/story/136373/jawab-di-bawah-pohon/toc
Jawab di Bawah Pohon | Penana
arrow_back
Jawab di Bawah Pohon
more_vert share bookmark_border file_download
info_outline
format_color_text
toc
exposure_plus_1
coins
Search stories, writers or societies
Continue ReadingClear All
What Others Are ReadingRefresh
X
Never miss what's happening on Penana!
G
Jawab di Bawah Pohon
Fariz Maulana
Intro Table of Contents Top sponsors Comments (0)

“Aku berjanji, akan kembali secepat mungkin.” Janjiku sebelum aku pergi meninggalkan Riani. 


“Aku juga berjanji, akan menunggumu.” Aku sungguh bersyukur mendapatkan Riani, sosok wanita yang rela menunggu demi hubungan kita. 


Pintu bisa sangat menakutkan untuk aku masuki, pintu itu akan memisahkan antara aku dan Riani. Entah berapa lama aku akan kehilangan Riani, ruang dan waktu akan berbeda mulai saat ini. 


Terlihat Riani meneteskan air mata mengiringi kepergianku, aku hanya bisa melabaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal untuk sementara kepada Riani.  


Atas dasar cintaku pada Riani, aku rela meninggalkan cita-citaku untuk bisa kuliah di jurusan pendidikan. Aku harus bekerja keluar kota untuk bisa segara mengumpulkan uang. 


Usia hubunganku dengan Riani sudah cukup lama. Kita telah menjalin hubungan sejak kelas dua SMP. Riani didesak oleh orang tuanya segera menikah selepas lulus SMA, dan itu berarti aku harus meninggalkan Riani. Aku tergeletak di hadapan ayah Riani, meminta waktu agar aku bisa bekerja dan mempersunting Riani. Atas dasar tidak tega, ayah Riani mengizinkan aku, untuk membuktikan bahwa aku siap menikahi Riani.  


Dengan modal tekad aku pergi meninggalkan keluargaku, kota kelahiranku, dan aku harus meninggalkan Riani. Semua ini aku lakukan hanya karena pesan ayah. 'Jika kamu menginginkan sesuatu, kamu harus siap berkorban.' Pesan ayahku dua tahun silam. Sebelum ayahku meninggal. Kini aku menginginkan Riani. Itu berarti aku harus rela kehilangan rasa berat meninggalkan ibu dan adikku. 


Dengan modal ijazah SMA, saya mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik pembuatan sepatu. Dan syukurlah, perusahaan itu memberikan pasilitas tempat tinggal kepada setiap karyawan. Aku tak tahu bagaimana rasanya hidup di dunia pekerjaan. Toh, ini adalah pertama kalinya aku memutuskan untuk bekerja. 


*** 


Hari pertama di mana aku memutuskan untuk mengejar mimpi mendapatkan Riani, dan sekaligus melepaskan mimpi untuk mendapat gelar sarjana. Jarak antara tempat tinggal dan pabrik tempatku bekerja tidak terlalu jauh, hanya menempuh waktu lima belas menit berjalan kaki. Aku bersama pekerja lain menerobos pagi mengejar asa. Dari sekian banyak pekerja, masing-masing memiliki tujuan masing-masing. 


Beberapa orang berbincang prihal Supervisor yang begitu galak. Aku tidak peduli. yang kini aku pedulikan, adalah bagaimana aku bisa mendapatkan banyak uang untuk dapat mempersunting Riani. 


Banyak orang berpapasan dengan kami. Para pedagang hingga para pengemis yang sedang berusaha mengejar mimpi untuk tetap hidup. Dari sekian banyak orang yang aku lihat sepanjang jalan, hatiku bergetar tatkala melihat para pelajar yang berjalan menuju kampusnya, air mataku terjatuh. 


Tring... Tring... Terdengar ponselku berdering. Aku segera mengambil ponselku dan terlihat ibu menghubungiku. 


“Halo bu.” Aku mengangkat telepon sambil berjalan. 


“Halo Nak. apakah kamu sudah mulai kerja?”  


“Sudah bu, ini lagi berangkat menuju pabrik.” 


“Maaf ibu mengganggu.” 


“Tidak apa-apa bu. Aku bahkan senang ibu menghubungiku.” 


“Ibu juga minta maaf kemarin tidak mengantarmu ke terminal. Kau tahu sendiri, adikmu sakit dan gak bisa ditinggalkan.” 


“Iya bu, aku juga mengerti.” Ucapkanku dengan nada lembut. Padahal dalam hatiku aku sangat ingin diantar ibuku kemarin. 


“Ibu bangga sama kamu nak. Kamu berani memilih, antara kuliah atau bekerja untuk mendapatkan Riani. Ibu tak akan pernah memaksamu untuk kuliah atau bekerja, itu pilihanmu. Sekali lagi ibu bangga, Anda telah berani memilih. Maafkan ibu tidak bisa membantu banyak. Kau adalah anak laki-laki, ibu yang hebat.” Terdengar suara ibu bercampur isak tangis. 


“Ibu sudah memberikan banyak pengorbanan untukku. Terima Kasih Ibu selalu mendukungku.” Air mataku menetes mengucapkan kalimat itu. meskipun aku terlahir dari keluarga yang tak mampu. Namun, ibu selalu memberikan segal yang terbaik bagi adikku dan adikku. 


“Yasudah kalo kamu mau kerja. Hati-hati ya.” 


“Iya bu, terima kasih.” 


“Sama-sama nak.” Buku menutup telepon.  


Atas dukungan dari ibu, saya merasa lebih bersemangat. Gerbang pabrik sudah di depan mata. Terdapat pengawas wanita yang seolah menyambut kedatangan kami. Namun, dengan raut wajah yang begitu masam.  


“Keluarkan ponsel kalian.” Perintahnya dengan nada suara yang jauh dari kata sopan. 


Satu persatu dari kami mengeluarkan ponsel dari saku dan menyerahkannya. Saat aku mengeluarkan ponselku, terdengar suara notifikasi dari ponselku. Terlihat dari layar ponselku Riani mengirim pesan. 


“Cepat sini. Lama banget.” Supervisor itu dengan kasar merebut ponselku. Dengan hati yang kesal aku segara meninggalkannya tanpa berkata apa-apa.  


“Tunggu.” Supervisor itu menghentikan langkahku. Lalu aku menoleh kearahnya. “Apa kamu Alfi? Pegawai baru yang bertugas dalam pembuatan tali sepatu?” 


“Iya bu.” Dengan sedikit gugup aku menjawab. 


“Kenapa gak ngomong dari tadi?” Wanita itu membentakku, lalu mendekat ke arahku. “Ikut aku!” 


Aku mengikuti wanita itu melangkah memasuki pabrik. Beberapa karyawan sudah mulai bersiap-siap untuk bekerja. Aku terus dibawa menuju sebuah ruangan kecil. 


“Tadinya saya mau memberitahukan peraturan-peraturan kerja. Namun,saya banyak kerjaan. Jadi, Anda bisa membaca sendiri.” ia memberikan tiga lembar kertas kepada saya. 


“Baik bu.” Jawabku Singkat. 


“Yasudah mulai kerja sana.” Wanita itu menyuruhku untuk segera pergi dari ruangan kecil itu.  


Sembari berjalan menuju bagian pembuatan tali sepatu, aku membaca seluruh tulisan yang ada dalam kertas itu. Begitu terkejutnya saya melihat semua peraturan kerja yang ditulis dalam kertas itu. Bagaimana tidak, peraturan itu sangat membatasi hak-hak para pekerja. Antara lain, Karyawan tidak boleh melakukan protes atas perintah atasan, karyawan tidak dapat melakukan izin kerja lebih dari tiga hari selama setahun, dan masih banyak lagi peraturan kerja yang begitu membebankan para karyawan. 


Atas semua peraturan-peraturan itu, saya hanya bisa menerima dengan lapang dada. Ini semua yang aku lakukan hanya untuk mendapatkan yang aku inginkan. Menikahi Riani. Karena pada hakikatnya, suatu keinginan dapat terwujud, jikalau ada sebuah pengorbanan. Kuharap, dengan bekerja disebuah pabrik yang memiliki peraturan yang begitu kejam, itu menjadi sebuah pengorbanan untuk mendapatkan impianku. 


*** 


Ku rebahkan tubuhku yang begitu lemas di atas kasur. Saya tak mengira bahwa bekerja dengan modal ijazah SMA, bisa semelelaahkan ini. Atau mungkin aku saja yang sial mendapatkan pekerjaan yang kurang baik. Bagaimana tidak, hari ini aku bekerja selama sepuluh jam dan hanya beristirahat satu kali selama lima belas menit. Saya tidak bisa memprotes jam kerja yang begitu tidak manusiawi. Toh, telah tertulis dalam peraturan bahwa. 'Karyawan tidak memperkenankan protes atas keputusan atasan.' 


“Astaga.” Mataku yang sedang aku usahakan terpejam, dengan seketika terbuka. Aku ingat tadi pagi, Riani mengirimkan pesan dan aku belum sempat membalasnya.  


Aku segera membuka ponselku, memeriksa pesan apa yang dikirim Riani. Ah, ini masalah besar. Riani telah mengirim lima belas pesan kepadaku. Ia hanya menanyakan kabarku di pesan pertamanya. Mungkin karena aku tidak datang membalas, Riani membombardir segala pertanyaan yang menyudutkan ku. Menuduhku melupakannya.  


“Maafkan aku, tadi aku sibuk kerja.” Ku kirimkan pesan permintaan maafku. Meski aku yakin, Riani tidak akan mudah mengerti dengan pesan itu. 


Hampir setengah jam aku menunggu Riani membalas pesanku. 


“Sesibuk apa samapi kau melupakanku?” Tanya Riani. Saya mengerti mengapa Riani bertanya demikian, karena Riani belum tahu peraturan pabrik tempat saya bekerja. 


“Kamu harus lihat ini.” Aku mengirimkan foto lemabaran kertas peraturan karyawan pabrik. Di mana di kertas itu, tercantum larangan membawa alat komunikasi ke dalam pabrik. Dan peraturan-peraturan lainnya, yang membuat saya terbatas untuk memberi kepada kabar 


Riani. 


Lumayan lama Riani membalas pesanku, mungkin dia membaca satu persatu peraturan pabrik yang saya kirimkan. Sebenarnya aku tak mau Riani tahu peraturan pabrik yang sangat berat itu. Namun, karena Riani marah atas pesannya yang tak terbalas, mau tidak mau aku harus menghadapi prihal ini. 


“Maaf. Karena ayahku, kau harus bekerja seperti ini demi hubungan kita.” Setelah lima belas menit Riani baru membalas. 


Ibu jariku melayang sesaat sebelum aku menjawab permintaan maaf Riani. “Kau tak perlu meminta maaf. 


Toh, ini adalah jalan untuk kita bisa bersama. Dan aku senang menjalani semua ini.” 


“Kuharap kalimatmu tak bohong.” 


Saya mungkin memang berbohong. Dikala hatiku bahagia bekerja demi mempersunting kekasihku, aku juga harus bersedih, karena aku tidak bisa kuliah. Memang berat hidup dengan hati yang memiliki dua suara yang bertolak belakang. Mau tidak mau, harus meninggalkan salah satunya. 


“Dan kamu juga, semoga tak berbohong menungguku di sana.”  


“Aku takkan pernah mengingkari janjiku.” Kalimat dari Riani membuatku bisa melupakan semua rasa lelahku bekerja.  


*** 


Waktu yang kutunggu-tunggu telah tiba. Sudah dua tahun saya bekerja di pabrik. Tempat kerja yang tak penah aku suka. Semenjak Riani tahu tentang peraturan kerja pabrik, kami jadi jarang berkomunikasi. Riani beralasan, takut menggangguku, dan aku tak mempermasalahkannya. Dengan tidak berkomunikasi secar intens, saya bisa lebih fokus bekerja. hingga aku bisa mengumpukan banyak uang selama dua tahun. 


Namun, sejak tiga bulan terakhir, aku dan Riani semakin jarang berkomunikasi. Entah alasan apalagi. Namun, saya berusaha untuk menciptakan pikiran positif. 


Kuucapkan selamat tinggal kepada teman-tema kerjaku, pabrik, supervisor galak dan kota tempatku bekerja. Aku pulang hari ini untuk menemui Riani. Kuputuskan untuk tidak mengabari Riani, untuk memberi kejutan. 


Aku terenyum sambil menatap jalanan kota dari jendela bis. Aku ingat, dulu pas pertama berangkat kerja, hatiku bersedih sambil menatap jalan dari jendela bis. Namun sekarang, berubah 180 derajat. Aku bahagia telah menyelesaikan perjuanganku. Aku bahagia bisa menyelesaikan rintangan untuk mendapatkan Riani.  


*** 


Jarak rumah Riani dari terminal bis tidak terlalu jauh, hanya memerlukan lima belas menit berjalan kaki. Dengan hati yang mengebu-gebu, aku melangkahakan kaki menuju rumah Riani. Aku yakin dia pasti akan terkejut dan bahagia melihat kedatanganku.  


Dengan senyuman lebar aku menatap rumah Riani. Aku senang impianku akan segera terwujud. Ku tekut pintu rumah Riani sambil mengucapkan salam. Riani keluar dengan raut terjut melihatku. 


“Alfi.” Ia menatap keheranan, aku melihat tak ada raut bahagia di wajahnya. “Ikut aku.” Riani menarikku untuk menjauh dari rumahnya. Aku tak tahu akan dibawa kemana. 


Aku dibawa ke bawah pohon yang berjarak sepuluh meter dari rumahnya. Aku tak mengerti dengan sikap Riani. 


“Maafkan aku.” Kalimat pembuka Riani, yang membuat pikiranku melayang, menerka-nerka apa yang terjadi. 


“Untuk apa?” Dahi mengkerut. 


Ini. Riani meunjukan jemarinya, di jari manisnya terlingkar cincin yang indah. 


“Apa maksudnya ini?” Pikiranku sudah melayang, membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. 


Riani menundukan kepala, seolah ia berat untuk menceritakan apa yang terjadi. 


“Kumohon jelaskan!” Aku memaksa Riani menjelaskan dengan nada yang aku usahakan tetap tenang. 


“Tiga bulan lalu ayah menjodohkanku dengan pria lain. Ayahku tak percaya kalau kamu bisa mengumpulkan uang hingga siap untuk menikahku. Aku tak bisa menolak lamaran itu, ini perintah ayahku sendiri.” Dengan suara pelan dan kepala yang menunduk, Riani menjelaskan hal yang sangat mengecewakanku. 


“Kenapa kamu tidak bercerita kepadaku?” Tak terasa air mataku menetes. 


“Aku bingung harus bercerita apa, kukira kamu tidak akan datang secepat ini.” Riani menagis di hadapanku, seolah-olah ingin dimengerti. 


“Asal kamu tahu Riani, aku rela bekerja, mengubur cita-citaku untuk kuliah, dan meninggalkan ibuku demi kamu.” Nada bicaraku mulai meninggi. Ini kali pertama aku membentak Riani. Aku sungguh kecewa padanya.


 “Maaf…” 


“Kukup!” Aku segera memotong kalimat yang akan keluar dari mulut Riani. Dan aku segera berlari meninggalkan Riani di bawah pohon itu dengan derai air mata. 


Jika aku tahu epilog dari pilihanku, aku tak akan memilih ini. Aku tak tahu janji Riani akan melahirkan jawaban di bawah pohon yang membuatku sungguh kecewa. 


 


 





 

Show Comments
BOOKMARK
Total Reading Time:
toc Table of Contents
bookmark_border Bookmark Start Reading >
×


Reset to default

X
×
×

Install this webapp for easier offline reading: tap and then Add to home screen.