Panci panas itu tidak disadari telah habis disapu bersih. Isinya, tentu telah mendiami semua perut masing – masing individu. Kontestan yang paling banyak menghabiskan makanan, tentu… bukan para harpy.
Masing – masing mereka mungkin menghabiskan hanya sekitar tiga mangkuk penuh. Tentu tidak juga bagi Aquina, yang nyaris tidak habis walau semangkuk. Sedangkan Nerd, hanya manusia biasa dengan perut proporsional yantg umum. Nah, meskipun jawaban itu sejelas dan sebening air, sebaiknya…
Ah, lupakan.
Ngomong – ngomong…
Setelah kalimat yang dilontarkan Doreris dengan frontal, situasinya jadi malah semakin canggung. Perdebatan itu tidak berlangsung satu sisi, meski begitu Nerd mengambil jalan tengahnya.
Kendati panci itu telah kosong, Mercy segera kembali ke bangunan dua tingkat yang selanjutnya disebut Nerd sebagai Rumah. Sebagai gantinya, Mercy kembali menempatkan satu dispenser 50 liter berisi jus cranberry dan beberapa gelas hanya dengan satu tangan layaknya pelayan restoran bintang lima.
Dari balik wajah senyum Mercy yang ramah dan terlihat ‘tulus’ itu seseorang tentu ‘tidak perlu’ menanyakan bagaimana lady melakukan hal itu. Mengangkat 50 liter dispenser dengan tangan satu bahkan sulit dilakukan oleh pria berotot besi sekalipun. Lebih tepatnya… dengan satu tangan… dan tidak terlihat letih sedikitpun.
Masalahnya, semua orang, Nerd, Aquina dan termasuk tiga para harpy itu menitikberatkan pada hal lain, bukannya Otot-
“Ada apa kalian memandangku begitu, hm?” #Brak! Dispenser 50 liter itu ditaruhkan dengan nyaris tak ada harmoni.
Namun pandangan orang – orang yang sedikit geleng – geleng dan agak terkejut… sebenarnya bisa ditebak olehnya.
Sekali lagi, tidak hanya Nerd, mereka berpikir sama.
‘Apakah dia ini wanita?’
“Kenapa kalian nggak minum, fufufu?” Mercy memandang ke tiga harpy itu. “Kalian nggak berpikir bahwa ‘Apakah dia ini wanita?’ benar?”
Seperti membaca tulisan hitam di atas putih, sejelas itu dugaan Mercy. Nerd bahkan ragu kalau Mercy punya kemampuan esper.
Ketiga harpy itu spontan kompak memutar kepalanya ke kiri kanan. Mereka gugup berkeringat.
Mercy yang hendak melakukan pertanyaan yang sama pada Aquina, Nerd segera mengambil inisiasi titik tengah.
“Eh-ehem…! Mercy, ka-kamu telah melakukan dengan baik,” kata Nerd sambil memejamkan mata.
“Terima kasih, dokter,”
Mercy pada akhirnya enggan melanjutkan niatnya.
(Uuuuf, wanita yang mengerikan!) pikir Nerd.
Dispenser itu punya moncong dua kran, depan dan belakang.
“Apa maksudnya makhluk void, Doreris?” Nerd kembali pada topik, lontaran kalimat frontal Doreris.
“HUH? O-oh… benar juga. Kamu pendatang baru, kan?” Dorereis menggaruk – garuk kepalanya, beberapa bulu merahnya sedikit berjatuhan. “Oh ya ampun… apa aku harus menjelaskan dari awal?” Doreris melempar pandangannya pada kawan – kawannya.
Dengan sedikit enggan, Doreris mengatakan bahwa, planet ini sudah kehilangan harapan bagi sumber daya kehidupan dan rantai makanan. Semenjak perang dengan merpeople, semua ras di daratan selain kehilangan mata pencahariannya, mereka juga kehilangan tempat tinggal.
Satu per satu, saat pemerintahan kecil – kecilan masih ada mereka menggunakan teleportasi interdimensional secara masal. Semua yang punya sedikit uang untuk melakukan perpindahan planet, maka mereka bebas pergi dari tempat ini.
“Sementara yang seperti kami? Tetap bertahan pada tanah kosong ini!?” pertama kalinya Doreris mengatakan dengan nada sopan. “Dan kamu tahu apa yang lebih buruk dari semua itu? Pulau daratan sudah kecil, kami diusir atas tuduhan – tuduhan nggak terbukti oleh merpeople, sekarang tempat ini malah dinaungi ras void!? Sial sekali kami hidup, dong!?” Doreris menyentil gelasnya dengan ringan.
“Yeah, misalnya saja langit yang terus saja malam seperti saat ini?” Avete menunjuk arah atas. “Ya ampun, aku bahkan kehilangan hitungan berapa lama malam sudah terjadi? Dua tahun?” Avete menoleh ke kanannya.
“LI-MA TA-HUN! Ihihihihihi!” Thylopis terkekeh ngeri. “PERSETAN! KALAU MEREKA MUNCUL DARI AWAN LAGI, TINGGAL KUCINCANG! AHAHAHAHA!”
“Muncul dari awan? Makhluk void?” Nerd mengencangkan keningnya.
“UH-HUH!? KAYAK SERIGALA BERKEPALA ANEH? KAYAK TENTAKEL MULUT BESAR YANG MENGANGA!”
(Tch! Tindalos!?) Nerd terdiam.
“Nah, mereka datang bergerombol dari awan. Berlarian seperti anjing gila yang dilepas rantainya. Beberapa dari mereka melemparkan cairan ungu yang bisa melelehkan apapun!” tambah Avete.
“Kami… biasanya kabur. Kami pernah makan mereka, tapi dagingnya nggak enak, Bleeeh-”
“Jangan makan makhluk Void, hey!” potong Nerd.
“Ya kan kami nggak ada makanan, gimana dong!?” Doreris balik protes.
(Ini ironi…. Aku nggak menyangka bakal ketemu dengan makhluk yang menjengkelkan itu lagi!)
Nerd menggali bakal pikirnya. Nerd ingin mencari titik tengah di mana itu akan menguntungkannya tapi juga menyelamatkan semuanya. Nerd tidak mengenal yang namanya kerugian. Sedangkan Aquina masih diam seribu bahasa.
“Avete, Tylo, Doreris, ada berapa banyak pulau daratan di planet ini?”
Kedua tangan dengan jelas mengangkat dan menujukkan tiga pada jari – jari mereka, para harpy.
“Nah, nggak menutup kemungkinan ada lagi, sih…”
“Hoi, hoi, gimana informan bisa seragu itu?”
“Hey, nggak ada salahnya soal itu! Kami bukannya burung yang bisa terbang berbulan -bulan, ya ampun! Lagipula planet dengan mayoritas perairan seperti ini sangat beresiko kalau – kalau nggak ada jaminan buat tempat istirahat, kan?” protes Doreris.
“Kebanyakan dari kami… memastikan informasi dengan jelas. Sejauh ini tiga pulau dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Satu pulau berisi bebatuan padang pasir dengan sedikit tumbuhan, satunya punya gunung – gunung dengan lembah hijau yang aneh, dan satunya tempat ini dengan hutannya yang lebat. Yang terpenting, semua pulau selalu punya pantai!” Avete memegangi dagunya.
Sedangkan Tylophis memejamkan mata sambil bolak balik mengisi gelasnya dengan jus cranberry. Nerd berpikir bahwa harpy yang satu itu, yang agak eksentrik, mungkin punya penjelasan menarik nantinya.
“Ada ras lain yang kalian kenal, Avete, Doreris?”
Kedua harpy itu saling memandang satu sama lain. Avete mengangguk dan mengatakan bahwa ia mengenal dua orang. Sedangkan Doreris, sekitar empat atau lima orang.
“Tn. Guvarn, aku sering memanggilnya Tuan Macan. Dia… hidup di-wilayah bebatuan. Dia om – om yang gigih! Dia bahkan nggak goyah hanya karena cacing pasir atau kepiting batu! Nah, kalau aku jadi dia, aku nggak akan macam – macam dengan makhluk pasir!. Kedua… aku kenal dengan wanita aneh. Nah, wanita itu… ada di pulau ini kok! Tapi… ia di tempat tersembunyi….” Jelas Avete dengan sedikit ragu.
(Cacing pasir? Hm….)
“Wanita aneh katamu, Avete?”
Avete mengambil jus cranberry lalu meminumnya pelan.
“Yeah…. Aku dan Doreris pernah bertemu dengannya dua kali. Dan dia… selalu menyelamatkan kami setiap kali tidak sengaja bertemu. Oh! Dia berkepala kaktus!”
“Jubah biru yang mahal dan mengkilat, tongkat sihir yang juga kelihatan keren! Aku nggak tahu bagaimana nenek itu bisa mendapatkan, tapi… kurasa dia bukan orang jahat….” Doreris mengangguk – angguk kecil dengan pasti.
(Hoi, tunggu sebentar….) Nerd memegangi dagunya. Kedua matanya memandang serius isi jus cranberry pada gelasnya. (Tindalos…. Cacing tanah… Kepiting batu…. Lalu kaktus? Aku berada di dunia mana!? Mengapa mereka berkumpul di tempat ini!? Maksudku…. Ini nggak wajar sama sekali!)
“Dengan tongkat batu sapphirenya wanita kaktus itu mengeluarkan seperti lasser!?” Nerd terperanjat sambil mendekatkan wajahnya. Nada nerd meninggi.
“O-oh… K-kamu… tahu banyak ya? N-nah… bukan sapphire s-sih….” Avete gugup.
“Tch, sudah kubilang nenek kaktus bukan orang jahat, kan? Kenapa kamu tiba – tiba begini manusia!?”
“Sudahlah, jawab saja!” Nerd bersikeras.
Doreris terperanjat dan ikut gugup juga.
“Seperti katamu! Tongkatnya menembakkan laser! Nah, laser itu mengenai tanaman yang mencoba melilit tubuh kami!”
“Tanaman? Tanaman apa, Doreris?”
“Mereka punya banyak tentakel hijau! O-oh apa lagi ya?” Doreris menoleh ke arah Avete.
“B-bunga! Nah, itu dia! Bunganya ungu, bentuknya kayak terompet, daunnya seperti hati! W-waktu itu… kami yang memetik bunga itu, dan entah kenapa tiba – tiba aku terbangun di tempat nenek kaktus!”
(Morning glory…. Seenggaknya, ini yang paling aku nggak suka. Kenapa… perasaanku nggak enak?)
Nerd sangat terganggu dengan apa yang dikatakan para harpy. Hal – hal itu mungkin ada hubungannya saat ekspedisinya yang lalu atau bahkan jauh sebelum itu. Nerd agak kesulitan menerima fakta itu. Faktanya, ia memang berada di planet entah berantah. Faktanya, itu memang sangat amat menganggunya saat ini.
Di mana beberapa makhluk void berkumpul jadi satu, di situlah letak kekhawatiran muncul.
“Hey, Manusia… Nerd. Kenapa kamu kok begitu kaget?” tanya Aquina.
“Nah, ini… cukup susah diterima. Beberapa waktu yang lalu, tidak terlalu lama…. Kami melakukan ekspedisi yang panjang. Ekspedisi tingkat konstellar. Nah, planet ini kebetulan ditemukan saat kami melempar sebuah alat di ruang hampa untuk mencari planet sekitar. Masalahnya, kami… waktu itu kebetulan berhenti di sebuah planet… yang cukup berbahaya!”
“Ohh? Itu menarik!” Doreris menyangga kepalanya dengan dua tangannya. Ia tampak antusias menunggu cerita Nerd.
“Pada awalnya, aku berpikir begitu! Tapi… semakin dalam kami menjelajah… kami sadar bahwa itu jebakan! Te-terutama… sudah menjadi bagian dari penelitian planet kami sejak lama…,” Nerd terhenti sejenak sambil mengingat – ngingat,” Ah! Sebuah jam pasir dengan ornamen aneh! Itu dia! Setiap ada benda itu, maka sebuah malapetaka acak akan muncul!”
“Jam pasir?”
Melalui selaput sisik siripnya, sebuah kantong kencil mulai terbuka. Aquina menunjukkan sesuatu yang diambil dari sakunya.
“Maksudmu seperti ini?”
Sebuah jam pasir tepat seperti yang dikatakan nerd. Punya dua tabung yang ditengahnya saling memelintir dan terhubung satu sama lain. Hanya saja, ornamennya berwarna biru dan isinya adalah air. Sebuah Hourglass.
(Astaga…. I-itu tidak mungkin…) Nerd terbelalak melihat jam kuno itu. Nerd tidak habis pikir bahwa barangkali sampai kedepannya akan menghadapi cobaan besar menantinya.
“HEY, JAM KEREN ITU! BERIKAN PADAKU!” Tylophis yang sedari tadi diam, kini menyahut cepat.
“Hey, hati – hati!” Aquina memperingatkan.
Ia membolak – balik, memandangi, dan mengangguk – angguk saat memegang jam kuno itu.
“NGGAK SALAH LAGI, HIHIHI! AKU PERNAH LIHAT JAM INI! PAMAN FLOUNDER, DI RAWA – RAWA, BILANG KALAU ADA JAM INI, BERARTI KAMU HARUS TEMUKAN YANG JAUH LEBIH BESAR DAN MENGHANCURKANNYA!! KIKIKIKI!”
(Rawa – rawa? Kukira Avete tadi bilang… Bebatuan padang pasir… gunung – gunung dengan lembah hijau… lalu hutan lebat. Sudah kuduga, Tylophis yang eksentrik punya sesuatu yang menarik di otaknya. Aku harus bisa mengambil kepercayaannya. Nah, meski aku nggak punya pengalaman dengan psikopat dan orang gila dengan hawa pembunuh sih….)
ns13.58.67.129da2