sudah bersama orang lain.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8G5eBzvQt9
Foto mereka bersama terlihat di media sosial, dengan caption penuh kebahagiaan. Havis hanya bisa menatap layar ponselnya dengan senyum pahit. Dia nggak marah, nggak juga iri. Tapi ada rasa perih yang nggak bisa dia jelaskan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFq7q8Mnchz
Dia menutup ponselnya, menarik napas panjang, dan berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin sekarang, gue yang harus belajar pergi."
Bab 4: Kembali ke Arah yang Tak Terduga
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjXK7Zh3thm
Tiga tahun setelah perpisahan yang perlahan, nama Desi Wulandari kembali muncul di layar ponsel Havis. Sebuah pesan singkat dari nomor yang tak pernah lagi dia lihat.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡM6wGbHk1SG
"Vis, boleh ngobrol?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡim8gZ0HIAn
Havis menatap layar itu lama. Ada rasa ragu bercampur penasaran. Kenapa sekarang? Kenapa setelah semua yang berlalu? Tapi akhirnya, jarinya bergerak untuk membalas.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFhF0CNPxFO
"Tentu, Des. Ada apa?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡf1b0Bk0bW5
Jawaban dari Desi tidak langsung datang. Beberapa menit berlalu, lalu akhirnya muncul.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUG2y1Ehwbz
"Aku butuh tempat cerita. Hidup aku lagi berantakan, Vis."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDVtDCxPZ5n
Havis tahu dia seharusnya berhati-hati. Tapi rasa peduli yang dulu ada—dan mungkin masih ada—membuatnya setuju untuk mendengar. Mereka akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang cukup jauh dari keramaian.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡTqDmAkK4LJ
Saat Desi muncul, Havis hampir tak mengenali sosoknya. Wajahnya tampak lebih dewasa, tapi matanya yang dulu bersinar penuh semangat kini terlihat lelah. Rambutnya tergerai rapi, tapi ekspresinya seperti menyimpan beban yang berat. Dia tersenyum tipis saat melihat Havis.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6TSXe3v3pW
"Vis," katanya pelan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡebBS9jjEFH
"Des," jawab Havis singkat, mencoba menahan gelombang emosi yang datang tiba-tiba.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrtr3i9KOkQ
Mereka duduk berhadapan. Desi memesan teh hangat, sementara Havis hanya memilih air putih. Suasana canggung mengisi udara di antara mereka sampai akhirnya Desi mulai bercerita.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ02p7TzWeMe
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya, menatap cangkir tehnya yang masih penuh. "Hidup aku nggak berjalan seperti yang aku kira."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡgbAWAjE7WT
Havis mengangguk pelan, memberi ruang untuk Desi melanjutkan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwBqzu4kKdK
"Pernikahan aku..." Dia berhenti sejenak, mencoba menahan air matanya. "Aku nggak bahagia, Vis."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡmD0uplWH1L
Havis terdiam. Dia tahu cerita ini tidak akan mudah didengar. "Apa yang terjadi?" tanyanya akhirnya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡa0C8PDo0nb
Desi menghela napas panjang. "Suamiku... dia ditangkap karena kasus narkoba. Semua orang tahu, Vis. Keluarga aku hancur, anak aku jadi korban."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡwJMAtWQHmY
Kalimat itu seperti pisau yang menusuk hati Havis. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya bisa mendengar saat Desi melanjutkan ceritanya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjDuahQbbYY
"Aku ngerasa sendiri, Vis. Aku nggak tahu harus gimana. Aku ngerasa... semua ini nggak akan terjadi kalau dulu aku nggak ninggalin kamu."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ82AMy2PNm4
Havis menatap Desi dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa maksud kamu?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡli2Pn1KDiT
Desi menatapnya, air mata mulai mengalir di pipinya. "Kalau aku tetap sama kamu, hidup aku nggak akan seberantakan ini. Kamu selalu tahu cara buat aku bahagia. Tapi aku malah pilih jalan yang salah."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡi5ZuoSV2Z9
Kata-kata Desi membuat Havis terdiam. Ada rasa pedih mendengar dirinya disalahkan secara tidak langsung, tapi di sisi lain, dia juga merasakan kesedihan Desi.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQyJ8YtTaRn
"Des, gue nggak tahu apa yang harus gue bilang," kata Havis akhirnya. "Tapi hidup lo adalah pilihan lo. Lo nggak bisa terus nyalahin diri lo atau orang lain."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡh3MX1x4wFU
Desi menatap Havis lama, seperti mencoba mencari jawaban di matanya. "Kamu masih sayang sama aku, Vis?" tanyanya pelan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXY9ok2Anr1
Havis tertegun. Pertanyaan itu membuat dadanya sesak. "Des, ini bukan soal gue masih sayang atau nggak. Ini soal lo. Gue cuma pengen lo bisa berdiri lagi, buat lo sendiri, buat anak lo."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYQfApBiRYg
Desi terisak, menyembunyikan wajahnya di balik tangannya. Havis ingin mengulurkan tangan, ingin meyakinkannya bahwa dia nggak sendirian. Tapi dia tahu, ini bukan momen untuk membicarakan perasaan masa lalu.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4et2ObOg7B
Hari itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe, berbicara tentang masa lalu, tentang penyesalan, tentang semua hal yang tak bisa mereka ubah. Havis mencoba memberikan dukungan semampunya, tapi di dalam hatinya, dia tahu: cerita ini belum selesai.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡpfHDDE4NbL
Saat Desi akhirnya pulang, Havis duduk sendirian di kafe itu, memandang cangkir kopi yang kosong. Dia menarik napas panjang, mencoba meresapi semua yang baru saja terjadi.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡXlwiPHP9CD
"Kenapa harus gue lagi?" pikirnya pelan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡproWtRNDzm
Bab 5: Beban yang Tak Pernah Diminta
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQfafRHLr8n
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan dengan rasa campur aduk di hati Havis. Desi mulai sering menghubunginya, lebih sering daripada yang dia duga. Awalnya hanya pesan singkat seperti, "Apa kabar?" atau "Gimana kerjaan lo, Vis?" Tapi perlahan, obrolan mereka berubah jadi percakapan panjang tentang kehidupannya yang penuh luka.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡFW700KSBOb
Desi sering bercerita tentang suaminya yang kini di penjara, tentang perjuangannya membesarkan anak sendirian, dan tentang rasa kesepian yang terus menghantui. Havis mendengar semuanya dengan sabar, mencoba menjadi tempat dia bersandar, meskipun di dalam hatinya, dia tahu ini adalah beban yang berat.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMVUvSFOcwF
Suatu malam, Desi menelepon Havis. Suaranya terdengar serak, seperti habis menangis lama.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWdovYnJqZJ
"Vis, aku nggak tahu harus gimana lagi," katanya pelan. "Aku capek banget. Kadang aku mikir, apa hidup aku bakal lebih baik kalau dulu aku tetep sama kamu."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡfj4YsytXMs
Kata-kata itu membuat Havis terdiam. Dia menatap langit-langit kamarnya, mencoba merangkai jawaban yang tepat.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ4ad9BrdnvE
"Des," katanya akhirnya, "hidup lo sekarang memang berat. Tapi lo nggak bisa terus nyalahin masa lalu buat semua ini. Kita nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kita tetap bareng. Yang jelas, sekarang yang penting adalah lo fokus buat bangkit."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6ZdOpHyhxQ
Desi terisak di telepon. "Tapi aku ngerasa gagal, Vis. Aku bahkan nggak bisa jadi ibu yang baik buat anak aku."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYAfKA6yz6Y
Havis menghela napas panjang. "Lo nggak gagal, Des. Lo cuma lagi diuji. Anak lo butuh lo, dan gue yakin lo lebih kuat dari yang lo pikir."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaaDkhsWO2U
Malam itu, mereka berbicara selama hampir dua jam. Havis mencoba menyemangati Desi, meskipun di dalam dirinya, ada rasa frustrasi yang mulai tumbuh. Dia peduli pada Desi, tapi dia juga tahu, dia nggak bisa terus menjadi sandaran tanpa batas.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ80epyO39q5
Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin intens. Desi mulai membuka luka-luka yang lebih dalam, termasuk rasa penyesalannya yang mendalam karena memilih suaminya daripada Havis.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ5iZD6Ejm61
"Aku tahu aku nggak bisa balik ke masa lalu," kata Desi di suatu malam. "Tapi aku bener-bener ngerasa kehilangan kamu, Vis. Kamu satu-satunya orang yang selalu ngerti aku."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡkTjwPQLkgh
Havis menatap layar ponselnya, membaca pesan itu berulang kali. Di satu sisi, dia merasa tersentuh. Tapi di sisi lain, ada rasa marah yang tak bisa dia jelaskan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡaKqz6RCaWR
"Kalau gue satu-satunya yang ngerti lo, kenapa lo ninggalin gue dulu?" pikir Havis dalam hati. Tapi dia nggak pernah mengucapkannya. Dia tahu, kata-kata itu nggak akan membawa mereka ke mana-mana.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ53lRNFge8q
Hingga suatu hari, Desi menelepon Havis dengan nada yang lebih serius dari biasanya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡrHSy3iucAp
"Vis, aku mau coba rujuk sama suami aku," katanya tanpa basa-basi.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡlSL7NLxcvT
Kata-kata itu menghantam Havis seperti ombak besar. Dia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. "Rujuk? Lo yakin itu yang terbaik buat lo, Des?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡsbpqbqqqcS
Desi menghela napas. "Aku nggak yakin. Tapi aku nggak mau anak aku kehilangan ayahnya. Kalau masih ada sedikit harapan, aku mau coba."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ17W57DzsoI
Havis hanya bisa mengangguk pelan, meskipun Desi nggak bisa melihatnya. "Kalau itu keputusan lo, gue cuma bisa doain yang terbaik. Tapi lo juga harus siap sama konsekuensinya, Des."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBneHcMJNQI
Setelah telepon itu berakhir, Havis duduk diam di kamarnya. Ada rasa lega, tapi juga luka. Dia tahu, hubungannya dengan Desi nggak akan pernah kembali seperti dulu.
Bab 6: Melepaskan yang Tak Pernah Mudah
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ8AWw3wcypj
Setelah Desi memutuskan untuk mencoba rujuk dengan suaminya, Havis tahu waktunya untuk benar-benar melangkah mundur. Meski dia tidak pernah mengucapkannya, ada bagian dari dirinya yang merasa kosong. Seolah-olah semua usahanya untuk ada di samping Desi selama ini hanya menjadi bayangan yang akan perlahan menghilang.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡiGszWi6LCb
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Desi tidak lagi sering menghubungi, dan Havis pun mencoba untuk tidak memulai percakapan. Bukan karena dia tidak peduli, tapi karena dia tahu, semakin dia terlibat, semakin sulit baginya untuk melepaskan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡRgsNbBZJjy
Namun, dalam diamnya, ada malam-malam panjang yang penuh dengan pertanyaan. Apa dia sudah melakukan hal yang benar? Apa Desi akan benar-benar bahagia dengan keputusannya? Atau justru, dia akan kembali terluka?
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡS0o8xVaxBU
Havis mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Setiap hari, dia menyibukkan diri dengan rutinitas yang melelahkan, berharap rasa hampa itu bisa tertutup oleh kesibukan. Tapi nyatanya, saat malam datang dan semuanya sunyi, pikirannya kembali ke satu nama: Desi.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ6fDiMfS89v
Suatu malam, Havis duduk di balkon rumahnya sambil memandang langit yang penuh bintang. Secangkir kopi hitam dingin di tangannya, dan gitar akustik tergeletak di sampingnya. Dia memetik gitar pelan, mencoba merangkai melodi yang mewakili apa yang dia rasakan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡugqpHWG49s
"Mungkin kita terlalu percaya pada cinta yang tak sempurna.
Mungkin kita hanyalah dua hati yang terjebak dalam waktu yang salah."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWWD4dFoZD1
Kata-kata itu keluar begitu saja, mengikuti petikan gitarnya. Havis tahu, dia tidak bisa terus-terusan hidup dalam bayangan masa lalu. Dia harus mulai menerima bahwa beberapa hal tidak akan pernah kembali seperti dulu.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUJuQ4kwyyd
Waktu berlalu, dan Havis perlahan mulai menemukan ritme hidupnya lagi. Dia bertemu orang-orang baru, menjalani hari-harinya tanpa ekspektasi. Tapi di sudut hatinya, ada doa kecil yang selalu dia panjatkan setiap kali nama Desi melintas di pikirannya:
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ13WGKNi4AA
"Semoga lo bahagia, Des, di mana pun lo berada. Meskipun gue bukan lagi bagian dari cerita lo."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡq6IKvCdThD
Suatu hari, Havis menemukan keberanian untuk menghapus pesan-pesan lama dari Desi di ponselnya. Itu adalah langkah kecil, tapi bagi Havis, itu adalah simbol bahwa dia siap untuk benar-benar melepaskan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvd4N6sSBM7
Namun, meskipun dia berusaha melupakan, kenangan itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Seperti melodi yang pernah dia mainkan di gitar, kenangan tentang Desi akan selalu menjadi bagian dari hidupnya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡGXn2AaKeRP
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Havis merasa damai.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡQbzzAeA7ic
Bab 7: Menemukan Jalan yang Baru
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡdAOikmCg7R
Waktu terus berjalan. Havis sudah tidak lagi memandangi ponselnya, menunggu pesan dari Desi. Tidak ada lagi rasa cemas atau harapan samar yang pernah mengisi hari-harinya. Sebaliknya, dia mulai menemukan kebahagiaan sederhana dalam hidupnya—dari pekerjaannya, musik yang dia mainkan, hingga pertemuan singkat dengan teman-teman lama.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡe3Y6Sdct42
Namun, sesekali, bayangan tentang Desi masih muncul. Bukan sebagai luka, tapi sebagai kenangan yang membawa pelajaran. Havis tahu, dia tidak akan pernah benar-benar melupakan Desi, tapi dia juga tidak ingin terus hidup di masa lalu.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡzjE66yvKqy
Suatu sore, Havis sedang duduk di taman dekat rumahnya, memetik gitar sambil menikmati udara segar. Dia memainkan lagu-lagu favoritnya, sampai tiba-tiba seorang anak kecil mendekatinya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡUs2glowIRY
"Om, boleh aku dengerin?" tanya anak itu polos.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡe5w6ZWEUAl
Havis tersenyum dan mengangguk. "Tentu. Kamu suka musik, ya?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ10i8LTPFAu
Anak itu mengangguk antusias. "Iya! Mama juga suka dengerin lagu."
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡvHzs1abUM4
Sambil memainkan gitar, Havis bertanya, "Mama kamu di mana?"
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBqYrOfw49U
Anak itu menunjuk seorang wanita yang berdiri tidak jauh, memperhatikan mereka dengan senyum lembut. Wanita itu melambaikan tangan, dan Havis membalasnya dengan anggukan kecil.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ7YcuPIkKtS
Ada sesuatu yang berbeda tentang pertemuan singkat itu. Wanita itu terlihat ramah, dengan aura yang menenangkan. Setelah beberapa menit, dia mendekati Havis sambil memanggil anaknya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡjXEVDIISwE
"Maaf, anak saya ganggu, ya," katanya sambil tersenyum.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡJJr7eH7Pex
"Nggak apa-apa," jawab Havis, mencoba tetap santai.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡMeZKDov2uA
Wanita itu memperkenalkan dirinya. Namanya Nadya. Percakapan mereka dimulai dari hal-hal ringan, tentang musik, taman, hingga cerita kecil tentang anaknya. Dalam waktu singkat, Havis merasa ada sesuatu yang hangat dalam cara Nadya berbicara—sederhana, tapi tulus.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡx6EuHjCZNT
Hari itu berakhir dengan pertukaran nomor telepon, sesuatu yang tidak pernah Havis duga akan terjadi. Tapi dia tidak ingin terburu-buru. Dia tahu, semua hal butuh waktu.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡHcjusZZKAk
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡ1dKaFMQWEh
---
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡyBMehQpsVV
Epilog: Melodi yang Tak Pernah Hilang
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡIKYjxSLL63
Beberapa bulan berlalu, dan hidup Havis perlahan berubah. Pertemuannya dengan Nadya membawa warna baru dalam hidupnya. Mereka tidak langsung menjadi dekat, tapi setiap percakapan dan pertemuan kecil membangun rasa yang baru.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡDL98DLEPTB
Di malam yang tenang, Havis duduk di kamarnya, memetik gitar sambil merenungkan perjalanan hidupnya. Dia menyadari, hidupnya penuh dengan melodi—beberapa lembut, beberapa keras, tapi semuanya adalah bagian dari cerita yang membentuk dirinya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡBdxyXU3ycs
Desi akan selalu menjadi bagian dari lagu itu, sebuah bait yang pernah mengisi hatinya. Tapi sekarang, dia siap untuk melanjutkan ke refrain yang baru, dengan nada-nada yang belum pernah dia mainkan sebelumnya.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡYCUjnXOpQX
Dan untuk pertama kalinya, dia tidak hanya merasa damai, tapi juga merasa benar-benar siap untuk melangkah ke depan.
231Please respect copyright.ＰＥＮＡＮＡWMFwwjrgns
然後按「加至主畫面」