Kain – kain hasil rajutan itu sekitar tiga lusin atau sekitar satu setengah tahun hasil jari jemari kreatif Nona Verlette di Patronal Audagird Hospital. Dalam satu setengah tahun itulah, jari – jarinya tidak pernah berhenti merajut.
Berbagai macam jenis sweeter, dari yang satu warna hingga tiga jenis warna. Ada juga topi kupluk rajut, sarung tangan, syal, dan tas kecil.
“Woah! Keren banget sih!” Kedua mata Abigail berkilau bagai bintang, sambil memilah satu per satu hasil rajutan Verlette.
Bagi wanita, kain rajutan kreasi orang adalah harta unik yang tidak mudah ditemukan.
“Be-benarkah, Abi?” mata merah Verlette berkaca – kaca.
“Nah, bukannya itu terlalu banyak?” tambah Mr. Clovis sambil menggaruk – garuk kepalanya dan agak keberatan. “Masalahnya… hampir nggak ada tempat lagi. Lagipula, nggak ada yang mau ju-“
Verlette menginjak kaki Mr. Clovis kuat – kuat.
“Ouucchh, My Dearest, kenapa!?” Mr. Clovis memekik, sambil mengangkat kaki kirinya. Meski ia memakai sepatu, tampaknya ekspresi muka Mr. Clovis tidak dibuat – buat, pikir Abigail.
Verlette menggumam sebal, dan membuang muka.
“M-My dearest!!” Mr. Clovis menunduk, memohon ampun pada Verlette.
“Mr. Clovis, anda seharusnya memikirkan jawaban yang tepat untuk Lady Verlette…”
Abigail menceramahi Mr. Clovis dihadapan Verlette. Ia mengatakan bahwa sebaiknya tidak menggunakan kalimat yang menimbulkan efek jelek. Misalnya pada bagian ‘Nggak ada yang mau’ mengindikasikan hasil rajutan Verlette adalah jelek. Melukai perasaan wanita adalah hukuman yang nyaris tidak termaafkan.
“Ba-baik… se-sepertinya aku perlu belajar banyak darimu, Abi!” Mr. Clovis tampak tidak berdaya. Ia kembali ke meja kantornya dengan sedikit sedih.
Sementara itu…
Julia Chalice, sama sekali tidak tergerak sedikitpun. Tampaknya, ia tidak begitu tertarik.
Abigail kemudian menyarankan Verlette untuk membeli rak pakaian untuk menyimpan barang – barang hasil rajutan itu.
“Sementara itu… akan lebih kalau kain – kain rajutan ini digantung, bagaimana? Atau Nona Verlette… mau membagikan rajutan – rajutan ini ke orang lain?”
Verlette sesaat memandang gundukan gunung, setumpuk kain rajutan yang nyaris melebihi separuh kasurnya. Kedua dahinya dikerutkan, ia tampak memikirkan sesuatu.
“Hm… rasanya sedih….” Verlette mengangkat ringan lengan sweeter rajutnya yang berada di tumpukan. “Kalau… nggak ada yang pakai… rasanya… sayang….”
“Hm…, mau pakai gantungan magnet seperti aku menggantung jasku?” sahut Mr. Clovis tiba – tiba, menunjuk bagian belakang tempat duduknya. Ada beberapa jas dan baju formal digantung.
#Hah… (Sighed)
(Dia punya gantungan kenapa nggak dari dulu punya Nona Verlette digantungkan untuk sementara …? Hah..)
(Eh, sebentar? Kenapa nggak pesan almari aja, dah?) Pikir Abigail dengan heran.
“Tapi… temboknya berlapis terbal begini?”
“Aku ahlinya motong memotong!” Mr. Clovis lesat mengeluarkan pisau kecil dari saku jasnya.
“O-oke, saya akan bantu juga, Mr. Clovis.” Abigail sedikit terkejut ketika pria necis yang ditemani senyum lebarnya itu mengeluarkan pisau kecil dari jasnya. Ia sedikit teringat film = film thriller yang pernah ditontonnya saat SMA.
Kini Abigail dan Mr. Clovis mengerjakan gantungan magnet. Abigail memajukan gerobak medis, lalu menyarankan Mr. Clovis agar memasang penggantung pakaian magnet itu di dekat pintu masuk.
Mr. Clovis melubangi karpet itu berbentuk segi panjang. Tangannya terlihat santai dan mudah sekali merobek karpet yang tebal itu.
Lantas…
Mr. Clovis mengambil bor listrik dan membor sisi tembok persegi panjang. Diakhiri dengan lubang terakhir di bagian tengah. Kini tercipta tiga lubang kecil yang ukurannya pas dengan tiga tabung magnet.
Tiga tabung magnet itu dilapisi lem dan dimasukkan ke masing – masing tiga lubang. Lalu…
Gantungan pakaian magnet itu telah berhasil terbuat.
“Hehehe! Aku memang tukangnya tukang!” Mr. Clovis membanggangkan dirinya sendiri.
Abigail dan Mr. Clovis terlihat puas. Sementara Verlette kini telah menyelesaikan sarapannya. Setelah mengambil mangkuk kosong Verlette, Abigail segera memberi suntikkan dan meminumkan vitamin.
Hanya saja…
Julia Chalice, masih tidak berkutik. Setelah sejam Abigail menunggu, Julia Chalice sama sekali tidak menyentuh mangkuknya apalagi bergerak sedikitpun.
Itu, membuat Abigail sedikit cemas.
“Ah! Hanya satu masalah, sih….”
“Ada apa Mr. Clovis?”
Abigail berpaling pada Mr. Clovis yang mengahapus keringat di keningnya.
“Hehe… aku belum beli alat gantung pakaiannya, hehe….”
(A-APAA!?)
***
Setengah jam telah berlalu….
Abigail izin kepada Madame Murtlock untuk membeli alat gantung pakaian di mini market kota Dublin. Alasan apapun asal berkaitan dengan Mr. Clovis, Madame Murtlock tidak pernah melarang. Asalkan tidak bersifat kriminal atau melanggar aturan rumah sakit.
Abigail juga sudah memberitahu semua suster bahwa hasil rajutan Verlette dibagikan pada semua orang yang menginginkannya. Semua suster tampak penasaran dan berjanji akan mengunjungi kamar Verlette setelah jam kerja selesai. Kira – kira setelah makan malam.
Setelah mendapat beberapa alat gantungan pakaian aluminium, Abigail segera kembali ke kamar nomor 33. Dengan bantuan Mr. Clovis, kini semua hasil rajutan Verlette terlihat rapi dan terpampang indah.
Abigail, meski ngos – ngosan, roman mukanya tampak senang.
“Abi…. Terima… kasih,” kata Verlette.
“Sama – sama. Sebagai sesama suka merajut kita harus saling mendukung, bukan?”
Senyuman kecil Verlette membuat Abigail lega. Ia puas karena usahanya tidak sia – sia. Sementara Mr. Clovis berjanji telah memesan lemari etalase dari kaca yang akan ditempatkan di ruangan itu.
Dan Verlette, kembali merajut seperti biasanya.
Sementara itu…
Abigail berpaling pandangannya pada Julia Chalice. Ia ingin mencoba mengingatkan wanita itu untuk segera sarapan. Tapi….
(O-oh… sudah habis….?)
Abigail segera mengambil mangkuknya yang kosong dan ditempatkan di gerobak medis.
(Walah? Mr. Clovis juga sudah selesai?)
Ternyata ada tambahan satu piring. Kini lengkap sudah 2 mangkuk dan satu piring.
Abigail mengambil obat rutin dan vitamin untuk Julia Chalice. Kini, ia duduk kembali di dekat Julia Chalice.
“Nona Chalice, bagaimana sarapannya?” Abigail mengupas beberapa bungkus obat, lalu mengeluarkan dua tablet berwarna putih besar dan kecil berwarna pink, serta dua kapsul lunak berwarna biru putih dan merah putih.
Julia Chalice menoleh sesaat, kemudian kembali ke arah pandangnya semula. Ia masih lesu, tanpa kata – kata, dan nelangsa sedari kemarin. Meski lukanya fisiknya berangsur membaik, namun hatinya tampak lebur seperti awal saat dileburkan oleh orang – orang tidak bertanggung jawab.
Abigail selalu menaruh prihatin pada wanita itu.
Saat obat itu diberikan, tanpa sepatah kata Julia Chalice langsung menelan semua obatnya tanpa air putih. Walau begitu, Abigail tetap menuangkan segelas air untuknya. Sama seperti sebelumnya, Julia Chalice mengambil gelas itu dan meneguk seluruh isinya tanpa tersisa, tanpa sepatah kata atau ucapan terima kasih.
Kemudian…
Setelah Abigail mengurus obat rutin, kini tiba saatnya gerobak medis paling bawah.
Kini, Abigail duduk di dekat Julia Chalice sekali lagi. Diambilnya segumpal kapas secukupnya dan dicelupkan sedikit pada air dingin. Kemudian Abigail menutulkan ringan pada luka lebam di dahi Julia Chalice.
#Grrrr!
Julia Chalice memekik kesakitan. Darahnya mendesir, pandangan matanya seperti induk kucing yang mendesis. Lonjakan emosinya mulai naik, bahkan kedua tangannya yang diborgol seolah melakukan kuda – kuda untuk mencekik Abigail.
Namun…
Rasa takut Abigail dikalahkan dengan simpatinya pada Julia Chalice. Alih – alih tidak memandang wajah seram pasiennya, Abigail terus melakukan apa yang harusnya ia lakukan.
Menutulkan kapas pada luka…
Mengambil kapas lagi, kemudian menutul pada luka…
Terus berulang – ulang.
Bahkan Mr. Clovis dan Verlette merasa was – was terhadap keadaan Abigail. Seolah Abigail mengurus macan kelaparan tanpa kandang pemisah.
Setelah itu…
Abigail mengusap ringan dengan tisu antiseptik. Julia Chalice semakin menjadi – jadi, bahkan kedua tangannya mengenggam sekuat – kuatnya dan bergetar. Daripada mencekik, Julia Chalice berniat menjotos muka Abigail langsung dengan dua gumpalan tangannya.
Namun…
Abigail tetap melakukan pekerjaannya dengan sabar, telaten, dan tulus. Abigail pasrah dengan apapun yang terjadi, meski Mr. Clovis kini melirik dari balik laptopnya, mengawasi tingkah laku Julia Chalice.
Hingga pada akhirnya…
Ketika salep NaCl itu diberikan, lonjakan emosinya mulai menurun. Urat – urat di lehernya kini berangsur samar – samar. Kedua pergelangan tangannya tidak mengepal dan bergetar lagi. Roman mukanya menjauh dari kesetanan, kini lebih terlihat menyesal.
(Syukurlah… obat anti nyeri itu merasuk lebih cepat, ya tuhan!) sahut Abigail dalam benaknya. Rupanya, ia juga was – was.
“Makasih, suster,” ucap singkat Julia Chalice sebelum kembali merenung seperti sebelumnya.
Abigail membalas dengan senyuman tulus dan hangat.
(Terima kasih sudah berjuang menahan amarahmu padaku, Nona Chalice….) Abigail mengucap rasa syukur pada Nona Chalice, namun dengan suara hatinya.
ns3.17.65.43da2