-
info_outline 資料
-
toc 目錄
-
share 分享
-
format_color_text 介面設置
-
exposure_plus_1 推薦
-
report_problem 檢舉
-
account_circle 登入
Kesabaran ini semakin bergejolak. Cepat-cepat kususuri tangga kecil dengan kayu yang sangat rapuh menuju pintu merah. Kubuka kenop pintu dan sesegera mungkin kututup. Kutuju pintu kecil dalam sebuah bilik yang kumasuki. Kuhidupkan keran, berkumur-kumur, mencari sikat dan pasta gigi, kuoleskan pasta gigi pada sikat gigi, kuberi sedikit air, lalu ku gosokan pada gigi-gigi kecilku yang mungkin terdapat noda setelah makan malam tadi. Bersih. Aku tersenyum pada cermin, ia pun membalasnya. Kumatikan kran, kuraba lap yang selalu menyapaku setiap aku ingin mengeringkan tangan. Bergegas kulangkahkan kaki ini menuju ke tambah. Selimut kutarik rajutku yang pudar karena sudah terlalu senja menemaniku selama ini. Kurebahkan ragaku. Oh! Betapa nikmatnya.
“Ya Tuhan, kumohon berikan mimpi indah malam ini, dan tolong bangunkan aku pagi-pagi. Aamiin.” pintaku.
***
"Allah maha besar . Allahuakbar.. Asyhaduallaillahaillallah…”
Suara azan subuh menyentuhku. Alhamdulillah ,Tuhan mendengar doaku malam tadi.
Ya. Aku bangun pagi. Kurapikan tempat tidurku, sandarkan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
“Siti, Suryo, Turunlah! Ayo makan!” seru ibu
Ya, namaku Siti Maryani. Aku kelas 6 di SD Negeri Pucuk Seribu. Hobiku adalah membaca dan menulis. Saya mempunyai adik bernama Suryo. Dia masih duduk di bangku TK di desaku. Umurnya baru sekitar 5 tahun, dan aku 10 tahun. Kami selalu hidup berdampingan. Meskipun aku dan adikku terbilang masih muda, namun kami sering membantu pekerjaan orangtua seperti mencuci,mengepel,mencari jangkrik dan keong di sawah. Di sekolah pun, kami juga menyambi jualan kue buatan ibu. Ibuku seorang penjual kue dan tukang cuci di rumah dan bapakku hanya seorang tukang becak dan tukang sawah. Meskipun penghasilan orang tua saya sangat kecil, tetapi mereka jarang mengabaikan permintaan kami. Kami hidup bahagia selama ini.
“Ibu, cepatlah. Saya sudah tidak sabar lagi untuk melihat betapa indahnya padang pasir.”. teriakku dengan perasaan gembira.
Bukannya marah, Ibu malah tersenyum padaku. Setelah mengunci pintu, meski di dalam rumah tidak ada benda berharga, ibu lalu duduk di samping adikku. Dengan becak, yang penataannya masih manual, dengan “dipedal” ini, kami semua berangkat. Sempat aku melihat keringat bercucuran di kening bapakku. Dengan menyelesaikan tenaga, ia becak kayuh. Menyusuri berbagai jalanan, mulai dari jalanan yang sedikit “ gronjal ” karena banyak bebatuan, lalu jalan aspal yang sangat panas karena hanya ada sedikit pepohonan. Kenyataannya saya bingung. Banyak pohon-pohon yang sengaja ditumbalkan oleh manusia-manusia sok pintar untuk terikat dengan menara-menara tinggi yang penuh dengan polusi.
Desa yang dulu sejuk kini menjadi neraka. Para keharusan seolah-olah dipenjara oleh pemerintah. Gedung-gedung pencakar langit itu bahkan tak tahu diri. Mati. Banyak tumbuhan yang mati karena tak mendapat sinar matahari yang cukup akibat terhalang gedung-gedung tersebut. Sadis! Mereka lupa bahwa tumbuhan dan binatang adalah nenek moyang kita, nenek moyang kita. Mereka telah ada dan hidup lebih dulu dari kita. Sayang sekali mereka lupa cara rasa hormat. Atau sengaja lupa?
Priittt!!!
Suara peluit tukang parkir menyadarkanku dari lamunan.
"Ah! Aku bisa apa? Seorang anak kecil sepertiku tak mungkin bisa mengubah dunia yang sudah sangat kejam ini. Kuharap kekejaman ini segera berakhir,” batinku.
“Monggo, Pak Rahmat,” tukang sapa parkir kepada Bapakku.
Ya. Bapakku sering dipanggil Rahmat oleh teman-temannya. Nama lengkapnya adalah Rahmat Solihin. Bapakku terkenal ramah, makanya ia sering disapa ketika berkenalan dengan banyak orang.
Sreeek….
Gesekan kampas dengan velg ban menghentikan kayuhan becak. Kami pun turun dengan menenteng barang-barang yang kami bawa dari rumah. Lembut namun sedikit kasar. Kurasakan butir-butir pasir menempel di kakiku. Hembusan angin sepoi-sepoi menyapu wajahku,menyibak rambut panjangku. Pohon-pohon kelapa dan cemara pun ikut menyambut kedatangan kami. Meliuk-liukkan badannya seolah mengajak kami menari.
“Ciptaan-Mu sungguh indah, Tuhan. Sungguh, ini membuatku takjub, membuatku rindu.” kataku pelan.
Kenangan manis yang Aku rindukan setahun yang lalu.tanggal dan bulan pun sama persis. Yang berbeda hanyalah tahun. Dulu umurku baru 10 tahun dan sekarang umurku 11 tahun. Ya! Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-11. Aku bersyukur pada-Mu Tuhan, Kau berikan umur panjang padaku. Setiap hari spesial seperti ini, selalu kurayakan di pantai bersama keluargaku.
Di pantai inilah kenangan-kenangan manis selalu terukir setiap tahunnya. Sama seperti tahun sebelumnya, kukenakan baju panjang warna merah kesukaanku, mempersembahkan Ayahku saat aku mengulang tahun yang ke sembilan 2 tahun lalu. Aku harap hari ini menjadi hari yang baik untuk aku dan keluargaku.
“Kak, ayo kita main bola di sana!” ajak adikku. Saya pun mengiyakan. Wajar saja kalau Suryo mengajakku bermain bola, Dia kan anak laki-laki.
Ibu mengikat tikar dan mengeluarkan isi dalam tas yang kami bawa tadi. Hal seperti ini sudah menjadi adat bagi keluarga kami. Setiap pergi ke pantai, pasti selalu membawa bekal makanan,minuman,pakaian ganti apabila kami nanti basah terkena ombak pantai, dan tidak lupa, kami mainkan di sana nanti. Sepertinya memang sudah pakem.
Bajuku basah. Bukan karena cipratan ombak di pantai, melainkan derasnya keringat yang bercucuran di wajahku sampai meresap ke bajuku. Matahari seakan berada tepat di atas kepala kami. Kutengok jarum pada jam yang melekat pada tangan kiriku. presentasi pukul 11.30 WIB. Aku dan Suryo memutuskan untuk berteduh. Kami menemui bapak dan ibu yang sudah lama menunggu kami.
“Makanlah, Nak. Ini sudah ada ketela rebus dengan teh. Kalian pasti sudah lapar, iya kan?” kata bapak.
Mungkin teriakan cacing cacing di perutku sangat keras sehingga terdengar oleh Bapak ku. Rantang putih dengan motif bunga berwarna merah seolah merayuku agar cepat membukanya.
“Pak, maafkan kotor terkena pasir. Saya ingin mencuci tangan. Apakah ada udara?” tanya Suryo.
“Bapak tadi membawa air putih dalam sebuah botol yang Bapak taruh di plastik warna merah,Nak.coba carilah!”
“Tidak ada, Pak.”
“Oh ya. Sepertinya botol itu tertinggal di becak,ya sudah bapak ambil dulu.”
“Bu, tehnya lebih enak kalau dingin. Bagaimana kalau kita campurkan es batu di dalamnya? Lagi pula cuaca hari ini panas.”ajakku.
“Benar juga. Tapi kita tidak punya es batu. Begini saja, kalian tunggu di sini, Ibu akan membelikan es batu untuk kita.”
Hari semakin panas. Cacing-cacing di perutku semakin bergejolak. Sudah hampir setengah jam bapak dan ibu belum kembali. Bagiku, hari ini memang sangat aneh. Tak seperti biasanya saat aku berkunjung ke pantai. Semenjak aku datang, hingga sesiang ini, entah kenapa air laut terlihat tenang. Tak banyak ombak. Semakin lama semakin surut., padahal belum menginjak sore hari. Kutatap langit, tiba-tiba saja agak mendung. Mengapa toko-toko di sekitar pantai saat ini juga banyak yang tutup?
"Ah! Cuma pikiranku saja yang aneh. Mungkin gara-gara lapar. Toh, para pengunjung juga baik-baik saja di sini,” batinku.
Namun salah. Sebelum kusempat menyentuh rantang makananku, keadaan mengagetkanku. Orang berlarian ke sana ke mari. Aku bahkan tidak mengerti apa-apa saat itu.
“Lariiii!! Ada tsunami!!! teriak banyak orang ketika keadaan semakin rusuh.
Sontak mendengarnya, saya benar-benar kaget. Benar-benar masih tidak percaya. Lalu aku melihat lautan yang memang benar, ada gelombang yang siap menerjang kami. Kupegang erat-erat tangan Suryo dan berusaha melarikan diri. Kusebut nama bapak dan ibu berulang kali.
“Bapak, Ibu tolong kami!” teriakku.
Sayang, ombak lebih cepat menghampiri kami. Menghantam seluruh pengunjung yang ada. Aku terpental jauh, terbawa arus, menabrak-nabrak akar pepohonan. Ingin berteriak minta tolong, namun jika kubuka mulutku maka, aku akan makan pasir dan minum air laut. Aku diam. Seakan menuruti perintah ombak yang mengombang-ambingkan Aku dalam lautan. Semakin lama aku semakin tak kuat lagi menahan nafas. Kepalaku pening, semua tampak kabur di hadapanku. Genggamanku terlepas dan tak sadarkan diri.
Suara tangisan seorang anak menyadarkanku. Kubuka mataku pelan-pelan, kulihat ke atas, kupandang langit, sangat cerah. Kuamati keadaan sekitar. Kuraba pasir basah yang sebagian rusak. Pelan-pelan kucoba untuk bangkit, namun aku merasa aneh pada kakiku. Syukurlah saya bisa bangun meskipun hanya duduk. Kucoba bersihkan pasir-pasir dan kotoran-kotoran yang menempel pada kakiku. Saat kuusap, kudapati luka memar di kakiku. Mungkin, mungkin itulah yang kurasa aneh. Kuamati lagi keadaan sekitar, heran, apa yang sebenarnya terjadi. Aku mencoba mengingat-ingat peristiwa apa ini. Setelah beberapa saat, akhirnya aku ingat kejadian waktu itu.
Main bola, rantang ibuku, ombak besar, ketakutan, tangisan, teriakan, bahkan semuanya nampak jelas. Aku tertegun dengan semua yang terjadi beberapa saat lalu. Peristiwa ini mengingatkanku pada ibu yang pernah menasihatiku setelah makan malam kemarin. Gempa dahsyat menggemparkan penduduk sekitar malam itu. Ibu sempat menyarankan untuk menunda piknik. Saya benar-benar menyesal tidak menerima nasihat dokter.
“hehehe…hiks hiks hiks…” rintihan tangisan anak kecil itu membuyarkan ingatanku.
Secara reflek aku baru ingat bahwa aku bersama adikku, Suryo. Kucari sumber tangisan itu, kupandangi dengan jeli tempat di sekitarku.
“Suryo!” sontak aku kaget melihat adikuu paparan tidak berdaya di atas tumpukan ocehan. Ia menangis kesakitan, mungkin juga karena ketakutan. Oh malangnya nasib kami, Tuhan.
Aku berusaha bangkit untuk menghampiri adikku. Dengan selesainya tenaga, kuangkat badanku hingga kubisa berdiri. Kupaksakan melangkah sedikit demi sedikit menujunya, dengan diseret-seret akhirnya saya bertemu dengan Suryo. Hatiku seolah terparut melihat luka pada kaki adikku. Batinku pun ikut teriris menahan tangis. Kelopak saya berusaha membendung air yang ingin mengalir. Rasa tak sanggup muncul dalam benakku, melihat keadaan adikku yang berlumuran darah.
Dengan cepat kucabut omelan yang menusuk kaki adikku. Namun apalah dayaku, rasa ketidaksanggupan ini semakin menggebu. Tanganku lemas. Aku tersungkur di hadapannya. Namun, tidak. Ini harus tetap aku lakukan. Dengan sangat hati-hati, kucabut pelan-pelan mengomel kayu itu.
“Kak, ayo cepatlah. Kakiku sakit…” jawab Suryo.
“Sabar dulu, Dek! Ini kakak juga sedang berusaha,” kataku.
“Tapi sakit, Kak… Aku tak tahan lagi…” keluhnya lagi.
“Kalau kakimu saja tak mau diam, lalu bagaimana Kakak bisa mencabutnya? Diamlah, berhentilah bergerak. Kalau kamu bergerak terus, Kakak jadi susah mencabutnya.” Jawabku dengan sedikit emosi.
Kekhawatiran ini bercampur aduk dengan kemarahan. Kaki Suryo tak mau diam. Ini tambah menantangku untuk mencabut ranting yang tertancap pada kakinya itu. Sekuat tenaga kupegangi kaki Suryo dan perlahan mulai mencabut ranting yang menancap itu. Rasanya Aku terlalu jahat menjadi kakak yang rela melihat adiknya sakit. Saat itu aku benar-benar tak sanggup lagi. Setelah mengomel itu berhasil aku cabut, kulempar jauh-jauh mengomel itu, dengan harapan benda itu tak datang lagi untuk menyakiti kami. Kupeluk adikku. Kupeluk erat-erat untuk menguatkannya. Tangis kami semakin pecah dalam genggaman.
“Kak, aku takut. Kakiku sakit, Kak..” ucap Suryo berbisik di telingaku.
Aku benar-benar hancur. Setelah mendengar ucapannya, saya benar-benar tidak mampu bahkan membuka mata pun rasanya sulit.
“Apa yang harus saya lakukan, ya Tuhan? Kumohon, tolonglah kami.” harapku dalam batin.
Kutiup luka yang menganga pada kaki adikku, semoga tak ada kotoran yang menempel. Kuusap mengobati lukanya, berusaha menenangkannya. Kubawa Suryo menuju tempat yang lebih nyaman (meski semuanya terlihat menyakitkan).
“ Aduh. Kakiku sakit, Kak.”
Terpaksa aku harus menggendongnya. Seperti mengangkut beras sekarung, karena berat badan Suryo hampir sama denganku. Namun tak ada yang bisa saya lakukan lagi selain ini. Kugendong Suryo dengan kakiku yang sakit ini. Meskipun aku berjalan dengan terseret-seret, akhirnya aku bisa sampai ke tempat yang lebih nyaman, meskipun semua tempat porak poranda akibat terjangan tsunami .
Kubaringkan Suryo di atas pasir yang basah.
“Tunggulah sebentar, sayang. Bersabarlah,” ucapku.
Kurobek baju lengan panjangku secepat mungkin. Lalu kubalutkan pada kaki adikku yang luka itu. Kutali lumayan erat, berharap bisa mengurangi rasa sakit pada kakinya. Lalu aku berusaha menjelaskan tentang apa yang terjadi. Ia pun mencoba mengerti.
“Kak, Ibu di mana? Bapak juga di mana? Mengapa mereka tak bersama kita?” tanya adikku merasa kebingungan.
Aku pun tak tahu, ke mana bapak dan ibu pergi. Mereka selamat atau tidak pun aku tak tahu. Aku bingung harus menjawab semua adik pertanyaanku itu dengan jawaban apa dan bagaimana.
“Bapak dan Ibu kan sedang mencarikan kita air dan es batu untuk kita, kan Dek?”
“Lalu mengapa mereka juga belum kembali, Kak?”
“Parkiran Bapak kan jauh, sedangkan Ibu mungkin antreannya penuh. Sabarlah,”
Terpaksa kubohongi adikku agar dia tidak berpikir yang aneh-aneh. Namun sayang, Suryo tidak percaya itu.
“Kalau begitu, ayo kita susul mereka, Kak. Aku mau bertemu mereka. Aku takut, meski ada Kakak di sini. Apakah Kakak tidak takut?”
Sebenarnya sama. Aku pun takut, hanya saja aku berpura-pura tenang di depan Suryo.
Tanpa sengaja saya melihat rantang yang bentuk dan warnanya, bakan motifnya pun sama dengan rantang yang kami punya. Lalu aku berusaha mendekati. Sayang sekali isinya sudah tak ada, entah hilang sampai ke mana.
“Kak, aku lapar..,” rintih adikku.
Aku jadi ingat waktu itu, belum sempat aku membuka rantang ibu, ombak menerjang kami lebih cepat, sehingga kami belum sempat makan, padahal keadaan saat itu aku sangat lapar. Aku berusaha menahan, namun rintihan Suryo semakin menjadi. Aku semakin bingung harus mencari makanan di mana, di sini sepi. Hanya banyak ranting pohon dan sampah yang berserakan akibat gelombang itu. Emosi Suryo malah semakin besar.
“Kak, kau anggap aku adikmu bukan sih?” tanyanya.
Sontak aku kaget mendengar pertanyaan yang membuat jantungku seakan mau berhenti itu. Bisa-bisanya dalam keadaan seperti ini dia bisa berkata seperti itu.
“Maksudnya pertanyaan kamu itu apa? Ya kamu itu Adikku. Dari dulu juga Adikku. Sampai kapan pun juga Adikku, Suryo…” timpalku.
“Kalau benar begitu, teganya kamu sebagai seorang Kakak membiarkan Adiknya mati kelaparan.”
“Siapa yang tega? Aku juga sedang berusaha mencari, namun di sini tidak ada, Suryo. Anda bisa melihat sendiri keadaan di sini, kan?”
“Sama saja kau tidak berusaha jika kau hanya duduk diam di sini.”
“Baiklah, kau tunggu di sini saja, aku akan mencarikanmu makanan.”
“Bahkan kau juga sangat jahat jika membiarkan Adikmu menunggu sendirian di sini. Jika terjadi apa-apa saya bagaimana?”
Pertanyaan-pertanyaan Suryo benar-benar membuat emosiku sampai ke ujung rambut. Rasanya ingin sekali aku menamparnya. Namun yang ia katakan juga benar. Aku seorang kakak, sudah kewajibanku untuk menjaganya. Kuputuskan untuk mencari hubungan intim.
Kugendong adikku. Meskipun berat, tetap saya lakukan. Ke sana ke mari tak tentu arah, tak punya tujuan yang jelas. Ditambah kakiku yang memar ini semakin parah. Aku bingung mau ke mana, aku tak sanggup juga jika harus menggendong Suryo ke mana-mana. Sudah hampir satu jam kami hanya berkeliling tanpa arah yang jelas. Semuanya berbeda. Bahkan sangat berbeda.
Brug!!!
“Aduh, sakit, Kak! Kenapa kau menjatuhkanku?” tanya Suryo.
Benar, aku tak sengaja menjatuhkannya dari punggungku. Rasanya kakiku sudah tak sanggup untuk menopang beban seberat itu. Luka kakiku semakin menganga.
“Sur, kamu lapar, kan? Kalau kamu lapar, tunggulah di sini sebentar. Kakak akan mencarikanmu makanan. Jika kakak terus-terusan ke sana ke mari dengan terus menggendongmu, padahal kaki Kakak sedang sakit, itu akan membuatmu semakin lama untuk makan. Kakak akan mencari makanan dan juga bantuan. Kamu tetaplah di sini dan jangan ke mana-mana. Paham?” jawabku dengan sedikit nada tinggi.
Suryo pun mengiyakan.
Kucoba untuk bangkit kembali. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku meski harus banyak menyeretnya agar aku tetap bisa berjalan. Ke sana ke mari berusaha mencari bantuan. Namun sayang sekali, tempat ini benar-benar sepi. Bagai pantai tanpa pengunjung. Aku tak sanggup berjalan. Kakiku benar-benar sakit. Namun, sebelum kuputuskan untuk berhenti, aku sempat melihat ada cahaya seperti lampu di balik tumpukan sampah itu. Saya putuskan untuk mencarinya, berharap ada banyak makanan dan bantuan yang bisa saya dapatkan. Kususuri jalan penuh pasir itu. itu tak sengaja menginjak-ranting kayu yang terkubur di bawah pasir itu. Cahaya itu tiba-tiba menghilang entah ke mana dan tak terlihat lagi. Saya sempat bingung, saya harus melanjutkan perjalanan atau balik pulang ke tempat adikku berada.
Syukurlah, rasanya hatiku mulai tenang, karena hanya tinggal beberapa langkah lagi aku sampai ke tumpukan sampah itu.
Tumpukan itu ternyata tinggi dan aku bingung harus lewat mana untuk ke tempat cahaya itu. Sorot mata tajam mencari tempat yang bisa aku lewati. Lalu aku melihat lubang di samping tumpukan itu.
“Itu lubang apa? Apakah itu satu-satunya jalan menuju tempat yang ada cahayanya itu?” batinku.
Kuputuskan untuk mendekat. Belum sempat sampai ke lubang, saya terjatuh dan tersungkur ke tanah. Tidak lama kemudian, saya mendengar suara retakan mengomel di sekitar saya. Aku berusaha mencarinya dengan kepekaanku. Saya takut.
Brugg!!!
Aku terjatuh dalam sebuah lubang tempatku terjatuh tadi. Sekitar 3 meteran saya terperosok dalam lubang. Kakiku tersangkut mengomel yang berada di atas tugasku. Sakit sekali rasanya. Mataku memerah. Aku meraung-raung sakit.
“Tolong-tolong…” rintihku.
Namun tak ada satu pun orang yang mendengarkanku. Kulihat kakiku, ternyata ada salah satu yang menancap di kakiku. Air mata sudah tak terbendung lagi. Rasa sakit itu semakin mengeras. Dengan rasa takut yang membara dan ketidaksanggupan yang besar, kucabut mengomel itu dengan tangan. Pancaran darah itu sampai mengenai pipiku. Akhirnya, kurobek baju lengan panjangku yang satunya. Kubalutkan pada kakiku. Dengan seerat mungkin kuikatkan pada kakiku, semoga rasa sakit ini semakin hilang. Tangisanku pecah di dalam lubang itu. Hanya ada cahaya dari atas kepala. Aku linglung dan tak tahu harus melakukan apa. Tanganku mungkin karena saat aku terjatuh tadi sempat terkena bagian yang tajam dari ocehan. Perutku semakin lapar.
Kuamati keadaan sekitar, masih sepi saja. Namun, di dalam sebuah lubang itu ada sebuah lorong yang ujungnya terdapat sinar cahaya yang sama persis seperti cahaya yang saya cari tadi. Aku bingung harus menuju cahaya itu lagi atau tidak. Aku takut jika akan terjadi hal seperti ini lagi. Tiba-tiba aku wadah Suryo. Aku telah meninggalkannya sendirian di atas sana. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Lalu kuputuskan untuk menuju cahaya itu. Karena lorongnya tidak terlalu besar, saya perlahan-lahan perlahan-lahan menuju ke arahnya. Sebisanya aku berhenti untuk beristirahat. Kakiku yang sakit ini semakin menjadi, namun aku harus tetap diam sampai aku berhasil keluar. Mungkin saja cahaya itu adalah sorot para relawan yang akan membantu kami. Cahaya itu semakin dekat, rasa semangat ini semakin besar dan semakin membuat nyaman tempat berlindung. Sebelum sampai, aku mendengar ada suara lagi di sekitarku. Aku mulai bingung dan ketakutan. Kuputuskan untuk terus bersembunyi ke arah cahaya. Hanya tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di titik cahaya itu. Tapi tiba-tiba saja kakiku kram karena terlalu lama ditutupi. Aku tak bisa bergerak. Aku meraung sakit. Tangisku pecah di dalam lorong itu. Suara tangiskupun menggema. Aku pasrah. Namun tujuan awalku membuatku untuk terus berusaha menuju cahaya itu. Kuseret kakiku dan rasanya lebih enak dari tersengat kalajengking. Akhirnya aku sampai di ujung lorong itu. Benar, cahaya itu benar-benar ada. Ada banyak suara orang di atas. Aku berteriak-teriak meminta tolong. Namun, tidak ada jawaban apapun dari atas. Saya mencoba berdiri dan keluar dari lubang itu. Kutatap langit yang cerah, kupanjat pasir menuju ke atas. Syukurlah lubang ini tak terlalu dalam, hanya sekitar 2 meteran. Tanganku sudah sampai ke atas, dan disusul kepala. Kuangkat pelan-pelan badanku dengan pijakan kaki yang kuat dari bawah. Namun sayang, sebelum seluruh badanku sampai ke atas, tiba-tiba saja gelombang besar dari arah laut menghantamku. Aku kaget dan langsung terpental entah ke mana. Terbawa arus, menabrak-nabrak pepohonan. Naasnya, aku tak bisa berenang. Aku kaget dan langsung terpental entah ke mana. Terbawa arus, menabrak-nabrak pepohonan. Naasnya, aku tak bisa berenang. Aku kaget dan langsung terpental entah ke mana. Terbawa arus, menabrak-nabrak pepohonan. Naasnya, aku tak bisa berenang.
“Tolong-tolong…”
Hanya suara inilah yang bisa aku ucap. Aku hampir pasrah. Kuserahkan antara hidup dan matiku pada Tuhan saat ini. Namun sebelum itu, seperti ada yang menanggil namaku. Bahkan bukan hanya sekali saja, namun berulang kali. Aku sempat memikirkanku namun tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain pasrah. Namun, suara itu semakin keras di telingaku. Lalu kuteriak lagi.
“Tolong-tolong..” suaraku lebih keras.
“Siti, Siti. Bangunlah!”
Aku tercengang kenapa suaranya semakin aneh dan rasanya berada sangat dekat dari kupingku?
“Siti. Bangun Siti!!! Ibu bilang bangun Siti!”
Sontak saya terbangun dan ternganga tentang sebenarnya apa yang terjadi pada saya. Mengapa semua orang mengelilingiku. Dan, mengapa saya berada di ruang kelas? Bukankah aku sedang tenggelam?
“Aku di mana? Mengapa aku di sini? Bukankah aku sudah mati tenggelam?” tanyaku.
Bukannya dijawab aku malah ditertawakan oleh semua orang.
“Siti, bangun dan cucilah muka. Lalu kerjakan tugas kamu. Bukan malah tidur.” Perintah seorang wanita dewasa di hadapanku.
Saya tambah bingung sebenarnya apa yang terjadi pada saya. Tugas? Tidur?
“Astaga…” jawabku dengan suara mengagetkan.
Saya baru sadar bahwa saya diberi tugas untuk mengarang oleh ibu guru. Saat aku mencoba mengkhayal, aku malah tertidur di kelas. Jadi, wanita tadi adalah guruku. Saya malu. Hari ini sangat menyebalkan. Jadi semua ini Hanya Sebuah Mimpi. Cepat-cepat aku lari ke toilet untuk menyapu rasa maluku.