Dalam balutan malam yang diterangi rembulan perak, Kerajaan Kuningan berdiri dengan megah di bawah bayang-bayang gunung-gunung yang menjulang. Kisahnya bukan hanya cerita masa lalu, melainkan juga gema perjuangan dan cinta yang membentuk akar peradaban. Di tengah istana yang dihiasi ornamen emas dan ukiran kayu yang menggambarkan kebijaksanaan para leluhur, seorang raja berdiri tegak, penuh wibawa-Prabu Mangkubumi, penguasa besar yang dikenal tidak hanya karena kecerdasannya memimpin, tetapi juga karena hatinya yang teguh mencintai rakyatnya.
Di sisinya, berdiri seorang perempuan dengan kecantikan yang memancarkan kelembutan dan keberanian. Dialah Dewi Rara Ratih, permaisuri yang tak hanya menjadi pelengkap, tetapi juga penyeimbang bagi kekuatan sang raja. Bersama, mereka memimpin Kuningan melewati berbagai badai politik, tantangan agama, dan intrik dari kerajaan-kerajaan tetangga.
Namun, kisah mereka bukan sekadar cerita tentang takhta. Di balik tembok istana, tersembunyi sebuah rahasia kuno yang diwariskan turun-temurun-sebuah manuskrip bernama Dangiang Kuning, yang konon menyimpan 10 pedoman hidup dari para leluhur. Pedoman ini bukan hanya menjadi petunjuk bagi kehidupan rakyat Kuningan, tetapi juga menjadi simbol identitas kerajaan. Manuskrip itu menjadi incaran banyak pihak yang menginginkan kekuasaan atas tanah emas ini.
Di halaman istana yang luas, suara riuh perayaan terdengar hingga ke penjuru kerajaan. Malam itu, langit Kuningan bagaikan kanvas biru tua yang dihiasi oleh ribuan bintang. Pesta rakyat diselenggarakan untuk merayakan panen melimpah, tanda kemakmuran yang diberkahi oleh Sang Hyang Widi. Lentera-lentera digantung tinggi, menerangi wajah-wajah penuh sukacita yang berkumpul dari berbagai lapisan masyarakat.
Di tengah alun-alun, meja-meja panjang dipenuhi hasil bumi: padi yang menguning sempurna, buah-buahan segar, dan hidangan yang disajikan dengan penuh cinta oleh para koki kerajaan. Tarian tradisional diiringi gamelan bergema, memeriahkan suasana dengan gerakan para penari yang anggun. Anak-anak berlarian dengan riang, membawa balon-balon kecil yang diikatkan pada ranting bambu.
Prabu Mangkubumi dan Dewi Rara Ratih duduk di panggung utama, menyaksikan dengan bangga rakyatnya yang menikmati hasil jerih payah mereka. Raja itu bangkit dari tempat duduknya, tangannya terangkat untuk memberi tanda agar suara musik berhenti sejenak. Para penari segera menghentikan gerakan mereka, dan suasana menjadi hening, hanya terdengar desir angin yang lembut.
"Rakyat Kuningan yang kucintai," suara Prabu Mangkubumi menggema dengan wibawa yang tak terbantahkan. "Malam ini, kita tidak hanya merayakan panen yang melimpah, tetapi juga semangat gotong royong dan kerja keras kalian yang membuat tanah ini subur. Kalian adalah tulang punggung kerajaan ini, dan aku, beserta Dewi Rara Ratih, merasa bangga memimpin kalian."
Sorakan meriah memenuhi udara, dan Dewi Rara Ratih tersenyum lembut di samping sang raja. Ia lalu bangkit, melanjutkan ucapan suaminya, "Namun, kita juga harus ingat bahwa kemakmuran ini adalah tanggung jawab. Jagalah tanah ini, jagalah hubungan kita satu sama lain, seperti leluhur kita telah ajarkan dalam pedoman Dangiang Kuning. Keberadaan manuskrip itu adalah pengingat bahwa kebijaksanaan dan persatuan adalah kunci kekuatan kita."
Sorakan semakin membahana, namun di tengah keramaian itu, sebuah kejanggalan muncul. Seorang pelayan muda, rakanda, terlihat tergesa-gesa menghampiri panggung utama, ekspresinya penuh kecemasan. Ia berbisik ke telinga salah satu penjaga kerajaan, yang kemudian melaporkan langsung kepada Prabu Mangkubumi.
"Yang Mulia," bisik penjaga itu dengan nada waspada, "Ada laporan bahwa salah satu ruang penyimpanan di perpustakaan istana telah dimasuki seseorang secara diam-diam."
Wajah Prabu Mangkubumi sejenak mengeras, namun ia tetap menjaga ketenangannya. Ia memberi tanda agar pesta tetap berlanjut, sementara ia berbisik kepada Dewi Rara Ratih. "Ada sesuatu yang tidak beres. Manuskrip Dangiang Kuning mungkin dalam bahaya."
Dewi Rara Ratih mengangguk kecil. Dengan gerakan halus, ia memberikan isyarat kepada beberapa pengawal untuk bersiaga. Dalam sekejap, suasana istana yang penuh keceriaan itu berubah menjadi medan intrik yang penuh kewaspadaan, tanpa sedikit pun mengurangi semarak pesta rakyat yang terus berlangsung di depan istana.
Rakanda, pelayan muda yang tadi tampak tergesa-gesa, kini kembali dengan langkah lebih tenang, namun raut wajahnya masih menunjukkan kegelisahan. Dia datang menghampiri Prabu Mangkubumi dan Dewi Rara Ratih dengan hati-hati, dan bersujud di hadapan mereka, memberi tanda penghormatan.
"Yang Mulia," suara Rakanda terdengar rendah, hampir berbisik, "Manuskrip Dangiang Kuning aman. Saya telah memastikan ruang penyimpanan itu terkunci kembali. Ternyata, itu hanya kesalahan teknis dari salah satu penjaga yang tidak sengaja meninggalkan pintu terbuka."
Prabu Mangkubumi menarik napas lega, meski ada kilatan ketegangan yang masih tampak di matanya. Dewi Rara Ratih menenangkan suaminya dengan sebuah senyuman yang lembut. "Terima kasih, Rakanda, atas kesigapanmu. Keamanan manuskrip ini adalah hal yang sangat penting."
Namun, meskipun manuskrip tersebut dalam keadaan aman, perasaan waspada belum sepenuhnya hilang dari hati sang raja. Ia mengangguk pada Rakanda dan memandang sekelilingnya. "Teruskan perayaan ini, namun jaga baik-baik keamanan istana. Jangan biarkan keramaian mengalihkan perhatian kita dari hal-hal yang lebih penting."
Rakanda mengangguk, lalu bergegas pergi, memastikan bahwa pengamanan di sekitar istana kembali diperketat tanpa menimbulkan kecurigaan di antara para tamu.
Suasana pesta kembali dilanjutkan. Gamelan mengalun kembali, dan para penari melanjutkan tarian mereka dengan gerakan lincah. Sorak-sorai dan tawa riang kembali menggema di udara. Meskipun hati Prabu Mangkubumi dan Dewi Rara Ratih masih dipenuhi kewaspadaan, mereka tidak ingin rakyat mengetahui ancaman yang baru saja muncul. Perayaan ini adalah simbol persatuan dan kemakmuran, dan mereka bertekad untuk menjaga suasana tersebut tetap ceria dan penuh harapan.
Namun, di balik gemerlap lampu lentera dan kebahagiaan rakyat, sebuah misteri mulai berkembang di bayang-bayang istana. Apa yang sebenarnya terjadi di ruang penyimpanan perpustakaan itu? Mengapa ada seseorang yang mencoba mengakses manuskrip Dangiang Kuning? Pertanyaan-pertanyaan ini mulai menggantung di udara, menyelubungi pesta yang sedang berlangsung, namun belum terungkap jawabannya.
Di balik suasana pesta yang semakin meriah, Prabu Mangkubumi tetap tidak bisa sepenuhnya mengusir perasaan was-was yang menghantui pikirannya. Tentu saja, manuskrip Dangiang Kuning adalah warisan leluhur yang sangat berharga, dan setiap ancaman terhadapnya harus ditangani dengan serius. Namun, pada malam yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan dan kemakmuran, sang raja berusaha menahan diri, memilih untuk tidak menunjukkan kegelisahannya kepada rakyat.
Sementara itu, Dewi Rara Ratih, yang selalu cermat dan bijaksana, menyadari bahwa ada lebih dari sekadar insiden kecil yang terjadi malam itu. Dengan tenang, ia melirik ke sekeliling, memperhatikan setiap gerakan yang mencurigakan di antara kerumunan yang tengah bersenang-senang. Tanpa sepatah kata pun, ia memberikan isyarat halus kepada para pengawalnya untuk memperketat penjagaan di sekitar istana dan ruang perpustakaan.
Tak jauh dari mereka, Rakanda, yang seakan menjadi bayangan tak terlihat di tengah keramaian, bergerak dengan gesit. Dia tahu bahwa meskipun semuanya tampak baik-baik saja di luar, ada ancaman yang harus segera dihadapi. Seorang penjaga telah melaporkan kepadanya bahwa ada seseorang yang berpura-pura sebagai tamu undangan, namun tampaknya bukan berasal dari kalangan rakyat biasa. Ada sesuatu yang mencurigakan pada orang tersebut, dan Rakanda memutuskan untuk mengikuti jejaknya dengan hati-hati.
Sementara itu, di ruang perpustakaan yang terletak di salah satu sudut istana, penjaga yang sebelumnya gagal mengunci pintu kembali berdiri dengan tegang. Dia telah diperintahkan untuk tetap menjaga pintu masuk, namun kegelisahannya semakin besar. Sejak kejadian tadi, dia merasa ada yang aneh dengan tempat itu. Entah kenapa, sesuatu tentang malam ini terasa tidak seperti biasanya.
Tiba-tiba, langkah-langkah pelan terdengar di belakangnya. Penjaga itu menoleh, dan wajahnya seketika pucat. Di hadapannya berdiri sosok berjubah gelap, wajahnya tertutup oleh topeng. Meskipun tak ada kata yang terucap, ada aura yang begitu menakutkan dari sosok itu. Dengan satu gerakan cepat, sosok berjubah itu mengeluarkan sebuah kunci kuno dan membuka pintu ruang penyimpanan.
"Siapa kau?" penjaga itu mencoba berbicara, suaranya gemetar. Namun, sosok tersebut tidak menjawab, hanya melangkah masuk dengan tujuan yang jelas.
Penjaga itu merasa panik, namun segera menyadari bahwa tugasnya lebih penting daripada ketakutannya. Dia segera meraih bel dan membunyikannya keras-keras, berharap pengawal istana dapat mendengar dan datang untuk menolong.
Di luar, keramaian semakin meriah, namun di dalam istana, ada ancaman yang mulai berkembang. Sebuah perburuan diam-diam sedang berlangsung, di tengah perayaan yang tidak menyadari bahaya yang mengancam.
Saat itu, Rakanda yang tengah menyusuri lorong-lorong istana dengan langkah hati-hati mendengar bunyi bel yang berdering keras. Instingnya langsung terasah, dan tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju sumber suara tersebut. Keadaan semakin tegang
Namun, meskipun ketegangan yang mengintai di dalam istana, malam itu berjalan dengan lancar. Rakanda, yang dengan sigap mengikuti jejak ancaman, akhirnya sampai di ruang penyimpanan perpustakaan, hanya untuk menemukan pintu yang terkunci rapat. Keheningan itu menandakan bahwa situasi yang diperkirakan tidak menjadi kenyataan. Tak ada tanda-tanda bahaya yang nyata, hanya keheningan yang menenangkan setelah kegelisahan sempat menghantui.
Sementara itu, di luar, Prabu Mangkubumi dan Dewi Rara Ratih menyaksikan suasana pesta yang terus berlangsung dengan meriah. Gamelan kembali mengalun, dan penari-penari mempersembahkan gerakan mereka yang memukau, menambah kemeriahan malam itu. Sorak sorai dan tawa riang menyebar di seluruh alun-alun, membaur dengan udara malam yang sejuk.
Prabu Mangkubumi akhirnya merasa tenang kembali, meskipun bayangan kegelisahan sempat menggelayuti pikirannya. Ia tersenyum melihat rakyatnya yang bahagia, menikmati hasil kerja keras mereka. Dewi Rara Ratih yang berada di sampingnya merasakan hal yang sama. Meskipun mereka berdua sangat sadar akan tanggung jawab besar yang mereka pikul sebagai pemimpin, malam itu mereka membiarkan diri mereka merasakan kehangatan kebersamaan dengan rakyat, menikmati perayaan yang sederhana namun penuh makna.
Rakanda kembali ke tengah keramaian, memastikan tidak ada ancaman lebih lanjut. Dengan gerakan gesit, dia mencampur dengan kerumunan tanpa menarik perhatian, dan merasa lega ketika semua tampaknya berjalan dengan baik. Tidak ada yang tahu apa yang hampir terjadi, dan malam itu terus dipenuhi dengan musik, tawa, dan keceriaan.
Malam semakin larut, dan meskipun perasaan waspada masih menyelimuti istana, tidak ada yang tampak mencurigakan lagi. Perayaan rakyat Kuningan berlanjut hingga larut malam, menandakan bahwa malam itu memang menjadi simbol kemakmuran dan kebersamaan. Setiap warga, dari yang muda hingga yang tua, merayakan dengan sepenuh hati, sementara langit Kuningan yang dipenuhi bintang menjadi saksi bisu dari segala usaha dan doa yang dipanjatkan untuk masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya, meskipun ada bayangan kekhawatiran yang sempat melintas, malam itu berakhir dengan damai. Tidak ada kejadian yang merusak kemeriahan, dan setiap orang pulang dengan hati yang puas, meninggalkan istana yang tenang namun penuh harapan. Semua baik-baik saja malam itu, dan Kuningan tetap menjadi tanah yang subur, baik dari hasil bumi maupun dari semangat persatuan rakyatnya.
Malam semakin dalam, dan meskipun kegembiraan merayakan panen melimpah terus berlangsung, ada rasa tenang yang mulai menyelimuti setiap sudut istana. Para pengawal, yang semula berjaga ketat dengan perasaan waspada, kini mulai melonggarkan sikap mereka, tetapi tetap menjaga jarak dari kerumunan yang terus riuh. Seperti yang biasa dilakukan dalam kebudayaan Kuningan, mereka memastikan perayaan berlangsung tanpa gangguan, sambil memastikan rahasia kerajaan tetap terlindungi dengan baik.
Prabu Mangkubumi duduk kembali di singgasana, tubuhnya dikelilingi cahaya lentera yang berkelap-kelip. Dengan pandangan penuh kebijaksanaan, dia menatap rakyatnya, yang tampak menikmati malam yang penuh dengan semangat kebersamaan. Dewi Rara Ratih, di sampingnya, dengan lembut menyapa mereka yang datang mendekat untuk memberikan penghormatan. Suasana kehangatan mulai terasa memancar dari kedua pemimpin itu, menciptakan rasa damai yang mengalir seperti sungai di tengah gurun yang panas.
Di tengah keramaian, di antara berbagai kelompok rakyat yang tertawa dan berbincang, terdengar suara seorang juru bicara kerajaan, yang dengan lantang memanggil perhatian para tamu. "O Rakyat Kuningan yang terhormat, marilah kita bersama menjaga keharmonisan malam ini, dalam semangat yang disebut 'Masa Suryan'—waktu untuk bersatu dalam damai dan kebahagiaan, untuk merayakan karunia Sang Hyang Widi. Jangan biarkan kegembiraan meliputi hati kita sampai kita lupa akan tanggung jawab kita pada tanah ini."
Suaranya menggema, seperti doa yang diucapkan dengan penuh harapan, dan sejenak, suasana di sekitar alun-alun terasa hening, seolah setiap jiwa yang hadir mendengarkan kata-kata bijak yang dilantunkan oleh juru bicara itu. Meskipun kata-kata tersebut berputar dalam putaran adat, semua tahu betul apa yang dimaksud: mereka adalah penjaga tanah Kuningan, dan mereka memiliki kewajiban untuk menjaga kelestariannya.
Di sisi lain, Rakanda masih berkeliling, menjaga keramaian tetap terjaga. Namun, ia tidak bisa menghindari rasa ingin tahu yang mulai menggelayuti pikirannya. Bukan hanya karena ancaman yang sempat muncul tadi malam, tetapi juga karena ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu dicari. Ia tahu betul, bahwa dalam kebijaksanaan yang diwariskan oleh para leluhur mereka, terdapat suatu rahasia besar yang harus dipahami dan dilestarikan. Sebuah warisan yang hanya bisa diwariskan pada mereka yang benar-benar memahami arti dari 'Mukti Svarnadi', yaitu kebahagiaan sejati yang diperoleh hanya melalui kesatuan dan penghargaan terhadap tanah dan manusia.
Beberapa langkah dari Rakanda, seorang penari perempuan dengan busana berwarna emas berpadu hijau, melakukan gerakan yang begitu luwes, menari mengikuti irama gamelan. Gerakannya begitu anggun, namun ada simbolisme dalam setiap langkah yang ia lakukan—sebuah pengingat akan tradisi leluhur yang harus terus hidup. Ia melangkah maju, kemudian berputar, membentuk lingkaran yang lebih luas, menggambarkan keabadian Kuningan yang tetap teguh, bahkan dalam tantangan apapun yang datang.
Malam itu, suara gemerisik daun dari pohon beringin yang tumbuh di sisi alun-alun, bersama dengan bunyi angin yang menyapu lembut wajah, seakan berbicara dalam bahasa mereka sendiri. "Urahi, sabda kesabaran," bisik angin itu seakan mengingatkan semua yang hadir tentang pentingnya kebijaksanaan dalam segala langkah. "Berpadulah, agar tidak ada yang terpecah," lanjutan bisikan angin itu terasa seperti nasihat dari zaman dahulu.
Di sekitar mereka, kelompok-kelompok kecil mulai berkumpul, berbicara dengan lembut dalam bahasa kerajaan Kuningan, yang hanya mereka yang terlahir di tanah ini yang bisa mengerti dengan penuh makna. "Kataha siring? Parha lempung, gladheng!"
Seorang lelaki tua di sudut meja panjang itu membalas, "Matiwih, nghia sih? Jati pranata mawin!" Sebuah frasa yang mengandung kedalaman filosofi, yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar memahami inti dari budaya dan adat kerajaan ini.
Di antara mereka, Rakanda yang tidak mengenal lelah terus bergerak, melangkah dengan cepat namun tetap memperhatikan setiap gerakan, setiap percakapan yang terucap. Ada sesuatu yang merasuki hatinya, semacam kekuatan yang tak terlihat. Tanpa sepatah kata pun, ia tahu bahwa malam ini bukan hanya tentang panen yang melimpah atau kemeriahan yang sedang dirayakan. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dijaga—sesuatu yang berada jauh di dalam hati kerajaan ini, yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang disebut "Dangiang Kuning," yang lebih dari sekadar manuskrip kuno. Ini adalah jiwa dari kerajaan itu sendiri.
Malam berjalan dengan lambat, angin malam yang lembut membawa kesejukan, dan dalam gemerlap lentera yang terus menyala, semua tetap merasa ada kedamaian yang terjaga. Seakan alam dan manusia berada dalam harmoni yang sempurna, bersatu dalam momen yang penuh dengan rasa syukur dan tanggung jawab. Semua tampak baik-baik saja malam itu, meskipun ada banyak hal yang tersembunyi di balik wajah yang tersenyum.
101Please respect copyright.PENANAVbJcd2DvEN