Bagaimana Kabarmu, Manabu?
Bagaimana kabarmu, Nadeshiko? Apa yang kau lakukan saat ini?
Itulah hal yang paling ingin kumengerti. Aku selalu memandangnya namun dirinya, entah karena permasalahan apa, tidak pernah lagi melihatku.
Kami tinggal bertetanggaan di Gojitcho, Miyanokojo, prefektur Miyazaki. Meskipun di sini subtropis, tapi hawanya agak dingin. Tempat kami berdekatan dengan pegunungan soalnya.
Nadeshiko, adalah gadis tomboy dan cengeng. Dia punya mata kristal berwarna merah seperti batu permata ruby yang indah. Satu – satunya teman sepermainanku sejak kecil. Kami memang tidak satu sekolahan, tapi kami selalu bertamasya bersama, di dataran tinggi Ikoma.
Ketika ayah dan ibu membawaku ke Ikoma, aku mengajak Nadeshiko untuk pergi juga. Untungnya orang tua Nadeshiko mengizinkan. Untungnya ayah dan ibu juga mengizinkan.
Kami tinggal di tempat yang tenang dan hawa yang sejuk, tentunya udara lebih bersih dibandingkan Tokyo. Atau bisa dikatakan, itu salah satu alasanku dipindahkan ke daerah yang dekat pegunungan, sedangkan ayah bolak – balik pulang pergi, dari Tokyo ke Miyazaki.
Terakhir dia mengobrol denganku, waktu SMP, sebelum total mengabaikanku. Padahal, aku telah mengajakmu liburan, loh? Aku tidak mengerti apa ada masalah di antara kita?
Karena itu, aku berhari – hari memperhatikanmu.
Aku tidak menyangka Nadeshiko memanjangkan rambutnya. Jadinya daripada pendek, kini panjang hitam legam. Kadang – kadang dikuncir sebelah, tapi itu tidak menghilangkan fakta bahwa rambutmu kini telah panjang dan lebih terawat.
Bagaimana aku tahu? Hari ini, 13 Juni, aku tidak sengaja melihatmu. Setelah pakaian sekolah SMA, kau bekerja di restoran cepat saji, kan? Aku bersembunyi di balik tiang memperhatikan dirinya setiap hari. Tanpa disadari, kini menjadi aktivitasku.
Berhari – hari aku melihatmu, tentu diam – diam biar tidak disangka stalker hehe. Lihatlah dirimu, kini kau punya banyak teman. Kau bahkan punya satu sahabat dekatmu. Gadis berambut coklat gelap, yang kau panggil sebagai Yukarin? Kau bahkan sering pergi bersamanya.
Hari – harimu juga kadang berat. Seberat remidi matematika ketika liburan musim panas tiba. Ya akibatnya kau juga tidak tenang liburan. Meski ketika kita di SMP aku selalu mengajarimu persamanaan linear matematika, kau kini malah kesulitan. Padahal sudah kubilang padamu berkali – kali, berlatihlah mengerjakan soal. Pemahaman tidak dibangun semalam, tidak ada yang namanya belajar dengan sistem ngebut semalam.
Pada akhirnya suatu hari kau menongkrong di kafe donat untuk belajar matematika. Itu juga makanan kesukaanmu, aku ingat! Kau selalu makan rasa tiramisu. Dan… eh? Yukarin juga ikut? Bahkan dia pesan rasa yang sama. Itu terlihat jelas sekali saat wajahnya merasa kenikmatan ketika donat itu masuk ke mulutnya.
Yang tidak pernah berubah darimu adalah kau selalu makan makanan yang kau inginkan, aku ingat sekali! Kalau tidak ramen dengan udang tepung, takoyaki untuk cemilan malam hari, bahkan seringkali kau beli burger kentang dengan cola. Yah, itu adalah makanan yang kita minum diam – diam kala itu. Kau juga tidak memberi tahu ibuku soal itu, hehe. Jadi aku tidak akan memberi tahu ibumu, sehingga kau tidak mengalami waktu yang sulit. Tentu saja, diceramahi oleh ibu – ibu kita, hahaha!
Yang jelas, aku selalu memperhatikanmu. Yang terpenting, kau tampak dekat dengan sahabatmu sekarang, Yukarin. Aku harap seiringnya waktu kau bisa mengenal Yukarin cukup lama, seperti kau mengenalku.
Hingga waktu yang tak terhingga ini, terkadang berjalan cepat, terkadang lambat. Tapi angin musim dingin, selalu mengingatkanku kalau semakin hari, kau semakin dewasa, dan matang.
Bagaimana kabarmu, Nadeshiko? Apa yang kau lakukan saat ini?
18 Maret, kau, lebit tepatnya kalian, berdiri di aula besar dengan jas hitam. Nadeshiko akhirnya lulus dari SMA dan bersiap untuk menginjakkan karir di dunia yang sebenarnya. Aku juga melihatmu dengan Yukarin, gadis berambut coklat gelap, yang suka makan donat rasa tiramisu, yang kau selalu bersamanya.
Tidak lama setelah itu, kau mengatakan ke Yukarin untuk mencari pekerjaan di Tokyo. Aku menyaksikanmu, tentu dengan perasaan sedih. Aku bahagia kau bisa tumbuh dan berkembang, aku selalu melihatmu dari kejauhan. Tapi kenapa kau lakukan ini padaku? Apa kau tahu aku melihatmu? Bagaimana bisa?
Yang jelas, Yukarin berfokus mencari pekerjaan di Yamazaki, menabung dana untuk kuliah di Tokyo. Kalian punya impian yang dalam dan tulus. Rasanya, aku ingin berteman dengan kalian berdua. Mereka saling berpelukan. Mereka lalu berencana untuk pergi liburan bersama, dengan dua teman yang lainnya.
Ngomong – ngomong, malamnya kau juga mengatakan perpisahan dengan kru restoran yang selama tiga tahun kau bekerja part time dengan mereka. Malahan itu tak terdengar part time sih, kau adalah pegawai lama mereka. Meski dengan jam kerja paruh waktu.
Oh, aku tahu kenapa kau bekerja di tempat itu. Supaya kau bisa dapat jatah gratis cumi tepung goreng, kan? Atau gorengan yang lainnya seperti bawang krispi? Aku tahu betul dirimu, Nadeshiko. Rekan – rekan kerjamu juga mengundangmu makan malam yang terakhir. Bahkan bosmu sendiri, yang kau dan rekanmu selalu panggil Babi panggang, setidaknya ikut meluangkan waktu atas pesta kecil – kecilan itu. Aku tidak mengerti mengapa kau memanggil dia Babi panggang? Padahal dia adalah orang yang merekrutmu juga yang memberimu perpisahan yang hangat dengan mengizinkan pesta kecil – kecilan itu? Aku rasa kau masih agak bandel, hehehe!
Seminggu dari hari itu berlalu…
Bagaimana kabarmu, Nadeshiko? Apa yang kau lakukan saat ini?
25 Maret, kau dengan Yukarin dan dua sahabatmu lainnya, Mino dan Kuri. Aku baru mengetahuinya hari ini, karena kalian mungkin saja selalu berkumpul di klub. Aku tak bisa masuk ke sana! Lagipula, ada penjaga sekolah dan Omamori yang digantung lebar. Benda itu mencegahku.
Mino adalah gadis rambut kepang kembar dengan kacamata bulat, sedangkan Kuri berambut pendek. Mereka ini gadis – gadis baik tampangnya. Dari apa yang mereka bicarakan, mayoritas itu kalau tidak tentang buku, game, berarti pekerjaan.
Aku selalu memperhatikan Nadeshiko.
Singkatnya, mereka menyewa mobil, Yukarin yang memegang kendali stir. Mobil itu entah kenapa cukup familiar, seperti mobil ayah dan ibu dulu ketika kami dan Nadeshiko pergi berlibur di dataran tinggi Ikoma. Sebuah Toyota Innova putih sih, daripada yang kami pakai dulu berwarna hitam.
Secara mengejutkan, Yukarin sangat ahli menyetir. Meski mereka sedang mengobrol, meski mereka sedang bercanda. Tak terlihat seperti pemula, karena Yukarin menginjak rem di waktu yang tepat daripada mendadak, bahkan tidak berjalan ngebut dan hanya konstan di 40 km/jam. Mobil itu juga menanjak, sebuah tanda jalan telah memasuki wilayah dataran tinggi.
Perasaanku tiba – tiba ditemani nostalgia. Apakah kita akan pergi ke tempat itu?
Nadeshiko, Yukarin dan kedua temannya telah sampai di dataran tinggi Ikoma. Mereka akhirnya pergi ke tempat ketika Aku dan Nadeshiko bermasya dulu, asyik! Rasanya aku kembali bernostalgia lagi!
Kali ini mungkin adalah hari yang paling memorial bagiku. Anehnya keluar dari mobil, mereka menuju kuil kecil terdekat terlebih dahulu. Aku heran, kenapa?
Hingga Nadeshiko meyalakan dupa, beserta teman – temannya. Ia membenamkan matanya dengan tenang. Aku heran, kali ini apa yang ia harapkan? Karena di kuil, sekalian saja aku berdoa juga.
“Terima kasih telah mengajakku ke Dataran Tinggi Ikoma karena aku kesepian saat ayah dan ibu bekerja pulang malam. Aku tidak akan pernah melupakanmu, hingga detik ini. Aku selalu berfikir, bagaimana aku punya teman? Bagaimana aku bisa belajar matematika? Bagaimana agar aku bisa sepintar dan seceria dirimu? Bagaimana agar aku bisa melupakanmu? Bagaimana ketika kamu tumbuh SMA? Kamu pasti tampan, Manabu…”
Seketika aku merasa diriku ringan, seolah pintu gerbang penuh cahaya terbuka. Cahaya itu silau tapi justru malah menarik perhatian.
Aku tahu meski aku berbicara pun, kau tak akan mendengar. Meski sedekat ini, kau tak akan pernah menoleh ke arahku, apalagi mengobrol denganku.
“Bagaimana kabarmu, Manabu? Apa yang kau lakukan saat ini?”
Terima kasih Nadeshiko.
ns 172.69.7.145da2