Para pegawai toko segera berdatangan ketika Cron meminta pertolongan yang dibantu para pengunjung toko lainnya. Beberapa orang bergerombol di blok bahan pokok. Sirine ambulan juga telah datang. Dina telah dilarikan ke rumah sakit melalui ruang teleportasi yang disediakan perahu apung ambulan. Sedangkan Cron menyelesaikan pekerjaan Dina, mencatat persediaan dan jenis beras yang hanya sampai separuhnya.
Para pegawai toko berterima kasih pada Cron. Cron meminta lembaran teleportasi karena barang belanjaannya yang sangat banyak. Bahkan ia meminta kain belanja sebesar tas punggung sinterklas. Cron sudah seperti juragan bahan pokok.
#Pueeffff!
Cron tiba tepat di depan toko “Regys’s Mart” yang telah buka.
“*Gasp… gasp…* A-aku pu-pulang.” Cron mendorong pintu kaca, tergagap – gagap karena pundak kirinya.
Solana melompat dari meja kasir, cepat – cepat menolong Cron yang bahu kirinya mirip sinterklas.
“Aku nggak ngira sebanyak itu, paman.” Solana membantu menurunkan tas belanja kain itu dengan satu tangan. Sedangkan Cron langsung terduduk menyandar di meja kasir.
“Kukira kamu… *gasp… gasp…* mengerjaiku…, Solana?” Cron kelelahan bermandikan keringatnya sendiri.
“Ya, ya, maaf, hehe.” Solana langsung menata di rak toko. “Tapi bukannya paman pakai teleportasi?”
“Membawa barang berat… bukanlah hobiku, Solana.” Cron berdiri dan menaruh catatan serta uang kembalian di atas meja kasir. “Kembaliannya kutaruh di sini ya,”
Baju Cron yang basah mirip diguyur air hujan. Bukannya air langit, namun keringatnya sendiri.
“O-ow, uh huh.” Solana masih mengambil dan menata barang. “Sudah mau tidur?”
“Mandi lah! Kenapa tidur?”
“Hehe, wajah paman kayak ngantuk begitu?”
“Ini sudah dari pabriknya,”
Cron naik ke atas. Tangga itu langsung mengarah ke ruang makan, berdekatan dengan dapur dan kamar mandi.
Cron menaruh pedang yang sedari tadi singgah di pundak kanannya.Kemudian Cron melepas kemeja biru kotak – kotak. Terdapat pada otot – otot estetik Cron terlepas dari penampilan luarnya yang terlihat kurus, bersemayam luka sabetan berbekas merah. Ia menempatkan baju kemeja itu di dalam kamar mandi dan digantung.
Setelah menggantung celana panjang kain hitamnya di sebelah kemeja, Cron mulai menyandar pada tembok.
#Kricikkricik!
Air shower membasahi tubuh Cron, melewati lekukan blok – blok ototnya. Rambutnya yang basah, menempel dan menutupi mata kanannya.
Ia mengangkat tangan kanannya, menengadah tetesan air.
“Apa yang Helix rencanakan kali ini?”
(Ini membuatku nggak nyaman…)
Kata – kata pria bermobil mewah yang memberikan tumpangan gratis pada Cron tadi kini mulai menganggunya. Pria tadi, Helix, yang Cron sama sekali tidak nyaman berada dekat dengannya.
Cron mendongak ke atas, dan menyibakkan poninya. Kedua matanya semuanya putih tampak berkaca – kaca. Mulutnya melengkung ke atas.
(Aku berjanji… suatu saat…)
#Oh, Halo seniooor!!
Suara Solana dari bawah terdengar sedang menyapa seseorang dengan semangat. Cron segera sadar kalau ia harus ke bawah untuk membantu Solana.
Setelah membersihkan tubuhnya, Cron memutar balik kran showernya.
Cron segera memakai pakaiannya dan cepat – cepat turun ke bawah. Ia menaruh pedang yang selalu ia taruh di pundaknya kini ke kamar.
#Taptaptap
“A-ada pelanggan, Solana?” Cron tergesa – gesa turun dari tangga.
“Paman! Jangan lari – lari, ugghh…” kata Solana khawatir. “Ya ampun! Nggak usah terburu – buru!”
“Hehe maaf,”
Cron melihat dua wanita berpostur cukup tinggi. Satunya berambut panjang warna merah gelap bermuka serius dan satunya berambut hitam sebahu dikuncir sederhana dan bermuka kalem.
“Selamat pagi.” Wanita bermuka serius itu membungkuk sederhana, suaranya halus namun terdengar tegas. “Saya Astrid Milicent. Solana adalah adik kelas saya dua tahun di bawah,”
“Halooo~ wanita satunya mulai memperkanalkan diri. “Velma Ruthergrind. Aku dan Astrid menjabat sebagai OSIS dulu. Solana adik kami di OSIS juga!” nadanya kalem sekalem wajahnya.
“Ah, terima kasih sudah bersama ponakan,” tambah Cron. “Saya Belloc,”
Velma, wanita berwajam kalem, tenang, dan sangat cantik. Wajah Velma bisa sejajar bila disandingkan dengan model terkenal di Glimmerport. Sedangkan Astrid, kedua matanya tajam dan berwajah serius dengan aura disiplin yang sangat kental. Cron tahu bahwa Astrid bukanlah tipikal wanita yang diajak masalah.
Masalahnya adalah, Cron lebih dulu tahu tentang dua wanita itu. Jelas dan wajar mengenai pekerjaan Cron, tentu pernah bersilang aturan dengan lembaga keamanan di Glimmerport. Organisasi terkuat, teradigdaya dan tertinggi diantara organisasi dan aliansi lain.
(Oi, oi, oi bercanda, ‘kan!? Ke-kenapa… dua orang ini!?)
Wanita bermuka serius itu mengeluarkan lencana dari saku jeansnya. Berkilau, keren, legit, dan sangat elegan. Lencana yang terbuat dari emas, pantulan kilau emas itu membuat Cron bertambah grogi.
“Saya Commodor baru di sekitar distrik perbelanjaan kecil Flacheur. Dan Velma adalah wakil saya.”
Crime-Enforcer Glimmerport, Bear Fortress.
Itulah yang tertulis di lencananya.
***
Crime-Enforcer Glimmerport atau lebih dikenal dengan organisasi yang bernama Bear Fortress, adalah satu – satunya badan keamanan yang diakui oleh penguasa Glimmerport. Tidak ada pemerintah resmi di Glimmerport, tapi Bear Fortress ditunjuk resmi untuk menjaga kestabilan keamanan di Glimmerport oleh orang – orang di balik layar yang punya kekayaan nyaris tak terbatas.
Hanya Bear Fortress yang mampu melawan semua aliansi sekaligus, kelompok mereka didominasi oleh orang – orang kuat. Mereka tidak punya komoditas, namun beberapa orang dibalik layar sanggup membiayai Bear Fortress lebih dari apa yang dibutuhkan. Tidak heran banyak orang – orang kuat semi dewa, bergabung hanya untuk menikmati fasilitas Bear Fortress.
Bear Fortress adalah kepolisian militer. Kendaraan yang sering mereka gunakan dalam berpatroli adalah kapal terbang. Bila ada sirine khusus dan kapal terbang, itu tandanya setiap aliansi yang melakukan peperangan harus mundur bila tidak mau dihancurkan oleh Bear Fortress.
Sementara itu…
Cron menggaruk kepalanya. Cron bingung dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
(Apa… ini sudah saatnya untuk mengedukasi Solana?)
“Y-ya, hehe…” Cron tertawa kecil, meski agak dipaksakan.
“Huh?” Velma menunduk kecil, dan mendekatkan wajahnya pada Cron. “Maaf sebelumnya… anda ini… buta?” Mata oranye Velma memandang lurus ke arah Cron, tepat pada dua pupil putihnya.
(De-dekat banget!)
“Ehh?” wajah serius Astrid luntur, kini berganti heran. “A-apa itu benar, Solana?”
Wajah Solana memerah.
“Y-yeah, begitulah… Maaf, aku tahu nggak seharusnya senior berkenalan dengan paman…?” Solana sedikit malu.
Astrid, mengalami lonjakan tensi yang meningkat.
“Kamu ini ngomong apa!?” Astrid menyentak, meraih kerah Solana. “Setiap orang cacat harus dihormati, Solana! Sekarang cepat minta maaf pada pamanmu!” ucap Astrid tegas dan lantang. Kini wanita itu benar – benar mengaplikasikan ekspresi normalnya.
“Ma-maafkan aku, paman!” Solana yang ketakutan karena ketegasan Astrid, membungkuk dua kali pada Cron.
“Hmhm!” tambahnya. “Itu baru namanya hormat!” Dengan melipat tangannya, Astrid mengangguk kecil.
(Oi, oi, nggak seheboh itu kali!) pikir Cron, kerepotan.
#Hah… (sighed)
“Maafkan aku, Mr. Belloc,” Velma mengeluh. “Aku membawa ketua regu yang sikapnya seperti anak kecil,” ia menggeleng – geleng sambil memegang pipi kirinya.
“Ve-velma! Jangan bicara di belakangku!”
“Huh? Kamu selalu memalukan soalnya, Astrid… *hah… (sighed)*”
Keduanya bercekcok.
“A-anu… ada yang bisa kami bantu, Mistress Milicent? Mistress Ruthergrind?” Cron mengalihkan topik agar suasananya tidak semakin runyam.
(*Hah… (sighed)kehadiran mereka saja sudah membuat moodku runyam…)
Mereka berhenti.
“Ah, haha maaf kami nggak sopan.” Velma menyeka salah satu poninya yang menjuntai. “Paman boleh panggil aku, Velma kok!” Ia menggoda Cron.
Astrid yang lelah dengan sikap Velma yang genit, ia membiarkannya. Kedua wanita cantik itu membeli barang yang cukup banyak untuk persediaan kantor. Beras, minyak, dan tepung yang dibeli Cron tadi nyaris hanya berpindah tangan ke pembeli langsung. Bahkan bahan – bahan lainnya seperti mentega, serbuk pudding, bumbu memasak dan sejenisnya juga diborong. Alarm dalam kepala Cron segera tahu bahwa esoknya ia bakal disuruh lagi untuk menyetok barang.
Serta barang – barang lainnya seperti snack, perlengkapan mandi, dan detergen kini telah berkumpul di dekat kasir. Mereka membeli seolah merampok isi toko Regys. Barang – barang bila dikumpulkan seperti gunung.
“Hm…” Astrid bergumam sambil memperhatikan Cron yang pekerjaannya tampak rapi dan seperti orang normal. Ia memegangi dagunya seperti seorang detektif yang berpikir dan mengikuti insting gelisahnya.
“Ya, Mistress Milicent?” tanya Cron, yang dirinya heran mengapa Astrid memandanginya. “Apa ada yang bisa saya bantu…?”
“O-oh, ng-nggak. Saya hanya berpikir… anda ini… benar – benar buta, ‘kan?”
Pertanyaan itu seperti peluru yang menembak tepat di jantung Cron.
(A-apa remaja era sekarang selalu banyak ingin tahu?)
Cron menggaruk kepalanya, memasang wajah heran.
“A-anu… sa-saya….”
“Paman ini memakai pendengaran, Astrid. Setiap paman Cron melangkah, getarannnya akan akan mengenai objek di sekitarnya. Ya ampun, Astrid tidak tahu tentang itu? Fufufu!” Velma mengejeknya.
“Tapi…” Astrid tidak terkena pancingan ejekannya itu. “Hm, mungkin kamu benar, Velma,” meski berkata begitu, wajahnya yang masih bimbang tampak kurang yakin.
Lantas…
Barang – barang pun telah dikemas pada tas kain yang dicetak tulisan ‘Regys’s Mart’ dengan ukuran super besar.
“Anu… Mistress? Barang – barang ini akan dibawa ke alamat mana?”
Astrid dan Velma mengangkat dua tas itu.
“Oh? Nggak usah. Anggap saja ini latihan. Bila wakil admiral melihat kami menggunakan teleport, kami bisa dihajar habis – habisan.” Astrid mendorong pintu kaca dengan dahinya. “Kalau begitu, kami pamit dulu.”
“Dadah, paman Cron~”
“Y-ya…”
Ketika mereka pergi, wajah Solana yang sedari tadi gugup menjadi lega. Senyuman lebar mulai tergambar di bibirnya.
“YEAAH! LAKU KERAS DONGG!!” nadanya wanita gila kegirangan.
#Hah… (sighed)
“Kamu sangat menghormati seniormu, Solana?” Cron berpaling pada Solana.
Sedangkan Solana, mengipas – ngipaskan uang.” Eh? Y-ya jelas dong! Demi senior, aha-ahahaha!”
Cron menepuk jidatnya.
(Jadi begitu… pertemanan yang menguntungkan…. Regys… aku nggak tahu kamu ngajarin putrimu apa… haduh….) Cron memandangi Solana dengan tatapan lesu sambil teringat mendiang temannya.
“Oh ya, paman…” Solana tiba – tiba menaruh kembali uang itu dalam kasir. “Paman… pernah bertemu mereka sebelumnya?” suara Solana lirih namun terdengar fokus.
Cron yang hendak merapikan beberapa barang. “Eh? Ini baru pertama kalinya kok!”
“Bukan, bukan begitu! Maksudku… saat bekerja!” protesnya. Solana seolah sangat mengerti Cron. Solana mendekati Cron dan memandangnya sangat dalam.
“Ehhh? Hm… nah…” Cron melirik ke samping, menggaruk ringan pipinya dengan telunjuk. “Ja-jarang sih….”
“Po-pokoknya paman nggak boleh melukai mereka loh!” Solana menatap curiga Cron. “Pokoknya jangan loh! Aku benar – benar menghormati mereka! Terutama Kak Astrid!”
Memandang ponakannya dengan wajah memohon memang hal yang tidak menyenangkan bagi Cron.
“Nah…”
“JAN-JI?”
“Soal itu…”
Solana semakin mengeraskan suaranya.
“JAANN-JIIII!?”
“O-oke… jan-janji…”
***
ns3.131.13.93da2